Seleksi Pimpinan-Dewas KPK Dikritik Koalisi Masyarakat Sipil

Proses seleksi jadi bentuk kompromi politik saja

Intinya Sih...

  • Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas KPK hanya bentuk kompromi politik.
  • Pansel dianggap hanya memilih berdasarkan keterwakilan kontinen, tanpa memperhatikan integritas, kemampuan, dan keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi.

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi memberikan sejumlah catatan terkait keluarnya 20 nama calon pimpinan dan calon anggota Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang lolos profil asesmen.

Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia, Danang Widoyoko menyebut, proses seleksi pimpinan dan dewan pengawas ini jadi bentuk kompromi politik saja dan bukan profesionalitas.

Baca Juga: Kritik Seleksi Capim KPK: Dirusak Kebijakan Presiden

1. Kandidat yang lolos hanya menunjukkan keterwakilan

Seleksi Pimpinan-Dewas KPK Dikritik Koalisi Masyarakat SipilGedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

Dia menilai, 20 kandidat capim dan dewas KPK yang lolos seleksi hanya menunjukkan keterwakilan.

Menurutnya, puluhan nama yang lolos itu tak memperlihatkan integritas, kemampuan, dan keberpihakan pada agenda pemberantasan korupsi.

Pansel juga dianggap hanya memilih berdasar pada keterwakilan kontinen yakni aparat penegak hukum, internal KPK, dan pegawai negeri sipil.

“Jangan sampai panitia pelaksana (pansel) membuat KPK bunuh diri berkali-kali dan justru menghadirkan boneka baru untuk jadi alat politik rezim ke depan," kata dia dalam keterangannya Jumat (13/9/2024).

Baca Juga: Jarak Lokasi Mobil Harun Masiku Terparkir dan Gedung KPK Hanya 4,5 Km

2. Dua nama yang jadi sorotan

Seleksi Pimpinan-Dewas KPK Dikritik Koalisi Masyarakat SipilGedung KPK (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Ada dua nama yang Danang soroti, yakni Ibnu Basuki Widodo dan Sang Made Mahendra Jaya.

Diketahui, Ibnu Basuki merupakan hakim yang pernah melarang jurnalis meliput kasus megakorupsi E-KTP dengan terdakwa Setya Novanto. Sementara Sang Made Mahendra Jaya merupakan Pj Gubernur Bali yang diduga memerintahkan pembubaran dan intimidasi terhadap panitia People’s Water Forum 2024 dengan melibatkan ormas.

Dia menilai, pansel dianggap meloloskan nama-nama yang memiliki rekam jejak buruk dan tidak memiliki prinsip antikorupsi. Danang meminta pansel tegas memangkas nama-nama yang memiliki rekam jejak buruk, seperti tak mematuhi hukum hingga penyelenggara negara yang tak pernah melaporkan LHKPN.

Baca Juga: KPK Usut Dugaan Korupsi CSR dari BI dan OJK

3. Catatan dari koalisi pansel perlu transparan

Seleksi Pimpinan-Dewas KPK Dikritik Koalisi Masyarakat SipilIlustrasi demonstrasi di Gedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

Sementara, Ketua Pemberi Bantuan Hukum & Pembela HAM Indonesia (PBHI) sekaligus mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi, Julius Ibrani, mengatakan, meski pansel tak meloloskan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, tetapi mereka harus ransparan dalam berbagai hal,

Antara lain dari segi keterbukaan timeline dan alasan mengapa meloloskan kandidat dengan rekam jejak bermasalah dan bukan titipan elite.

"Selain itu, masih ada nama-nama dengan rekam jejak kinerja buruk yang korup, harusnya dicoret sejak awal proses,” kata dia.

4. KPK dianggap alami pelemahan dan kehilangan independensi

Seleksi Pimpinan-Dewas KPK Dikritik Koalisi Masyarakat SipilPerwakilan Forum Guru Besar, Akademisi, Pro Demokrasi, masyarakat sipil dan aktivis '98, Wanda Hamidah (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Sementara itu, Pegiat Antikorupsi, Wanda Hamidah mengaku kecewa dengan kondisi KPK saat ini. Menurutnya, KPK sudah mengalami pelemahan serius di bawah pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Dia mendesak Presiden terpilih Prabowo Subianto mengambil langkah tegas dalam mengembalikan KPK ke jalur yang benar dan membuktikan bahwa kepemimpinannya bukan hanya perpanjangan tangan dari Jokowi.

“Jangan sampai kita de javu pada pemilihan Capim-Dewas KPK periode lalu yang menghasilkan pemimpin terpilih yang memiliki track record yang buruk,” kata dia.

Kemudian, sebagai mantan anggota Pansel Capim-Dewas KPK periode 2015-2019, Natalia Soebagjo menekankan pentingnya integritas dalam proses seleksi ini. 

“Pengalaman saya waktu menjadi pansel saat itu tentunya tidak bisa jadi patokan pansel sekarang, tapi ada poin yang penting yang harus dinilai pansel, yaitu integritas,” katanya.

Dia menyampaikan, KPK telah kehilangan independensi dan integritasnya. Masyarakat dinilai harus mengawasi proses seleksi ini.

5. Proses seleksi tidak pernah dianggap layak dan fungsi pansel hanya teknis saja

Seleksi Pimpinan-Dewas KPK Dikritik Koalisi Masyarakat SipilMantan Kepala Rutan KPK Achmad Fauzi (kiri) berjalan keluar gedung usai menjalani sidang perdana perkara dugaan pungutan liar (pungli) dalam lingkungan Rumah Tahanan (Rutan) KPK di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (1/8/2024). (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Selain itu, pandangan lain juga muncul dari Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari.

Dia menduga Jokowi telah merusak rancang bangun KPK melalui undang-undang bermasalah dan penempatan individu yang dipertanyakan integritasnya di institusi tersebut. Menurut dia, KPK tidak dapat lagi diharapkan dan proses seleksi yang digelar saat ini tidak akan pernah dianggap layak

“Karena seluruh rancang bangun pembentukan KPK dirusak oleh Presiden Joko Widodo, tidak hanya dengan UU yang bermasalah tapi juga menempatkan orang-orang yang bermasalah. Proses seleksi ini tidak akan pernah dianggap layak,”  kata dia.

Sementara, Ketua IM57+ Institute, Praswad Nugraha, mengatakan, Presiden berperan besar dalam proses pemilihan Capim dan Dewas KPK, sedangkan pansel hanya berfungsi secara teknis. 

“Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari pemilihan calon pemimpin KPK ke depan, hal ini terlihat saat pansel tidak meloloskan nama-nama yang kita tahu betul bahwa mereka adalah pegiat antikorupsi,” ujarnya.

Baca Juga: Soal 20 Capim dan Dewas KPK, TI: Jangan Jadi Boneka Baru Rezim Politik

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya