KontraS: Penyiksaan Bocah di Sumbar Bukti Kultur Kronis Kepolisian

Komitmen jalankan HAM hanya sebatas angan-angan

Intinya Sih...

  • KontraS mengungkapkan polisi masih terlibat dalam 308 peristiwa kekerasan, termasuk penyiksaan dan eksekusi di luar hukum. Organisasi ini menyoroti kurangnya komitmen pemerintah dan polisi dalam melaksanakan tugas dengan nilai HAM yang sejati. KontraS mendorong evaluasi ketat terhadap kinerja kepolisian serta pengawasan dari lembaga internal maupun eksternal.

Jakarta, IDN Times - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan, polisi masih erat dengan kultur kekerasan. Hal ini berkenaan dengan kasus seorang bocah 13 tahun bernama Afif Mualana, yang tewas usai diduga mendapat penyiksaan dari anggota Sabhara Polda Sumatra Barat (Sumbar).

Berdasarkan pemantauan KontraS, ada 308 peristiwa kekerasan yang dilakukan kepolisian pada masyarakat sipil sejak Januari hingga Juni 2024. Kekerasan ini di dalamnya ada tindakan penyiksaan, terus juga extrajudicial killing, dan kesewenang-wenangan lainnya dari aparat kepolisian.

“Sehingga kami melihat memang kultur kekerasan masih menjadi suatu penyakit kronik, begitu gitu kronis bagi kepolisian begitu yang menyebabkan masih tingginya angka-angka penyiksaan yang terjadi di institusi kepolisian itu sendiri,” kata Staf Divisi Hukum KontraS, Muhammad Yahya Ihyaroza kepada IDN Times, Senin (24/6/2024).

1. Kejadian ini tidak manusawi

KontraS: Penyiksaan Bocah di Sumbar Bukti Kultur Kronis KepolisianIlustrasi bully. (IDN Times/Mardya Shakti)

KontraS menyayangkan jika memang benar dugaan penyiksaan ini benar terjadi karena tindakan polisi. Menurutnya kekerasan ini tidak manusiawi.

“Kita juga melihat ini sebuah, apa, kejahatan yang sangat tidak manusiawi begitu ya, karena itu tadi. Polisi juga sebetulnya telah memiliki aturan internal berkaitan dengan standar prinsip hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugasnya begitu,” kata Yahya.

Baca Juga: Kapolda Sumbar Bantah Siswa SMP di Padang Tewas Diduga Disiksa Polisi

2. Komitmen jalankan HAM hanya sebatas angan-angan

KontraS: Penyiksaan Bocah di Sumbar Bukti Kultur Kronis KepolisianPolisi di Padang duga aniaya anak sampai tewas. (lbhpadang.org)

Menurut Yahya, pemerintah serta polisi harus punya komitmen dan cita-cita melaksanakan tugas yang menunjukkan nilai hak asasi manusia (HAM). Namun, menurut KontraS hal ini masih sebatas angan-angan.

“Namun sangat disayangkan sepertinya hal tersebut hanyalah sebatas angan-angan saja, begitu ya, hanya sebatas regulasi tanpa pengimplementasian yang menyeluruh,” kata dia.

Baca Juga: KPAI: Polisi di Sumbar Siksa hingga Tewaskan Remaja

3. Perlu adanya evaluasi dan pengawasan ketat

KontraS: Penyiksaan Bocah di Sumbar Bukti Kultur Kronis KepolisianIlustrasi anggota polisi. (Dok.Polres Bantul)

Sehingga dalam hal ini, KontraS mendorong evaluasi terkait kekerasan yang dilakukan polisi pada masyarakat. Pertama, adanya pengawasan yang sangat ketat, baik dari lembaga internal maupun eksternal, seperti Propam, Kompolnas, Irwasum, Ombudsman, dalam pelaksanaan tugas-tugas kepolisian. 

“Terlebih juga sebagaimana yang kita ketahui kepolisian memiliki kewenangan luas, sehingga peluang untuk mereka menyalahgunakan kewenangan tersebut pun juga semakin besar begitu. Sehingga perlu adanya pengawasan yang sangat ketat terhadap kinerja dari pihak kepolisian itu sendiri,” kata Yahya.

4. Kronologi tewasnya AM

KontraS: Penyiksaan Bocah di Sumbar Bukti Kultur Kronis KepolisianPolisi di Padang duga aniaya anak sampai tewas. (lbhpadang.org)

Dugaan penyiksaan dilakukan anggota Sabhara Polda Sumbar hingga menyebabkan anak berusia 13 ini meninggal dunia. Peristiwa tersebut terjadi pada Minggu, 9 Juni 2024 yang berlokasi di Jembatan Batang Kuranji, Kota Padang, Sumatra Barat.

Kronologi menurut KontraS, pada pagi sekitar pukul 04.00 WIB, korban AM bersama temannya A sedang mengendarai motor melintasi jembatan Batang Kuranji, Padang. Saat itu, keduanya dihampiri polisi yang sedang berpatroli.

Polisi menendang motor mereka, menyebabkan korban dan temannya terpelanting ke pinggir jalan. A melihat korban masih berdiri sebelum polisi mengelilingi mereka sambil memegang rotan. A kemudian ditangkap polisi dan tidak mengetahui keberadaan korban sejak itu.

Pada hari yang sama sekitar pukul 11.55 WIB, korban ditemukan tewas mengapung di Sungai Batang Kuranji dengan luka memar di punggung dan perut.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melakukan investigasi dan mendapatkan keterangan dari tujuh korban, termasuk lima anak-anak. Mereka ditangkap dan dianiaya polisi dengan tuduhan terlibat tawuran.

Para korban mengalami penyiksaan berupa pukulan dengan rotan, disetrum, disundut rokok, hingga dipaksa melakukan ciuman sesama jenis. Tindakan ini dilakukan untuk memaksa mereka mengakui sebagai pelaku tawuran.

Keluarga korban telah melaporkan kejadian ini ke Polresta Padang pada 10 Juni dengan nomor LP/B/409/VI/2024/SPKT/Polresta Padang/Polda Sumatra Barat.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya