Ini Penjelasan soal Donor ASI di UU KIA

Ibu berhak menjadi donor ASI bagi anak lain

Intinya Sih...

  • Ibu berhak menjadi pendonor ASI bagi anak yang tidak bisa mendapat ASI dari ibu kandungnya sesuai Pasal 4 Ayat 1 poin j.
  • Anak berhak menerima ASI eksklusif dari pendonor jika ibu tidak ada atau terpisah dari anak menurut Pasal 11 Ayat 2.
  •  

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang baru sah pada Selasa, 4 Juni 2024 mengatur tentang donor air susu ibu (ASI).

Hal-hal mengenai donor ASI ini termuat dalam beberapa pasal. Berikut adalah penjelasannya!

Baca Juga: Komnas Khawatir UU KIA Teguhkan Peran Domestik Perempuan 

1. Ibu berhak menjadi donor ASI bagi anak lain

Ini Penjelasan soal Donor ASI di UU KIAIlustrasi balita (ANTARA FOTO/Irwansyah Putra)

Hak dan kewajiban dalam UU KIA tersebut memuat soal donor ASI.

Dalam Pasal 4 Ayat 1 poin j dijelaskan, ibu berhak menjadi pendonor ASI bagi anak yang tidak memungkinkan mendapatkan ASI dari ibu kandungnya.

Terutama karena kondisi tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.

Baca Juga: Komnas Perempuan Kritisi UU KIA: Teguhkan Peran Domestik Perempuan

2. Anak berhak dapat donor ASI dengan indikasi medis atau ibu tidak ada

Ini Penjelasan soal Donor ASI di UU KIAKegiatan Posyandu. (kampungkb.bkkbn.go.id)

Muatan soal ASI juga diperuntukkan bagi anak dalam Pasal 11 Ayat 2, dijelaskan, anak berhak dapat ASI eksklusif dari pendonor jika ada indikasi medis, ibu tidak ada atau ibu terpisah dari anak.

Meski demikian, dijelaskan pendonor ASI harus dicatat dan dilaksanakan sesuai undang-undang yang berlaku di bidang kesehatan.

Baca Juga: Pakar: Politik Uang di Pemilu Dikoreksi Lewat UU, Bukan Ubah UUD 1945

3. Menteri PPPA sebut UU sudah diuji kohesivitas

Ini Penjelasan soal Donor ASI di UU KIAInfografis UU KIA (IDN Times/Aditya)

Diketahui, UU KIA sah pada 4 Juni 2024. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mengatakan, rumusan UU ini telah diuji kohesivitas substansinya sehingga lebih tajam dan komprehensif.

Menurut Bintang, saat ini ibu dan anak di Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan. Misalnya, tingginya angka kematian ibu pada saat melahirkan, angka kematian bayi, dan stunting. 

“Sedangkan kebijakan kesejahteraan ibu dan anak masih tersebar di berbagai peraturan dan belum mengakomodasi dinamika kebutuhan hukum masyarakat. Kita perlu menata pelaksanaan kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan secara lebih komprehensif, terukur, terpantau, dan terencana dengan baik,” kata Bintang.

Baca Juga: Kemen PPPA Soroti Kasus Polwan Bakar Suami hingga Tewas

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya