Skema Tarif KRL Berbasis NIK Bisa Turunkan Jumlah Penumpang

Bisa hambat kemandirian finansial dan beban anggaran

Intinya Sih...

  • Tiket KRL berbasis NIK dapat mengurangi akses masyarakat dan ketergantungan pada subsidi PSO.
  • Penurunan jumlah penumpang akan memperburuk kinerja keuangan KAI Commuter dan meningkatkan ketergantungan pada subsidi pemerintah.
  • Pengembangan TOD dan penerapan skema LVC di sekitar stasiun kereta api menjadi alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada subsidi PSO.

Jakarta, IDN Times - Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memberikan pandangannya mengenai wacana kebijakan pemerintah yang akan menerapkan tarif KRL berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) di 2025.

Dilansir dari laporannya, Andhika P Pratama, Firli W. Wahyuputri dan Yusuf Reza Kurniawan menjelaskan, tiket berbasis NIK meski bertujuan menargetkan subsidi agar lebih tepat sasaran, malah bisa membuat efek ketergantungan jangka panjang layanan KRL terhadap PSO.

“Skema ini dapat menyebabkan penurunan jumlah penumpang karena proses seleksi yang lebih ketat, dan berpotensi membatasi akses masyarakat luas terhadap layanan KRL,”  tulis mereka dalam laporan itu, dikutip Jumat (13/9/2024).

Baca Juga: Tips Aman Naik KRL buat Ibu Hamil, Bisa Pakai Pin Khusus

1. Bahaya bila jumlah penumpang turun

Skema Tarif KRL Berbasis NIK Bisa Turunkan Jumlah PenumpangSuasana KRL yang dipenuhi penumpang pada siang hari. (IDN Times/Lia Hutasoit)

LPEM UI menjelaskan, penurunan jumlah penumpang bakal berdampak pada penurunan pendapatan operasional perusahaan, dan itu akan memperburuk kinerja keuangan. Jika profitabilitas menurun, KAI Commuter bakal semakin tergantung pada subsidi PSO guna menutupi kekurangan pendapatan. Kondisi itu malah menciptakan paradoks.

Maka dari itu tujuan awal kebijakan tiket berbasis NIK untuk mengurangi beban subsidi justru dapat menghasilkan efek sebaliknya, yaitu memperkuat ketergantungan KAI Commuter terhadap subsidi pemerintah. Dalam jangka panjang hal itu tak hanya menghambat kemandirian finansial perusahaan, tapi juga menempatkan beban lebih besar pada anggaran negara.

2. Alternatif yang lebih berkelanjutan

Skema Tarif KRL Berbasis NIK Bisa Turunkan Jumlah PenumpangSuasana KRL yang dipenuhi penumpang pada siang hari. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sebagai alternatif yang lebih berkelanjutan, LPEM UI menjelaskan ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama dengan pengembangan Transit Oriented Development (TOD) dan penerapan skema Land Value Capture (LVC), yakni  untuk mengurangi ketergantungan KAI Commuter terhadap PSO. 

Dalam hal ini, LPEM UI menjelaskan, TOD memungkinkan pengembangan kawasan komersial di sekitar stasiun kereta api, menciptakan peluang ekonomi yang tidak hanya mendukung peningkatan jumlah penumpang. Tetapi juga membuka sumber pendapatan baru melalui ritel, properti, dan jasa lainnya. 

3. Strategi dengan skema pemanfaatan nilai lahan

Skema Tarif KRL Berbasis NIK Bisa Turunkan Jumlah PenumpangIlustrasi KRL (IDN Times/Dhiya Awlia Azzahra)

Selain itu, mereka menjelaskan penerapan LVC telah terbukti sukses di berbagai negara, seperti di Hong Kong dengan MTRCL, yang memperoleh sekitar 60 persen dari total laba perusahaan dari strategi LVC. Ini adalah strategi dengan skema pemanfaatan nilai lahan di sekitar infrastruktur.

Dengan mengadopsi pendekatan yang serupa, KAI Commuter diharapkan bisa ciptakan sumber pendapatan yang lebih stabil dan berkelanjutan, sekaligus mengurangi beban subsidi PSO, memperkuat kesehatan finansial jangka panjang, serta memberikan kontribusi lebih besar terhadap pembangunan ekonomi di wilayah-wilayah yang dilayani.

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya