Soal Konflik Rempang, Warga: Kami Tak Mau Relokasi!

Tragedi ini adalah pelanggaran HAM berat pemerintah

Jakarta, IDN Times - Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintahan Presiden Joko Widodo "Jokowi" kembali jadi sorotan. Ribuan warga Rempang yang menolak upaya paksa tersebut, mendapat tindakan kekerasan dan kriminalisasi.

Kericuhan pecah pada Kamis, 7 September 2023. Pihak Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dikawal ribuan aparat gabungan Polda Kepulauan Riau, memaksa masuk ke perkampungan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Warga yang menolak, kemudian mengadangnya hingga terjadi kerusuhan.

Hingga saat ini, situasi di Rempang masih penuh ancaman dan intimidasi yang memicu gelombang protes dari warga.

"Kenapa kami melawan, ya karena ketertindasan itu. Dari awal pemerintah sudah tau penolakan ini, kami tidak mau relokasi apalagi tanpa koordinasi," ujar tokoh masyarakat dan warga dari Pulau Rempang, Suwardi, dalam konferensi Solidaritas Nasional untuk Rempang di Gedung YLBHI, Selasa (12/9/2023).

1. Rempang Eco City buat 7 ribu jiwa terancam digusur dari tempat tinggalnya

Soal Konflik Rempang, Warga: Kami Tak Mau Relokasi!Solidaritas Nasional untuk Rempang (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Akibat proyek pengembangan Rempang Eco City sebagai salah satu proyek strategis nasional, sebanyak 7.000 jiwa terancam digusur dari tempat tinggal dan ruang hidupnya.

Suwardi menjelaskan, apabila ditarik dari sejarahnya, Pulau Rempang merupakan bagian dari Kesultanan Lingga. Nenek moyang warga Rempang berpesan untuk selalu menjaga keutuhan pulau.

Hal itu membuat masyarakat merasa amanat tersebut harus dijunjung tinggi sehingga mereka membangun perkampungan.

Saat wilayah di Rempang masuk PSN, warga berharap tempat tinggal mereka mendapat perhatian dan dapat berkembang sehingga mengurangi angka pengangguran. Namun, harapan tersebut tidak pernah terwujud karena nyatanya pemerintah ingin relokasi.

"Masyarakat Rempang tidak terima relokasi karena banyak sejarahnya di sana," ujar Suwardi.

Baca Juga: Jokowi Sebut Ricuh di Rempang Bentuk Komunikasi yang Tidak Baik

2. Masyarakat Rempang sudah lama kesulitan mengurus surat tanah dan bangunan

Soal Konflik Rempang, Warga: Kami Tak Mau Relokasi!Solidaritas Nasional untuk Rempang (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Dia menyampaikan, sudah sejak lama masyarakat Rempang kesulitan dalam mengurus surat-surat kepemilikan tanah dan bangunan. Padahal, masyarakat memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), hanya saja permintaan mereka terkait surat kepemilikan tanah dan bangunan tak pernah dikabulkan.

"Sejak tahun 2004, kami kesulitan untuk mengurus Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS), dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Kami hanya memiliki Surat Keterangan Tata Ruang (SKTR) yang dikeluarkan oleh pemerintah Provinsi Riau," beber Suwardi.

"Kami ini terdaftar sebagai warga negara, saat pemilu kami ikut memilih tetapi kenapa saat mengurus tanah kami dianggap warga ilegal?" lanjut dia.

3. Dilempar batu dan gas air mata aparat, Suwardi tegaskan warga Rempang trauma

Soal Konflik Rempang, Warga: Kami Tak Mau Relokasi!Teguh Prihatna/ANTARA

Suwardi menegaskan, masyarakat Rempang tidak terima atas kejadian yang terjadi pada 7 September 2023. Dia menjelaskan, banyak warga yang mengalami trauma dan bahkan dikriminalisasi, tidak hanya itu perempuan dan anak-anak tak luput dari sasaran aparat.

"Tolong bedakan antara pengukuran dan penggusuran. Ini masalah matok tanah apa diambil paksa? Masyarakat Rempang, Batam tidak ikhlas dengan kejadian tersebut, hanya pasang patok sampai menurunkan ribuan personel," ujar dia. 

Tak hanya itu, Suwardi menambahkan pada saat warga menolak aparat langsung menembak dan melempar batu ke arah warga. Aparat juga menembak gas air mata yang melukai masyarakat Rempang.

4. Tragedi Rempang melegitimasi hukum untuk lakukan penggusuran dengan kekerasan

Soal Konflik Rempang, Warga: Kami Tak Mau Relokasi!Solidaritas Nasional untuk Rempang (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Sartika menjelaskan, konflik di Rempang tak boleh digeser menjadi topik lain. Masyarakat Rempang tidak setuju dengan relokasi, jangan seolah-olah tanah Rempang, Batam itu milik dari BP Batam.

"Kejadian di Rempang ini merupakan upaya negara yang secara sistematis melegitimasi hukum seolah-olah penggusuran yang dilakukan didasarkan oleh hukum. Tanah yang mau diklaim itu seluas 7.300 hektar, yang apabila dibandingkan dengan luas Batam mencapai 45 persen dari keseluruhan wilayah Batam," ujar Dewi.

"Seharusnya pemerintah tidak gelap mata akan investasi. Prinsip dan hak-hak masyarakat itu dilanggar dalam kejadian tersebut, bukan pengosongan lahan melainkan penggusuran," sambungnya.

5. Tragedi Rempang merupakan pelanggaraan HAM berat dari pemerintah dan jajarannya

Soal Konflik Rempang, Warga: Kami Tak Mau Relokasi!Solidaritas Nasional untuk Rempang (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Dewi menambahkan, 16 titik pengosongan lahan itu sudah berdiri sejak tahun 50-an. Lalu saat ini BP Batam ingin merelokasi secara paksa atas dasar pembukaan lahan investasi bagi investor.

"Ini adalah negara dengan negara, Presiden Jokowi hentikan PSN. Kejadian di Rempang merupakan pelanggaran HAM berat dari jajaran pemerintah," tutupnya.

Baca Juga: Jokowi Perintahkan Menteri Bahlil Selesaikan Masalah di Rempang Batam

Topik:

  • Ilyas Listianto Mujib

Berita Terkini Lainnya