PDIP Desak Polisi Segera Usut Kasus Dugaan Pencatutan KTP Warga DKI

Polisi dimint cuma keras ke pihak yang mengkritik pemerintah

Jakarta, IDN Times - Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, menuntut kepolisian agar segera mengusut kasus dugaan pencatutan KTP warga DKI Jakarta untuk mendukung pasangan independen Dharma Pongrekun-Kun Wardhana dalam kontestasi Pilkada Jakarta.

Hasto menilai, pencatutan KTP merupakan satu pelanggaran serius, sehingga kepolisian mesti dengan cepat dan tepat mencari biang keroknya.

"Ya harapan rakyat Jakarta yang sangat strategis tidak boleh ada kotak kosong. Termasuk tidak boleh ada suatu penggunaan kekuasaan untuk menciptakan calon boneka dengan menggunakan KTP tanpa seizin pemiliknya, dan itu suatu pelanggaran yang sangat serius," tutur Hasto kepada awak media di Parkir Timur GBK, Jakarta, Minggu (18/8/2024).

"Polisi harus bergerak cepat. Polisi jangan bergerak ketika hanya urusan-urusan terkait dengan mengkritik pemerintah," sambungnya.

1. Tugas polisi bukan menakuti pihak yang kritis

PDIP Desak Polisi Segera Usut Kasus Dugaan Pencatutan KTP Warga DKIIlustrasi polisi. (IDN Times/Khusnul Hasana)

Hasto menyebut aparat kepolisian sudah semestinya menjalankan tugas utamanya sebagai pihak yang menjaga keamanan dan ketertiban, serta ketertiban hukum di Indonesia.

Dia mendesak aparat kepolisian agar tidak menjadi pihak yang menakut-nakuti kelompok, dengan pemikiran dan pendapat kritis terhadap pemerintah.

"Agar pencurian kekayaan alam kita, illegal mining, judi online yang merugikan rakyat banyak, itu secepatnya ditangkap. Itu tugas utama dari mereka. Bukan untuk menakuti pihak yang kritis," kata Hasto.

Baca Juga: Dharma-Kun Bakal Tetap Ditetapkan Jika Tak Ada Rekomendasi Bawaslu

2. KTP anak Anies Baswedan diduga kena catut dukungan untuk Dharma-Kun

PDIP Desak Polisi Segera Usut Kasus Dugaan Pencatutan KTP Warga DKICuitan Anies Baswedan tentang pencatutan KTP. (Dok. Istimewa)

Sehari menjelang peringatan HUT ke-79 RI, masyarakat Jakarta dihebohkan dengan dugaan pencatutan KTP untuk dukungan calon gubernur dan wakil gubernur Pilkada Jakarta, Dharma Pongrekun-Kun Wardhana.

Banyak warga Jakarta yang mengeluhkan di media sosial, KTP mereka dicatut untuk mendukung pasangan jalur independen itu. Padahal mereka tak pernah melakukannya.

Bahkan, hal tersebut juga menimpa keluarga mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Kedua anak Anies, yakni Mikail dan Kaisar Baswedan, disebut mendukung Dharma-Kun, padahal dia merasa tidak memberikan dukungan.

Hal itu disampaikan Anies melalui media sosialnya. Bahkan, staf yang bekerja untuknya juga dicatut.

Baca Juga: Ada Usulan Duet Anies-Rano Karno di Pilkada Jakarta, PDIP Pikir-Pikir

3. Pencatutan KTP indikasi pelanggaran Pilkada

PDIP Desak Polisi Segera Usut Kasus Dugaan Pencatutan KTP Warga DKIPakar Pemilu Titi Anggraini dalam program Real Talk with Uni Lubis, Rabu (27/3/2024). (IDN Times/Aldila Muharma)

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, merespons dugaan pencatutan KTP untuk dukungan pasangan Dharma-Kun untuk Pilkada DKI Jakarta 2024. Dia mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bertindak cepat menangani dugaan pelanggaran Pilkada ini.

"Terhadap maraknya dugaan dan juga keluhan terkait dengan pencatutan data warga, khususnya di DKI Jakarta, untuk kepentingan pencalonan perseorangan di Pilkada DKI Jakarta, hal itu harus direspons dengan cepat oleh penyelenggara pemilu, khususnya Bawaslu beserta jajaran, karena terkait indikasi pelanggaran atau tindak pidana," ujar Titi dalam tayangan video di kanal YouTube-nya, Jumat (16/8/2024).

Titi menjelaskan dalam Undang-Undang Pilkada, Pasal 185 dan Pasal 186 disebutkan, penggunaan keterangan yang tidak benar atau pun dukungan palsu terhadap dukungan perseorangan, merupakan tindak pidana yang diancam hukuman penjara minimal 12 bulan dan paling lama 36 bulan, serta denda minimal Rp12 juta dan maksimal Rp36 juta.

Selain itu, terhadap penyelenggara pemilihan, baik Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang tidak melalukan verifikasi dan rekapitulasi syarat dukungan, juga merupakan tindak pidana yang diancam penjara minimal 36 bulan maksimal 72 bulan, serta denda minimal Rp36 juta dan maksimal Rp72 juta.

"Atas indikasi temuan awal, Bawaslu tidak perlu menunggu, karena hal itu patut diduga kuat pelanggaran Pilkada dan merupakan tindak pidana pemilihan," ujar Titi.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya