WANSUS: Anies Petahana Tak Otomatis Bisa Menang di Pilkada DKI 2024

Jakarta masih jadi barometer, mungkin masih ada cawe-cawe?

Intinya Sih...

  • PKS akan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024. Sementara, Ridwan Kamil masih dalam proses pematangan di Koalisi Indonesia Maju (KIM). Pemilih Jakarta dinilai sulit diprediksi, sebab petahana ketika maju lagi riwayatnya selalu kalah, seperti Fauzi Bowo dan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Jakarta, IDN Times - Sejumlah partai politik belum menentukan siapa sosok yang akan diusung menjadi calon gubernur dan calon wakil gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2024. Kini, baru DPP PKS yang sudah menyatakan akan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta.

Nama lain yang diisukan akan maju ada mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Namun, Ridwan Kamil masih dalam proses pematangan di Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah, mengatakan Anies sebagai petahana diuntungkan. Namun, hal itu tidak otomatis bisa menjadikan Anies menang pada Pilkada Jakarta 2024.

"Pemilih Jakarta ini paling sulit dipegang sebenarnya, mudah sekali berubah-ubah, petahana ketika maju lagi di Jakarta itu kan riwayatnya itu selalu kalah. Pak Ahok ketika maju lagi kalah, Pak Fauzi Bowo waktu itu juga kalah. Jadi, maksud saya juga belum tentu juga gak ada jaminan, misalnya calon petahana ketika maju sudah otomatis akan menang. Karena tadi, soal volatilitas yang sangat tinggi," ujar Hurriyah dalam acara Gen Z Memilih episode ke-74 by IDN Times, baru-baru ini.

Berikut wawancara khusus dengan Hurriyah:

Baca Juga: PAN Tak Takut Hadapi Anies di Pilkada: Kami di Pilpres Menang Kok!

Bagaimana kans Anies melawan Ridwan Kamil di Pilkada DKI Jakarta?

Pertama, kalau bicara kans tentu saja figur yang populer, kemudian pengalaman menjadi petahana. Itu menjadi modalitas yang cukup untuk seorang kandidat bisa terpilih, dan kita tahu Pak Anies Baswedan kemudian juga Ridwan Kamil atau bahkan kita bicara Pak Ahok memenuhi kedua kriteria itu, dia adalah mantan petahana, yang dua di Jakarta dan yang satu di Jawa Barat, kemudian yang faktor berikutnya adalah popularitas yang tinggi.

Dan saya sepakat memang posisi Jakarta ini menjadi sangat signifikan, karena kan dia menjadi episentrum politik, semua sorot lampu ada di Jakarta. Apalagi kemudian keberhasilan partai politik memenangkan seorang calon, atau termasuk keberhasilan seorang calon untuk memenangkan Pilkada di Jakarta itu punya pengaruh yang besar.

Pilkada Jakarta bukan hanya sekadar pemilu lokal, buat kandidat bisa menjadi tangga eskalator yang lebih cepat naik ke jenjang berikutnya, yaitu presiden. Kemudian untuk partai politik ada harapan bahwa ada semacam efek kolateral, efek ikutan bahwa keberhasilan di Jakarta akan memengaruhi di daerah-daerah lain, dari polanya, strategi kampanyenya dan seterusnya.

Jadi, itu yang menurut saya menjadi hal yang pasti dipertimbangkan oleh kandidat dan partai politik. Tetapi sebelum bicara soal apakah peluang menangnya memang besar, saya ingin mengingatkan juga kepada teman-teman, pertama volatilitas pemilih di Jakarta itu sangat tinggi.

Jadi pemilih Jakarta ini paling sulit dipegang sebenarnya, mudah sekali berubah-ubah, petahana ketika maju lagi di Jakarta, itu kan riwayatnya itu selalu kalah, Pak Ahok ketika maju lagi kalah, Pak Fauzi Bowo waktu itu juga kalah. Jadi maksud saya juga belum tentu juga gak ada jaminan, misalnya calon petahana ketika maju sudah otomatis akan menang. Karena tadi, soal volatilitas yang sangat tinggi.

Ini juga terkait dengan kemampuan partai menyusun strategi, membangun gagasan, ini yang saya kira yang agak hilang dari perbincangan politik kita hari ini ketika ngomongin Pilkada. Yang dibicarakan cuma orang, bicara Anies, bicara Ahok, bicara Ridwan Kamil, bahkan juga bicara Kaesang, tapi kita tidak pernah bicara gagasan.

Mungkin itu bisa berhasil dalam konteks daerah-daerah lain, tapi kalau masuk ke Jakarta tidak membawa gagasan apapun, atau tidak ada gagasan yang diusung sedari awal, menurut saya akan berat untuk calon maupun juga untuk partai politik memenangkan Pilkada Jakarta 2024.

Baca Juga: PKS Pasrah Bila Anies Maju Pilkada Jakarta Tanpa Gaet Sohibul Iman

Popularitas Anies dan Ridwan Kamil populer di media sosial, PKB menyebut lawan terberat Anies itu Ahok. Menurut analisis Anda gimana?

WANSUS: Anies Petahana Tak Otomatis Bisa Menang di Pilkada DKI 2024Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (UI), Hurriyah dalam acara GenZ Memilih Episode 74 (dok. IDN Times)

Kalau dari statistik ya, ya, kalau melihat dari hitungan sekarang, tapi saya melihat begini, pertama hasil survei lebih berfungsi pada dua hal, dia mengukur popularitas dan elektabilitas kandidat. Dan popularitas ini sangat dipengaruhi pada sejauh mana kandidat tersebut mampu sejauh mana exposure diri kepada publik, atau sebaliknya exposure media kepada kandidat tersebut.

Kita tahu misalnya waktu Pak Jokowi baru pertama kali datang ke Jakarta kan gak ada yang kenal, tapi karena exposure media begitu besar kepada Pak Jokowi, popularitasnya meningkat. Jadi popularitas itu merupakan sesuatu yang bisa diupayakan, semakin sering namanya muncul di media, semakin besar upaya meningkatkan popularitasnya semakin besar.

Tapi jangan salah, popularitas itu tidak melulu sejalan dengan elektabilitas. Kita bisa lihat misalnya, pengalaman di pemilu dan pilkada sebelumnya. Yang kedua, fungsi survei yang menurut saya, kenapa kemudian kok opsinya kalau kita bicara soal persaingan yang sangat ketat antara Anies dan Ahok gitu misalnya. Fungsi survei yang kedua menurut saya adalah dia menjadi bahan masukan kepada partai politik dalam menyiapkan jagoannya, dalam menyiapkan kandidat yang akan dia usung.

Realitasnya nih dalam politik di Indonesia, pertama, partai itu mempunyai kewenangan yang besar, bahkan mungkin absolute dalam menentukan siapa yang akan mereka usung dalam pemilu atau pilkada. Kewenangan besar partai ini diperkuat dalam ketentuan dan aturan main atau undang-undang pemilu, bahwa partai itu adalah satu-satunya yang bisa mencalonkan pasangan di dalam pemilu.

Jadi ini menjadi masukan buat partai, tapi boleh jadi keputusan yang akan diambil partai itu bisa sejalan, atau bisa tidak sejalan dengan pilihan atau pasangan atau nama-nama yang dimasukkan di dalam survei tadi. Jadi ini yang menurut saya perlu diperhatikan.

Contoh, beberapa partai, termasuk PDIP misalnya, itu kan karena keputusan absolute penentuan kandidat itu ada pada Bu Megawati, ketua umum, jadi akan sangat tergantung tuh, misal kalau popularitasnya tinggi, elektabilitasnya tinggi. Tapi kalau partai tidak mencalonkan, mau bagaimana atau misalnya ketika partai menghadapi dilema.

Dilemanya yang paling sering saya lihat adalah ada gap yang sangat besar antara figur-figur yang populer yang biasanya dan hampir selalu orang-orang di luar partai politik, bukan kader partai, tidak punya partai atau mungkin baru direkrut partai dengan tokoh-tokoh partai, entah itu dia sudah menjadi anggota legislatif di DPR atau di DPRD, tapi dia tidak punya popularitas dan elektabilitas.

Nantinya Anies akan melawan Koalisi Indonesia Maju (KIM) 4+1, dan satunya itu Jokowi. Menurut Anda konfigurasinya gimana?

Perdebatannya kan sekarang cawagubnya gitu ya, kenapa? Karena ini menurut saya sebenarnya kritik bagi partai politik di Indonesia. Pertama, partai itu hanya menjadi kendaraan demonstratif pada saat pemilu dan pemilu ada tapi tidak cukup berhasil dalam memainkan perannya sebagai penyambung suara masyarakat sebagai penyalur aspirasi masyarakat.

Akhirnya, partai kesulitan nemuin kader-kader yang berkualitas, yang mumpuni di lembaga legislatif. Kan harusnya lembaga legislatif menjadi satu sumber daya buat partai politik dalam menyeleksi calon-calon mereka, kader-kader mereka, punya performa baik, punya popularitas baik, punya kemampuan, mengekspose dirinya dengan baik di umum, sehingga bisa diajukan di Pilkada.

Jadi, ketika partai sedang berebut siapa wakilnya, saya kira problem partai sekarang ini kesulitan mencari kader yang mumpuni untuk dicalonkan dari kader mereka sendiri. itu jadi PR saya kira, apalagi kemudian kalau misalnya hitung-hitungannya hanya berapa kursinya, misal kalau PKS kursinya di DPRD DKI paling banyak, PKB tadi bilang 10, semua kan merasa punya hak untuk mencalonkan cawagubnya.

Tapi apakah kemudian cawagubnya menjadi kartu mati? Gak bisa mendongkrak elektabilitas dan popularitas cagubnya, itu yang saya kira menjadi persoalan.

Dalam konteks ini, menurut saya, kalau melihat situasinya yang dialaminya Koalisi Indonesia Maju juga saya kira sama, Ridwan Kamil kan dianggap walaupun sekarang hitung-hitungan popularitasnya juga tinggi. Tetapi ini ada indikasi, misalnya kalau mereka salah memilih cawagub atau Ridwan Kamil tidak bisa mempertahankan popularitasnya, bisa saja justru peluangnya mengecil.

Itu saya kira kalau bicara konfigurasi politik, tapi yang saya ingin kritisi terkait dengan konfigurasi politik, ini memperlihatkan koalisi di dalam pemilu atau Pilkada itu, selalu bentuknya kandidat sentris, yang diomongin itu kandidatnya. Jadi bukan pada apa sih sebenarnya kesamaan ideologi, paltform, gagasan yang mau diusung partai-partai politik. Kalau cuma kandidat sentris, ini menurut saya rawan pecah setelah pemilu selesai.

Sebetulnya posisi cawagubnya seberapa penting dalam kontestasi Pilkada?

WANSUS: Anies Petahana Tak Otomatis Bisa Menang di Pilkada DKI 2024Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah. (Instagram/@hurriyah)

Menurut saya, cawagub itu bisa menjadi penting, tapi juga menjadi tidak terlalu penting. Dia menjadi tidak terlalu penting ketika calon gubernurnya sudah punya popularitas yang sangat tinggi. Jadi ibaratnya mau dipasangin sama sandal jepit pun juga akan menang, kira-kira kaya gitu.

Tetapi kalau kemudian calon kepala daerahnya popularitasnya masih di bawah 50 persen, maka pasangan dia akan sangat menentukan. Tapi tentu saja harus juga diperhatikan mobilisasi sumber daya, strategi kampanye seperti apa juga akan menentukan.

Bicara hari ini, Pak Anies saja sebagai petahana kalau kita mau merefleksikan seperti apa suara Pak Anies di Jakarta, lihat saja di Pilpres, berapa sih suaranya Pak Anies di Jakarta? Karena kan suaranya Pak Anies itu banyak sekali terkonsentrasi di daerah-daerah urban, perkotaan di Pilpres itu.

Kalau saya melihat hari ini, kalau bicara Pak Anies banyak kemajuan yang dilakukan di Jakarta, dan orang kemudian bisa melihat kontrasnya ketika kemudian Anies selesai lalu digantikan oleh penjabat gubernur (Pj.) kan kontrasnya kelihatan. Tapi belum tentu juga Pak Anies puya kans tinggi untuk meningkatkan popularitasnya, karena masyarakat yang terbelah pasca 2019 itu kan masih sangat terasa sebenarnya.

Bahkan kalau kita bicara lagi-lagi, salah satu kritikus terbesar Pak Anies itu kan PSI (Partai Solidaritas Indonesia), PSI walaupun di Pilpres kemarin mendapatkan sentimen negatif yang luar biasa, tetapi dia di Jakarta bisa mempertahankan dukungan yang signifikan dari pemilih. Itu yang saya kira perlu dilihat seperti itu.

Balik lagi kepada popularitas, dan itu sebabnya perlu berhati-hati sekali, perlu melihat lagi sejauh mana faktor cawagub bisa mendongkrak suara cagub yang akan diusung.

Kenapa Jakarta masih menjadi seksi, padahal Jakarta sudah tidak akan jadi ibu kota negara nantinya?

Sebelum saya jawab itu, saya ingin merespons soal gap kalau akademisi bicara teori saja, karena forum ini untuk Gen Z. Penting untuk kita meluruskan kesalahpahaman ini, kekeliruan berpikir, kegagalan mengoneksikan antara idealitas dengan praktik. Ini menurut saya penting, dan ini yang hilang di dalam politik kita hari ini.

Kalau kita bicara teori, teori ini berguna untuk memberikan panduan bagaimana politik harus dijalankan, ketika kita bicara politik gagasan, dan politik programatik, itu adalah manifestasi dari bagaimana teori merumuskan soal demokrasi yang dijalankan.

Kalau soal cuma yang penting adalah tahu program, kemudian buat program ini, itu, tanpa ada politik gagasan di kepala, maka jadinya random, dan ketika kemudian kebijakan-kebijakan random, dia tidak bisa ditagih janji politiknya, dan dia juga tidak bisa ditagih akuntabilitas politiknya.

Yang dibutuhkan dari seorang pemimpin, dari seorang calon adalah bagaimana pendekatan mereka dalam menyelesaikan masalah. Kalau kita mau list sekian banyak masalah, itu gak akan selesai. Tetapi pendekatan dalam menyelesaikan masalah, itulah yang menjadi daya tarik.

Kita lihat pada Pilpres 2024, misalnya, salah satu faktor yang membuat Anies melesat dukungan suaranya yang tadinya dianggap underdog, itu kan pada politik idenya Pak Anies. Bagaimana pendekatan yang dia tawarkan dalam menyelesaikan masalah. Sehingga orang clear bisa menagih janji politik, ini soal politik ide bukan cuma sekadar eksekusi.

Politik tanpa gagasan seperti jalan raya tanpa rambu, bayangkan gak ada rambu mau ke kanan, ke kiri, serba gak jelas. Apa sih yang sebenarnya politik ide itu? Hari ini, dengan segala hormat saya mau bilang partai politik kita, ketika bicara siapa cawagub yang mau diusung, siapa partai yang bisa diajak koalisi itu meninggalkan ide, meninggalkan ideologi, meninggalkan platform partai di belakang mereka.

Jadi, itu yang menurut saya harus kita kritisi dari partai politik, kita tidak hanya sekadar memilih pemimpin buat Jakarta menyelesaikan masalah-masalah Jakarta, tapi memastikan partai-partai yang mengusung calon, dan calon yang diusung itu punya cara pandang yang sama tentang pendekatan apa yang mau dilakukan dalam menyelesaikan masalah-masalah di Jakarta. Bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dalam lima tahun, semua orang saya kira bisa maklum, tapi konsistensi dalam menggunakan pendekatan itu.

Soal posisi Jakarta, saya mau mengulang lagi, walaupun Jakarta secara formal tidak lagi menjadi ibu kota, ini DKJ (Daerah Khusus Jakarta), saya kira tetap saja Jakarta menjadi episentrum politik yang luar biasa. Pengalaman nih kalau kita melihat pada beberapa negara yang punya ambisi membuat ibu kota negara baru, itu kan banyak yang gagal, gak ada jaminan juga IKN akan berhasil, IKN akan dilanjutkan karena dia sangat costly, jadi tetap saja lampu sorot akan tetap di Jakarta.

Karena itu juga bisa terlihat dari bagaimana kepentingan politik presiden kita hari ini dalam melihat Pilkada Jakarta. Kalau Jakarta sudah gak lagi dianggap penting, gak akan repot-repot mau cawe-cawe di Jakarta.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya