Menelisik Masalah Partisipasi Perempuan, Ruang Politik Didominasi Pria

Cenderung hanya jadi pelengkap atau ornamen politik

Jakarta, IDN Times - Perempuan kerap menemui persoalan saat terlibat dalam ruang politik. Berbagai pemojokan pada perempuan dan minimnya partisipasi membuat perempuan kadang dianggap sebelah mata sehingga tak banyak ambil bagian dalam berbagai kebijakan, termasuk tentang isu perempuan itu sendiri.

Dosen Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), Ikhaputri Widiantini, mengatakan, ruang politik masih kental dengan dominasi laki-laki.

“Karena kami menemukan, ruang politik ini masih kental didominasi laki-laki sehingga ada upaya afirmatif melalui kebijakan-kebijakan, terutama untuk partisipasi perempuan, tetapi perempuan belum benar-benar diberikan kesempatan dalam pengambilan keputusan,” kata dia dalam agenda diskusi Jurnal Perempuan bertajuk “Partisipasi Politik Perempuan dan Kelompok Muda dalam Demokrasi Indonesia,” Selasa (12/9/2023).

Baca Juga: UN Women: 340 Juta Perempuan Bakal Hidup Miskin pada 2030 

1. Perempuan cenderung jadi pelengkap atau ornamen politik

Menelisik Masalah Partisipasi Perempuan, Ruang Politik Didominasi PriaIlustrasi bendera partai politik. (ANTARA FOTO/Ampelsa)

Ikhaputri juga berpendapat, perempuan cenderung menjadi pelengkap atau ornamen dalam agenda politik. Hal itu karena ada beberapa kasus perempuan yang kerap didorong jadi calon legislatif, tetapi tidak tahu harus melakukan apa.

“Hanya kepentingan partainya untuk memenuhi minimal partisipasi tadi (kuota). Padahal dalam tindakan-tindakan afirmatif ini, perempuan sekaligus belajar,” kata dia.

Selain itu, masih ada peminggiran perempuan di ruang privat yang menyulitkan perempuan masuk ke ruang politik.

Baca Juga: Kawin Tangkap Kerap Diklaim Tradisi Budaya, Perempuan Jadi Korban

2. Jadi perempuan adalah masalah bagi perempuan

Menelisik Masalah Partisipasi Perempuan, Ruang Politik Didominasi PriaIlustrasi millennial dan Gen Z/Dok. IDN Times

Sementara itu, Dosen Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Indonesia, Ani Widyani Soetjipto, mengatakan, perempuan muda dari berbagai partai menghadapi berbagai tantangan saat bertarung di dunia politik.

“Gak mudah untuk perempuan muda itu masuk di partai politik. Menjadi perempuan itu sudah jadi satu problem, menjadi perempuan dan muda lapisannya itu lebih berat lagi,” katanya.

Ani mengatakan, hal tersebut merupakan penelitian yang dilakukannya dengan melihat kondisi perempuan di arena politik dari lensa gender. Dia mengatakan, perempuan juga menghadapi seksisme sehingga ada perbedaan antara anggota perempuan dan laki-laki di partai. 

Biaya politik tinggi juga dinilainya merugikan perempuan muda yang tak punya privillege ekonomi. Belum lagi menghadapi senioritas dari sesama perempuan.  

Menurut dia, tak jarang perempuan direkrut hanya untuk publikasi partai. Contohnya seperti memanfaatkan kepopulerannya sebagai artis dan memanfaatkan perempuan secara ekonomi ekonomi serta legitimasinya.

Baca Juga: Viral Kawin Tangkap NTT, Komnas Perempuan: Melanggar UU TPKS!

3. Politik harapan yang dirumuskan oleh feminisme

Menelisik Masalah Partisipasi Perempuan, Ruang Politik Didominasi PriaIlustrasi perempuan muda (IDN Times/Arief Rahmat)

Di sisi lain, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin, menyinggung soal politik harapan yang dirumuskan oleh feminisme.

Dia mengatakan, konsep hal tersebut mengacu pada perubahan sosial dan politik yang diharapkan membawa perubahan signifikan dalam kehidupan secara menyeluruh. 

“Penekanan adanya harapan merupakan inti dari politik marginal. Di dalamnya ada narasi tentang keinginan kuat dalam mencapai kesetaraan atau sebatas kehidupan yang lebih baik. Politik harapan meyakini bahwa tindakan politik yang bertujuan mencapai kesetaraan dan keadilan akan menghasilkan masyarakat tanpa kekerasan dan diskriminasi,” kata dia.

Pengertian ini, ujar Usep, bisa digunakan pemuda untuk menyuarakan kesetaraan dan hak politiknya. Contohnya, dahulu perempuan tidak boleh memilih dalam pemilu dan akhirnya disuarakan.

Dia menilai, hal ini bisa jadi contoh ketika pemuda mendapat diskriminasi politik saat tak bisa mencalonkan diri di kursi pemerintahan karena batasan usia.

“Bahwa perempuan dulu dilarang di dalam politik dan pemuda juga sekarang di Indonesia juga dilarang untuk jadi gubernur dan presiden,” katanya.

Baca Juga: Fahri Hamzah Usul Seluruh Parpol di Kabinet Gabung Dukung Prabowo

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya