Konstitusi Dibajak di Tengah Kejutan Pilkada 2024

Konstelasi politik memanas jelang Pilkada 2024

Jakarta, IDN Times - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 yang melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah, membuat peta politik Tanah Air berubah jelang Pilkada 2024. Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang tengah berseteru dengan PDIP kecolongan.

Putusan MK yang diketok pada Selasa, 20 Agustus 2024 itu menjadi kejutan besar bagi KIM Plus, yang sehari sebelumnya baru saja merayakan deklarasi pasangan Ridwan Kamil dan Suswono untuk Pilkada DKI Jakarta.

MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Kedua partai nonparlemen itu sebelumnya menggugat isi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).

Putusan ini jelas membuka jalan bagi partai politik (parpol) yang tidak memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), untuk mengajukan calon kepala daerah pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang akan digelar pada 27 November 2024.

Syarat parpol mengusung calon kepala daerah, dari yang semula berdasarkan jumlah kursi DPRD menjadi jumlah raihan suara pada Pileg terakhir, asalkan memenuhi syarat minimal raihan suara.

Sehari setelah putusan MK, pemerintah bersama DPR RI melalui Badan Legislasi (Baleg) mendadak menggelar rapat Panja Revisi UU Pilkada. Rapat dikebut. Pembahasan tingkat pertama hingga kedua rampung hampir seharian penuh.

Dari sembilan fraksi yang ada di DPR, hanya Fraksi PDIP yang menolak. Mayoritas setuju RUU Pilkada dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang pada Kamis, 22 Agustus 2024. Rekor tercepat revisi undang-undang!

1. Kejutan di tengah kebuntuan PDIP dan Anies Baswedan

Konstitusi Dibajak di Tengah Kejutan Pilkada 2024(Dok. IDN Times)

Putusan MK menjadi kejutan dan angin segar bagi PDIP serta Anies Baswedan, yang tengah menemui jalan buntu menjelang Pilkada 2024, khususnya di DKI Jakarta. PDIP ditinggal sendirian oleh KIM Plus yang beranggotakan 12 partai politik dengan mengusung Ridwan Kamil-Suswono pada Senin, 19 Agustus 2024.

Partai NasDem, PKS, dan PKB menarik dukungan untuk Anies, dan memilih bergabung bersama KIM Plus. Akibatnya, PDIP tak bisa mengusung calonnya lantaran terganjal ambang batas pencalonan minimal 22 kursi di DPRD. Padahal, PDIP hanya mendapat 15 kursi di DPRD sesuai hasil Pileg 2024.

Anies juga masih menjomblo meski ia menyatakan kesiapannya maju Pilkada DKI Jakarta 2024 lebih awal. PDIP sampai sekarang belum juga mengumumkan calonnya di Pilkada DKI Jakarta dan beberapa provinsi di pulau Jawa. PDIP juga ogah-ogahan mengusung Anies dan lebih mengutamakan kadernya sendiri.

Usai putusan MK, PDIP mulai ada sinyal akan mengusung Anies untuk Pilkada Jakarta. Tapi mereka masih menimbang-nimbang hari baik, dan kader PDIP yang pas untuk diduetkan dengan Anies. Di antaranya mantan Gubernur Banten Rano Karno dan mantan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi.

Di sisi lain, hadirnya putusan MK membuat kompetisi pada kontestasi Pilkada menjadi lebih fair. Lebih terbuka. Ahli Hukum Tata Negara, Gugum Ridho Putra, mengatakan, putusan MK ini membuat konstelasi pemilihan kepala daerah masih bisa terus berubah. Terutama dalam kasus Pilkada DKI Jakarta yang saat ini menjadi sorotan banyak pihak.

“Konstelasi koalisi di daerah bisa berubah. Pengusungan calon tidak hanya via kursi, tetapi juga via syarat minimal suara yang baru yang lebih kecil," kata Gugum dalam keterangannya, Selasa, 20 Agustus 2024.

Sedangkan bagi KIM Plus, jelas ini menjadi kejutan luar biasa, di tengah euforia koalisi gemuk, yang disebut-sebut bakal melawan kotak kosong atau calon independen. Putusan MK seolah mematahkan harapan KIM Plus memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Kemungkinan besar kotak kosong itu akan batal terwujud. 

Wakil Ketua Majelis Dewan Syuro PKS, Sohibul Iman melihat putusan MK agak aneh.

"Agak aneh, kenapa MK membuat norma sendiri. MK bisa membatalkan satu UU, tapi MK tidak otomatis bisa membuat norma baru. Nanti kita tunggu kajian tim hukum," tutur Sohibul, kepada IDN Times, Selasa, 20 Agustus 2024.

Berbeda dengan Sohibul, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ridwan Kamil, menghormati putusan MK. Menurutnya, hal itu akan menguntungkan rakyat.

"Kalau itu bisa membuat lebih banyak lagi calon-calon pilkada di seluruh Indonesia, termasuk di Jakarta yang diuntungkan adalah warga. Karena kan warga akan disuguhi oleh adu gagasan," ujar Ridwan Kamil di sela Rapimnas dan Munas Partai Golkar di Senayan, Jakarta, Selasa, 20 Agustus 2024.

Bakal Calon Gubernur DKI Jakarta ini menilai, semakin banyaknya gagasan dalam pilkada semakin bagus untuk rakyat. Ia tak masalah dengan itu.

"Saya tidak masalah karena dengan banyak sedikit pun selama itu sesuai aturan tentunya itu harus dilakoni," ujarnya.

Baca Juga: Jokowi Buka Suara soal Putusan MK dan Rapat Baleg tentang Pilkada

2. Goyahkan KIM Plus?

Konstitusi Dibajak di Tengah Kejutan Pilkada 2024Calon tunggal, Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, ketika memaparkan visi-misi di JCC. (IDN Times/Alya Achyarini)

Berubahnya peta politik pasca-putusan MK, termasuk kemungkinan goyahnya KIM Plus. Ini seperti yang diucapkan Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie, menitipkan pesan khusus kepada ketua umum terpilih pada musyawarah nasional (Munas) Golkar, pasca-putusan MK.

"Keputusan Mahkamah Konstitusi itu akan menyebabkan partai-partai, termasuk Golkar bisa mencalonkan sendiri (kepala daerah). Nah, ini mohon dipelajari. Mohon bapak ketua umum dan pengurus mendatang bisa mendengarkan dengan baik usulan-usulan dari daerah," ujar Aburizal di Jakarta Convention Centre (JCC), Jakarta Pusat, Selasa, 20 Agustus 2024. 

Senada, Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia, juga menyebutkan hal yang sama. Golkar akan mengevaluasi usai putusan MK.

"Tetapi ini tidak hanya berpengaruh di Jakarta. Tetapi di hampir semua tempat di provinsi, kabupaten atau kota. Jadi ini akan mengubah peta politik pencalonan (kepala daerah) nanti," ujar Doli pada kesempatan yang sama. 

Namun, Doli mengatakan, Golkar belum memetakan wilayah mana saja yang bakal menjadi evaluasi pencalonan kepala daerahnya. Ia menyebut putusan itu baru bisa diambil usai Golkar duduk bersama dengan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). 

Partai Gelora yang tergabung dalam KIM Plus juga menyebut putusan MK membuyarkan strategi koalisi besar KIM Plus di Pilkada Jakarta. Ini seperti bumerang untuk Gelora dan KIM Plus. Sekretaris Jenderal Partai Gelora, Mahfuz Sidik, mempertanyakan putusan MK yang di luar ekpektasinya.

"MK juga membuat norma pengaturan baru tentang syarat pencalonan berdasarkan jumlah penduduk dan prosentase suara sah partai. Hal ini sama sekali tidak ada di dalam permohonan uji materi kami," ujar Mahfuz di dalam keterangan tertulis, Rabu (21/8/2024).

Ia menilai MK telah melakukan tindakan ultra petita dengan memutuskan obyek perkara yang tidak diajukan oleh pemohon yakni UU Pilkada pasal 40 ayat 1. Isinya partai yang tidak memperoleh kursi DPRD tetap bisa mengajukan calon kepala daerah selagi memenuhi syarat persentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). 

Mahfuz menilai pengaturan norma baru oleh MK tentang persyaratan pencalonan kepala daerah menimbulkan ketidakpastian hukum baru. Maka, Partai Gelora, kata Mahfuz, mengusulkan DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera melakukan langkah-langkah legislasi.  

Konstitusi Dibajak di Tengah Kejutan Pilkada 2024(IDN Times/Sukma Shakti)

3. DPR dan pemerintah kebut revisi UU Pilkada, diwarnai debat dari Fraksi PDIP

Konstitusi Dibajak di Tengah Kejutan Pilkada 2024Suasana pembahasan revisi UU Pilkada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (21/8/2024). (IDN Times/Amir Faisol).

Pemerintah dan DPR RI kompak menggelar rapat membahas revisi UU Pilkada, sehari usai putusan MK, Rabu (21/8/2024). Rapat dihadiri Mendagri Tito Karnavian dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) RI Supratman Andi Agtas. Rapat kali ini dikhawatirkan banyak pihak sebagai bentuk perlawanan terhadap putusan MK Nomor 60 PUU-XXII/2024.

Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi alias Awiek mengklaim, Baleg sudah lama ingin membahas RUU Pilkada, namun tertunda karena Pemilu 2024. RUU Pilkada disebut telah diusulkan menjadi usul inisiatif DPR RI sejak Oktober 2023. Kemudian disahkan di rapat paripurna pada November 2023 sebagai usul inisiatif dari pihak parlemen.

"Tetapi karena kita menghadapi pemilu tahu sama tahu semua sibuk kemudian sempat tertunda dan semakin tertunda karena waktu itu ada putusan MK mengenai penjadwalan pilkada yang tidak ditunda lagi, waktu itu sempat ada MK memutuskan tidak ada perubahan jadwal pilkada sehingga hal yang paling krusial ditunda lagi," kata Awiek dalam rapat Baleg DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Awiek beralibi Baleg telah mendapatkan tugas dari pimpinan DPR untuk membahas RUU Pilkada di tingkat satu. Dia menegaskan, RUU Pilkada ini bukan hal baru. "Ini bukan RUU yang baru diusulkan, tapi kelanjutan dari usul isianitif DPR yang dalam hal ini merupakan kelanjutan dalam hal pembahasan di tingkat satu," kata dia.

Politikus PPP itu juga mengklaim hasil RUU Pilkada tidak akan melenceng dari putusan MK. Dia menyebutkan salah satu poin utama dalam revisi ini adalah mengakomodasi partai politik nonparlemen agar dapat mengusung pasangan calon kepala daerah.

"Hal itu tentunya akan diakomodir dalam pembahasan nanti, itu tidak boleh kita melenceng dari itu (putusan MK)," kata dia.

Nyatanya, dalam pembahasan Panja RUU Pilkada, mayoritas fraksi menolak putusan MK, kecuali PDIP. Baleg menyepakati ambang batas minum 7,5 persen suara untuk mengusung calon kepala daerah hanya berlaku bagi partai nonparlemen. Bertolak dengan putusan MK yang memberikan hak kepada semua parpol, tanpa kecuali bagi parti nonparlemen.

Rapat pembahasan RUU Pilkada berlangsung panas. Sempat diwarnai perdebatan antara pimpinan rapat dengan sejumlah anggota Fraksi PDIP

Setelah digeber sejak pagi hingga sore, Baleg akhirnya mayoritas sepakat membawa RUU Pilkada ke paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang yang digelar, Kamis (22/8/2024). Hanya Fraksi PDIP yang menolak. 

Baca Juga: DPR Begal Putusan MK, Seruan Boikot Pilkada 2024 Menggema

4. Penolakan putusan MK bukti konstitusi dibajak

Konstitusi Dibajak di Tengah Kejutan Pilkada 2024Pakar Pemilu Titi Anggraini dalam program Real Talk with Uni Lubis, Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Anggota Dewan Pembina Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyambut baik putusan MK. Dia mengapresiasi MK yang mengubah aturan Pilkada.

"Bravo MK!!! Dalam Putusan No.60/PUU-XXII/2024 mengubah persyaratan pengusungan paslon di Pilkada dengan menyesuaikan persentase persyaratan, seperti pada angka persentase pencalonan perseorangan di Pilkada. Hebat MK!!!" tulis Titi di akun X-nya, Selasa, 20 Agustus 2024.

Titi menegaskan, putusan ini berlaku untuk aturan Pilkada 2024. Namun, dia menyebut, putusan MK ini serupa dengan putusan MK soal usia calon di Pilpres dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023, yang memberikan 'karpet merah' pada pencalonan Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024.

"Berlaku untuk Pilkada 2024. Sebab, putusan MK ini tidak menyebut penundaan pemberlakuan Putusan pada pilkada mendatang seperti halnya Putusan Ambang Batas No.116/PUU-XXI/2023. Putusan MK soal ambang batas pencalonan pilkada ini serupa dengan Putusan MK soal usia calon di Pilpres dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang memberi tiket pencalonan pada Gibran untuk maju pada Pilpres 2024 yang lalu," ujar Titi kepada IDN Times.

Titi mengatakan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon dan berlaku pada Pilkada 2024. Sehingga, PDIP bisa mencalonkan kandidatnya pada Pilkada DKI Jakarta 2024.

"Dengan Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 ini, maka di Jakarta untuk mengusung calon di Pilkada 2024, partai politik cukup memperoleh suara sebesar 7,5 persen di pemilu DPRD terakhir untuk bisa mengusung paslon di Pilkada Jakarta. Artinya, PDIP bisa mengusung sendiri calonnya di Pilkada Jakarta," ujar Titi.

Setali tiga uang, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Bivitri Susanti menegaskan, putusan MK bersifat final dan mengikat. Karena itu, putusan tersebut sudah sangat jelas berlaku untuk Pilkada 2024.

Artinya, kata Bivitri, putusan MK yang mengubah syarat pencalonan di Pilkada 2024 itu tidak dapat dianulir lagi, baik melalui revisi undang-undang maupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

"DPR dan pemerintah melalui produk legislasinya tidak bisa menganulir putusan Mahkamah Konstitusi," kata Bivitri kepada IDN Times, saat dihubungi, Selasa, 20 Agustus 2024.

Tak hanya itu, menurut Bivitri, DPR dan pemerintah tidak boleh menginterpretasikan secara berbeda dengan apa yang telah menjadi keputusan MK. Sebab, putusan MK itu sudah sangat jelas.

Dia pun mengingatkan, UUD)1945 dan semua teori hukum tata negara di seluruh dunia telah memberikan penjelasan utuh, bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat serta langsung berlaku setelah dibacakan.

Kecuali, kalau putusan itu menyebutkan secara jelas, diberlakukan pada pemilu yang akan datang. Faktanya, kata Bvitri, putusan MK itu tidak demikian.

"Jadi kita perlu antisipasi dari sekarang bahwa ini tidak mungkin (bisa) dilakukan (dianulir melalui Perppu atau RUU), tidak boleh dilakukan," tegas dia.

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari juga menyebut, putusan MK lebih tinggi dari undang-undang, termasuk Putusan MK Nomor 60 PUU-XXII/2024 yang membolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD mengusung calon di Pilkada.

Feri juga menegaskan, putusan MK tidak bisa dianulir, karena putusan tersebut menerjemahkan maksud dan tujuan konstitusi.

"Putusan MK lebih tinggi dari undang-undang, sehingga pembentuk undang-undang (UU) wajib melaksanakan putusan MK," ujar Feri kepada IDN Times, Selasa, 20 Agustus 2024. 

5. Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024

Konstitusi Dibajak di Tengah Kejutan Pilkada 2024Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Putusan MK Nomor 60 PUU-XXII/2024 diketok pada Selasa, 20 Agustus 2024, sehari setelah deklarasi Ridwan Kami-Suswono yang diusung KIM Plus. Sebanyak 12 partai politik termasuk Partai NasDem, PKS dan PKB tergabung di dalamnya.

Hakim konstitusi Suhartoyo yang memimpin sidang menyatakan, Pasal 40 Ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai beberapa hal.

Antara lain partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftatkan pasangan calon jika telah memenuhi syarat yang terbagi menjadi dua bagian. Pertama untuk pencalonan gubernur dan wakil gubernur, dan kedua untuk pencalonan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil walikota.

Berikut sayarat untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan dua juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di provinsi tersebut;

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari dua juta jiwa sampai dengan enam juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 persen di provinsi tersebut;

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemih tetap lebih dari enam juta jiwa sampai dengan 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai poltk peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 persen di provinsi tersebut;

d. Provinsi dengan jumah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedkt 6,5 persen di provinsi tersebut;

Berikut syarat untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon wali kota dan calon wakil wali kota:

a. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilihan tetap sampai dengan 250 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen di kabupaten/kota tersebut.

b. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250 ribu sampai dengan 500 ribu jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikt 8,5 persen di kabupaten/kota tersebut;

c. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemlihan tetap lebih dari 500 ribu sampai satu juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikt 7,5 persen di kabupaten/kota tersebut;

d. Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari satu juta jiwa, partai politik atau gabungan partai poitik peseria pemiu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 persen di kabupaten/kota tersebut.

Dengan demikian, aturan syarat dukungan untuk mengusung calon kepala daerah tak lagi mengacu pada jumlah kursi DPRD, melainkan raihan suara pada pileg terakhir.

https://www.youtube.com/embed/z4z-w8-Tli0

Topik:

  • Rochmanudin
  • Mohamad Aria

Berita Terkini Lainnya