KDRT Masih Marak karena Ada Fenomena Bystander Effect, Apa Itu?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kembali viral. Salah satu yang baru-baru ini menjadi sorotan yakni kasus dokter Q, yang kabur dari rumahnya karena alami KDRT berulang dari suaminya. Kasus ini viral karena sang suami mencari dokter Q dari media sosial.
Kasus ini menunjukkan masih banyak KDRT yang terjadi di masyarakat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengungkapkan, KDRT bukan lagi urusan privat, tapi sudah menjadi urusan negara saat Undang-Undang Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dituangkan dalam lembaran negara pada 22 September 2004.
“Sekali lagi, kepada semua perempuan yang mengalami kekerasan di dalam rumah tangganya, segeralah melapor,” kata Bintang dalam keterangannya dikutip, Selasa (21/11/2023).
Baca Juga: Menteri PPPA Apresiasi Dokter Q Berani Lepaskan Diri dari KDRT
1. Ada fenomena lingkungan abai pada kasus KDRT atau disebut bystander effect
Namun nyatanya, tak jarang ada pemikiran bahwa KDRT adalah ranah privat, dan tetangga tidak perlu bertanggung jawab atas hal tersebut. Padahal korban memerlukan bantuan. Fenomena lingkungan yang abai pada kasus KDRT disebut bystander effect.
Dilansir situs Verywell Mind, fenomena bystander effect atau efek pengamat, juga dikenal sebagai kondisi psikologis sikap apatis pengamat.
Hal ini mengacu pada fenomena dimana seseorang enggan memberikan bantuan saat ada kondisi darurat dan orang butuh bantuan. Terutama saat ada banyak orang di sekitarnya.
2. Hal yang mempengaruhi adanya bystander effect
Queensland Centre for Domestic and Family Violence Research menjelaskan, ada beberapa hal yang mempengaruhi efek pengamat atau bystander effect ini.
Pertama adalah ambiguitas, di mana semakin ambigu situasinya, semakin kecil kemungkinan orang akan campur tangan.
Kemudian kekompakan kelompok, yakni saat kebutuhan untuk berperilaku benar dan dapat diterima secara sosial atau sederhananya bertindak sesuai norma sosial yang ada, yakni saat pengamat tidak bereaksi, menganggap tak perlu atau tak penting menanggapi kasus KDRT.
Editor’s picks
Pembagian tanggung jawab adalah saat masyarakat tidak menyadari adanya kebutuhan campur tangan saat ada kekacauan atau kedaruratan.
3. KDRT disebut masalah pribadi dan korban bisa keluar dari masalahnya
Dalam mitos yang berlaku adalah baik dan benar bahwa KDRT itu disebut masalah pribadi, korban perempuan dianggap bisa keluar dari masalahnya begitu saja, dan KDRT bahkan di beberapa budaya dianggap sebagai sesuatu yang dapat diterima.
Bahkan ada fenomena di mana perempuan juga menyalahkan perempuan korban KDRT, dan menganggap KDRT yang dialami seseorang tidaklah terlalu parah.
4. Setiap yang mengetahui KDRT wajib melakukan upaya sesuai kemampuan
Indonesia telah mengatur tentang pelibatan masyarakat dalam penanganan KDRT. Pasal 15 UU PKDRT dituliskan sebagai berikut:
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Baca Juga: Viral Kasus KDRT Dokter Q: Sedang Hamil hingga Suami Jadi Tersangka