SAFEnet: Perekaman Perempuan di KRL Bogor Masuk KGBO, Pakai Teknologi

Sayangkan respons polisi tangani kasus ini

Intinya Sih...

  • Seorang jurnalis magang korban pelecehan di Kereta Komuter Jakarta-Bogor oleh pria yang merekamnya tanpa persetujuan, dinilai masuk ranah kekerasan seksual berbasis gender online (KGBO), karena pelaku menggunakan handphone sebagai alat perekaman pada korban. Karena itu, sangat disayangkan pelaku hanya diminta membuat surat pernyataan dan video permintaan maaf, padahal muatan hukum perekaman dengan alat teknologi termuat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS Nomor 12 Tahun 2023.

Jakarta, IDN Times - Seorang jurnalis magang berinisial HS menjadi korban pelecehan di Kereta Komuter Jakarta-Bogor, oleh pria berusia 52 tahun yang diam-diam merekamnya. 

Koordinator Awas KBGO SAFEnet, Wida Arioka, mengatakan kasus ini masuk ke ranah kekerasan seksual berbasis gender online (KGBO), karena pelaku menggunakan handphone sebagai alat perekaman pada korban. Apa yang dilakukan pelaku sudah melanggar hak privasi korban karena merekam tanpa persetujuan.

“Karena si pelaku sudah melakukan pelanggaran terhadap privasi dari korban, serta juga tidak menghargai consent, persetujuan dari korban karena dia merekam tanpa persetujuan korban. Kemudian itu juga difasilitasi oleh teknologi, jadi sekali pun itu tidak di internet. Apa yang dilakukan sudah menggunakan teknologi, menggunakan handphonenya, berarti itu sudah termasuk kekerasan berbasis gender online,” kata dia kepada IDN Times, dikutip Senin (22/7/2024).

1. Sayangkan respons polisi tangani kasus ini

SAFEnet: Perekaman Perempuan di KRL Bogor Masuk KGBO, Pakai TeknologiPelaku pelecehan seksual terhadap jurnalis magang di KRL. (x.com/anotherssm)

Wida menjelaskan, apa yang dilakukan korban HS sudah tepat, dengan membawa pelaku ke kantor polisi bersama dengan petugas KAI yang mendampinginya. Namun, dia menyayangkan respons petugas kepolisian menangani kasus ini.

Saat diperiksa, kata Wida, ditemukan tujuh video korban dan ratusan video porno di kartu memori pelaku. 

Korban kesulitan mengakses keadilan karena polisi diduga menolak menangani kasus ini, dengan alasan tidak ada bukti pelecehan fisik dan perekaman tidak menunjukkan alat vital.

Pelaku hanya diminta membuat surat pernyataan dan video permintaan maaf. Padahal, kata dia, kasus ini sebenarnya bisa saja berdampak pada korban secara psikis. 

“Hanya saja kami juga menyayangkan respons dari penegak hukum yang kemudian malah melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik pelecehan yang ada, hanya karena pelecehan ini tidak menyentuh fisik dari si korban,” kata Wida.

Baca Juga: Jurnalis Korban Pelecehan di KRL, UU TPKS Belum Efektif Tangani KBGO

2. Muatan hukum dalam UU TPKS, merekam tanpa persetujuan

SAFEnet: Perekaman Perempuan di KRL Bogor Masuk KGBO, Pakai TeknologiIlustrasi keputusan (IDN Times/Arief Rahmat)

Wida menjelaskan muatan hukum perekaman dengan alat teknologi termuat dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual atau UU TPKS Nomor 12 Tahun 2023. Tepatnya ada di Pasal 14 ayat UU TPKS.  

“Sekali pun kemudian harus dicek lagi nih tentang perekaman yang berbau seksual, gitu,” katanya.

Baca Juga: Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi Polisi

3. Jangan sampai ada pembiaran kasus

SAFEnet: Perekaman Perempuan di KRL Bogor Masuk KGBO, Pakai TeknologiStasiun KRL Kebayoran. (dok. KAI Commuter)

Menurut Wida, jika dilihat dari bukti yang ada, pelaku sudah jelas melakukan perekaman dengan maksud seksual, apalagi ada tujuh rekaman video korban di handphone pelaku.

Namun, kata dia, yang menjadi sorotan adalah pembiaran yang terjadi pada kasus pelecehan seperti ini.

“Masalahnya pembiaran terhadap perbuatan-perbuatan pelecehan seperti ini banyak terjadi gitu, di mana-mana. Dan sebenarnya inilah saatnya kita untuk speak up gitu, menyuarakan hal ini supaya tidak bertambah lagi korban gitu,” kata Wida.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya