Masyarakat Sipil Nilai Jokowi Arogan Usai Terbitkan Surpres RUU Polri

Disebut kukuhkan praktik legislasi otoriter

Intinya Sih...

  • DPR menerima Surpres RUU Polri dan mendapat kritik dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian.
  • Koalisi menilai proses pembahasan RUU Polri hanya mengukuhkan praktik legislasi otoriter dan legitimasi kepentingan politik Jokowi.
  • Koalisi menyerukan agar Jokowi mendengarkan kritik terhadap RUU Polri sebelum menerbitkan Surpres ke DPR RI.

Jakarta, IDN Times - DPR telah menerima Surat Presiden (Surpres) sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) termasuk di antaranya adalah RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai, penerbitan Surpres RUU Polri ini menunjukkan arogansi Presiden Joko “Jokowi” Widodo dalam penyusunan regulasi. 

“Lagi-lagi Presiden Jokowi kembali mengabaikan prinsip konstitusi dan kedaulatan rakyat dalam penyusunan undang-undang. Proses perencanaan dan penyusunan RUU Polri oleh DPR yang sembunyi-sembunyi, tergesa-gesa dan tidak memberikan ruang partisipasi bermakna kepada publik yang jelas-jelas melanggar aturan main demokrasi dan konstitusi justru disambut mesra oleh Presiden dengan dukungan surat Presiden,” kata Koalisi ini dalam keterangannya, dikutip Senin (15/7/2024).

1. Khawatir jadi legislasi otoritas dan legitimasi kepentingan politik Jokowi

Masyarakat Sipil Nilai Jokowi Arogan Usai Terbitkan Surpres RUU PolriPresiden Jokowi dalam sambutannya pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional Tahun 2024 (youtube.com/Sekretariat Presiden)

Koalisi mengungkapkan, proses pembahasan RUU Polri di DPR hanya mengukuhkan praktik legislasi otoritas dan legitimasi kepentingan politik Jokowi. Pasalnya, RUU ini disebut bukan untuk melindungi masyarakat. namun hanya untuk melindungi kekuasaan. 

“Jika nantinya disahkan hanya akan menjadi legitimasi upaya paksa negara lewat aparat kepolisian kepada rakyat seperti penyadapan, memata-matai rakyat bahkan kriminalisasi termasuk politisasi dan multifungsi kepolisian,” kata mereka.

Baca Juga: RUU Polri: Penyidik KPK dan Kejaksaan Harus Koordinasi ke Polisi

2. Koalisi sebut substansi RUU Polri ini sarat kepentingan elite

Masyarakat Sipil Nilai Jokowi Arogan Usai Terbitkan Surpres RUU PolriPresiden Jokowi dan Iriana dalam upacara Hari Bhayangkara ke-78 (dok. Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden)

Meski belum menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) beleid, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan proses pembahasan RUU ini akan segera dilanjutkan. Koalisi mengungkapkan, substansi RUU Polri ini sarat kepentingan elite.

“Langkah Presiden Joko Widodo yang mengirimkan surat presiden ini patut dinilai sebagai tindakan yang mengkhianati demokrasi dan konstitusi,” kata Koalisi.

Koalisi menilai RUU Polri ini bersikeras untuk disahkan di tengah masa lame duck atau politikus yang segera berakhir masa jabatannya. Selain itu RUU ini tidak termasuk di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dan tak melalui perencanaan dan penyusunan transparan, partisipatif dan akuntabel.

Baca Juga: KontraS: RUU Polri Beri Kewenangan Polisi Lakukan Penyadapan

3. Jokowi perlu mendengarkan kritik dan penolakan terhadap RUU Polri

Masyarakat Sipil Nilai Jokowi Arogan Usai Terbitkan Surpres RUU PolriPresiden Jokowi dalam sambutannya pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional Tahun 2024 (youtube.com/Sekretariat Presiden)

Koalisi menjelaskan, seharusnya sebelum mengirimkan Surpres ke DPR RI, Jokowi perlu mendengarkan kritik dan penolakan terhadap RUU Polri. Jokowi perlu meninjau kembali rancangan undang-undang usulan DPR yang disebut koalisi sarat masalah, baik formil maupun substansi dengan mengakomodasi tuntutan publik, bukan justru bersikeras menerbitkan Surpres. 

“Terlebih lagi RUU Polri ini akan memberi kewenangan yang demikian besar dan luas kepada institusi yang dalam beberapa tahun terakhir justru tengah ramai disorot publik dan sarat dengan masalah pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Sehingga langkah Presiden ini justru hanya kian menunjukkan praktik-praktik legislasi otoriter “unjuk kuasa” dengan mengabaikan kritik publik,” ujar Koalisi.

Koalisi ini terdiri dari 27 lembaga sipil dan organisasi non-pemerintah yang beragam. Beberapa di antaranya adalah AJAR, AJI Indonesia, Amnesty International Indonesia, Centra Initiative, dan ELSAM, HRWG , ICJR, dan ICW. Selain itu, ada IJRS , IM57+ Institute, dan Imparsial, KontraS, Kurawal Foundation, dan LBH Jakarta. Kemudian ada LBH Pers, LBH Masyarakat, dan LeIP. Serta Lokataru Foundation, PBHI Nasional, dan PSHK serta SAFEnet, Themis Indonesia, dan TII. Kemudian ada Yayasan Pikul, YLBHI, Remotivi, dan WeSpeakup.org

 

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya