Dorong Hak PRT, Lita Anggraini: PRT Kerja di Situasi Perbudakan Modern

Perekrutan yang buta dan rentan kekerasan

Intinya Sih...

  • Kasus penyekapan PRT Isabela Pule (23) di Jakarta Barat kembali mencuatkan isu perlindungan hak-hak pekerja domestik.
  • Menurut aktivis Lita Anggraini, kekerasan terjadi karena pembatasan akses komunikasi, penyekapan, dan penyanderaan dokumen.

Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan Pekerja Rumah Tangga (PRT) kembali terulang. Isabela Pule (23) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) jadi korban penyekapan oleh majikannya di Tanjung Duren, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.

Isabela Pule (IP) mengalami perlakuan kasar dari majikannya. Dia tidak diberi makan hingga gajinya ditahan. Kasus semacam ini mencuatkan isu perlindungan hak-hak pekerja domestik dan mendesak perlunya tindakan hukum yang melindungi mereka.

Tentang kasus ini, IDN Times mewawancarai Lita Anggraini, seorang aktivis yang dikenal karena dedikasinya dalam memperjuangkan hak-hak pekerja rumah tangga di Indonesia.  Lita adalah Koordinator Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), sebuah organisasi yang berfokus pada advokasi untuk melindungi dan meningkatkan kondisi pekerja rumah tangga.

Berikut adalah wawancara khusus IDN Times dengan Lita di program Ngobrol seru by IDN Times dengan tajuk "Kekerasan di Balik Pintu yang Mengintai PRT."

Baca Juga: Kekerasan PRT Mengintai Selama RUU PPRT Tak Kunjung Disahkan

1. Kekerasan yang menimpa IP asal NTT

Lita mengatakan, kasus yang menimpa IP sebenarnya sudah berlangsung sejak September 2023. Namun baru terungkap dan dia berhasil menyelamatkan diri pada 15 Februari 2024 lalu.

Kasus IP didampingi oleh komunitas Forum NTT. Dua pengacara dari NTT dan perwakilan masyarakat NTT di Jakarta turut terlibat dalam mendukung penanganan kasus ini. IP hanya satu dari ribuan kasus yang baru terungkap, sebab masih banyak kasus yang tidak diketahui karena PRT bekerja di ranah pribadi, yakni di dalam rumah.

"Kasus IP merupakan salah satu bentuk cermin, satu dari ribuan kasus yang ketahuan. Belum yang tidak diketahui yang mereka bekerja di dalam rumah. Karena kan PRT bekerja di dalam rumah-rumah, kita tidak tahu situasinya seperti apa,” kata Lita.

Lita menjelaskan, kebanyakan kasus kekerasan terjadi karena pembatasan akses komunikasi, penyekapan, dan penyanderaan dokumen. Hal ini membuat PRT sulit berkomunikasi dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya. 

Dengan isolasi tersebut, kata dia, tingkat kekerasan cenderung meningkat bahkan bisa mencapai taraf fatal, termasuk penyiksaan berulang dan ancaman terhadap nyawa korban.

2. JALA PRT terima 10 laporan kekerasan tiap hari

Jala PRT sendiri menerima laporan setiap hari mengenai kekejaman, eksploitasi, dan kekerasan terhadap PRT di Indonesia. Lita mengatakan, pekerja rumah tangga berada dalam kondisi mirip perbudakan modern. Pihaknya bahkan menerima lebih dari 10 pengaduan setiap hari soal kekerasan dan eksploitasi pada PRT.

“Kami menerima laporan setiap hari, itu terkait dengan korban-korban PRT yang berada di wilayah kerja, eksploitasi, dan kekerasan. Mereka bekerja di wilayah situasi perbudakan modern dan kami menerima pengaduan sehari lebih dari 10,” kata dia.

Lita mengungkapkan, selain kasus harian, JALA PRT juga mencatat angka kasus fatal yang mencapai lebih dari 3.414 selama tiga tahun terakhir hingga 2023.

Menurut Lita, PRT menghadapi berbagai masalah, seperti tidak diberi makan, penghentian dokumen, hingga pemotongan gaji saat mereka ingin mengundurkan diri. Kasus ini menunjukkan bahwa situasi pekerja rumah tangga di Indonesia yang jumlahnya mencapai lima juta tidak baik.

Lita mengatakan, UU PPRT penting untuk memberikan perlindungan dan hak yang pantas bagi PRT. Sebab, kata dia, PRT tidak hanya menjadi penopang perekonomian nasional, tetapi juga tulang punggung keluarga. 

Baca Juga: JALA PRT Ungkap Kekerasan di Balik Pintu yang Mengintai PRT

3. JALA PRT buat sekolah untuk para PRT

Sebelumnya, Lita mendirikan organisasi nonpemerintah ‘Cut Nyak Dien Yogyakarta’ untuk mengadvokasi perempuan. Seiring berjalannya waktu, jalur kemanusiaan yang digagas Lita itu membawanya pada pembelaan untuk para PRT sejak 2004.

Dalam kerja sosialnya, kata Lita, JALA PRT juga membentuk sekolah PRT. Layanan edukasi ini memberi pemahaman mendalam tentang kerja layak, perlindungan, penanganan kasus, komunikasi, dan negosiasi. Sekolah PRT juga mencakup perlindungan dari kekerasan berbasis gender dan seksual, serta aspek perekrutan dan penempatan yang berbasis perlindungan. 

Dalam kasus kekerasan terhadap PRT, Lita dan teman-temannya juga memberikan penanganan dari berbagai pelaporan kasus. Contohnya, jika ada masalah seperti upah yang belum dibayar, maka JALA PRT melakukan negosiasi, somasi, hingga menggugat apabila diperlukan.

Adapun kasus yang melibatkan kekerasan fisik, penyiksaan, atau kekerasan seksual, JALA PRT bekerja sama dengan lembaga bantuan hukum (LBH) untuk memberikan pendampingan dan asistensi dalam proses hukum. 

Namun diakuinya, tantangan sering muncul ketika proses hukum terhenti di aparat hukum atau ketika PRT diminta untuk berdamai.

“Tapi masalahnya, sering dalam proses kasus hukum ini terhenti di aparat hukum termasuk kepolisian dan seringkali PRT diminta untuk berdamai,” ujarnya.

Lita juga mencatat, beberapa kasus kekerasan bersifat multikasus dan berlapis, tetapi malah disebut sebagai satu kasus saja. Padahal satu korban bisa mengalami berbagai kekerasan, mulai dari KDRT, trafficking, hingga kasus kekerasan seksual. Sayangnya, hanya satu jenis pidana saja yang dicatat.

4. RUU PPRT mandek diduga ada konflik kepentingan di DPR

Sejak tahun 2004, RUU PPRT telah diajukan. Pada tahun 2009, upaya pengesahan RUU ini telah dipercepat. Kemudian, tahun 2019 RUU PPRT masuk ke dalam prolegnas, tetapi belum berhasil disahkan menjadi undang-undang.

Masuknya RUU PPRT sebagai inisiatif DPR pada tahun 2023 juga menunjukkan langkah konkret. Namun, hingga saat ini regulasi tersebut belum dibawa ke rapat paripurna untuk mendapatkan persetujuan akhir.

Proses lambannya pengesahan RUU PPRT, menunjukkan tantangan dalam merumuskan kebijakan yang sesuai dan mendukung perlindungan bagi pekerja rumah tangga di Indonesia.

Lita yang juga peraih penghargaan 'Alumni Mengabdi Award' ini mengatakan, JALA PRT dan berbagai pihak sudah berupaya melakukan berbagai cara agar beleid ini segera sah. Kasus yang menimpa IP seharusnya jadi contoh ke sekian kali untuk mendesak DPR bisa mengesahkan RUU PPRT.

Lita menyoroti konflik kepentingan di DPR, yaitu mayoritas anggota merupakan pemberi kerja yang cenderung lebih memprioritaskan kepentingan mereka daripada perlindungan lima juta PRT.

“RUU-nya masih disandera dan kita lihat bahwa memang terjadi konflik kepentingan, karena mayoritas dari, hampir 100 persen dari anggota DPR adalah mereka pemberi kerja. Mereka lebih mengutamakan mempekerjakan daripada memperjuangkan konstituen, 5 juta PRT. Tanpa PRT pun anggota DPR tidak bisa juga bekerja buat peraturan perundangan seperti itu,” ujarnya.

Baca Juga: JALA PRT Terima 10 Laporan Kekerasan Setiap Hari

5. Perekrutan yang buta dan tak ada edukasi bagi PRT

Lita menyoroti, kebanyakan PRT menjadi korban karena pola perekrutan yang buta, tanpa informasi yang memadai tentang tempat kerja, alamat atau pemberi kerja. 

“Seharusnya ada sistem perekrutan penempatan yang berbasis pendidungan dan satu data terpadu,” kata dia.

Untuk mengatasi hal ini, JALA PRT mendorong perlunya edukasi lewat balai latihan kerja yang dapat diakses oleh PRT di kampung halaman mereka sebelum berangkat maupun tempat kerja.

Selain itu, Lita menekankan pentingnya perombakan sistem perekrutan penempatan dengan wawancara langsung antara PRT dan calon pemberi kerja. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi ketidakpastian dan risiko kekerasan yang kerap membayang-banyangi para PRT.

“Jadi PRT bekerja dengan siapa, tidak tahu sama sekali, buta informasi, karena informasi itu tidak diberikan oleh penyalur,” katanya.

6. PRT perlu dibina bekerja sesuai bidangnya dan diasah keterampilannya

Di tengah perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, para PRT juga dituntut untuk bisa familiar dengan alat kerja mereka, seperti vacum cleaner, kompor yang tak lagi menggunakan gas, setrika uap hingga berbagai alat kerja modern lainnya.

Lita menekankan pentingnya pengembangan keterampilan bagi PRT. Menurut Lita, pelatihan kerja yang gratis dan dapat diakses di wilayah asal PRT, seperti Badan Latihan Kerja (BLK) yang dikelola pemerintah menjadi sangat vital. 

“Sehingga kalau saya bekerja, saya sudah mengetahui bagaimana peralatan rumah tangga alat kerja yang saya gunakan,” kata dia.

Lita juga menggarisbawahi pentingnya pembekalan dalam berbagai bidang, seperti memasak, mencuci, merawat anak, dan membersihkan rumah. Ini jadi hal yang penting sehingga PRT tidak sembarangan dituntut pekerjaan yang tidak sesuai bidangnya, padahal gaji yang didapat juga tidak sesuai.

Baca Juga: Kejutan, Suara Caleg Yuni PRT Salip Astrid Kuya di Dapil 7 Jakarta

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya