Unit PPA Polres Jaksel Tangani Kasus Pelecehan Seksual Jurnalis di KRL

Kasus pelecehan sempat ditolak Polsek Tebet

Intinya Sih...

  • Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Jakarta Selatan menangani kasus pelecehan seksual terhadap jurnalis magang S di KRL Jakarta-Bogor.
  • Pelaku merekam korban dengan ponsel dan ditemukan 7 video pelecehan serta 300 video porno lainnya.
  • Kasus ditolak oleh beberapa polsek karena kurangnya bukti fisik, meskipun UU TPKS mengatur KBGO sebagai bentuk kekerasan berbasis gender.

Jakarta, IDN Times - Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Selatan akhirnya menangani kasus pelecehan seksual terhadap jurnalis magang berinisial S, di Kereta Komuter (KRL) Jakarta-Bogor pada Selasa, 16 Juli 2024.

Sebelumnya, aduan korban sempat tidak diproses Polsek Tebet, Jakarta Selatan.

“Pengaduan tersebut sudah diterima dan dikonsultasikan dengan Unit PPA Polres Jaksel dan sudah diberikan penjelasan oleh Petugas Unit PPA kepada pengadu,” kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Bareskrim Polri, AKBP Ema Rahmawati kepada IDN Times, Kamis (18/7/2024).

Baca Juga: Marak Kasus Pelecehan di Bekasi, Menteri PPPA: Harus Berani Lapor

1. Seorang pria paruh baya diduga merekam korban

Unit PPA Polres Jaksel Tangani Kasus Pelecehan Seksual Jurnalis di KRLIlustrasi KRL (IDN Times/Dhiya Awlia Azzahra)

Peristiwa pelecehan terhadap jurnalis magang di sebuah media online itu terjadi saat korban dalam perjalanan pulang dari Stasiun Duren Kalibata menuju Jakarta Kota pukul 20.15 WIB.

Seorang petugas KAI memberi tahu S, bahwa seorang pria tengah merekamnya dengan ponsel.

“Saya duduk sendiri bermain HP dan memasang earphone, saya tidak memperhatikan sekeliling. Ternyata saat kereta melaju dari Stasiun Manggarai menuju ke Cikini, seorang petugas KAI yang sudah selesai bertugas dan memakai jaket bangkit dan berdiri sambil bilang ke saya ‘Mbak, itu divideoin mbak sama bapak ini’, sambil menunjuk ke seorang pria paruh baya," kata S dalam keterangannya, dikutup Kamis (18/7/2024).

Pria itu duduk di seberangnya dan memegang handphone. Setelah memeriksa ponsel pelaku, ditemukan tujuh video yang merekam korban serta ratusan video tidak senonoh lainnya.

“Setelah dicek, ternyata memang ada video saya. Bukan hanya satu video, melainkan ada 7 (tujuh) video dengan rentang durasi 3-7 menit," kata dia.

“Lebih menjijikan lagi, di memori HP tersebut terdapat 300 lebih video porno," ujarnya.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan Dilecehkan di KRL, Polisi Diduga Tolak Tanggapi

2. Polisi tidak perkenankan korban didampingi keluarga

Unit PPA Polres Jaksel Tangani Kasus Pelecehan Seksual Jurnalis di KRLIDN Times/Andi Audia Faiza Nazli Irfan

Dengan bantuan petugas KAI dan keamanan stasiun, pelaku diamankan di Stasiun Jakarta Kota dan dibawa ke Polsek Taman Sari. Namun, karena alasan yurisdiksi, kasus ini dirujuk ke Polsek Menteng, lalu Polsek Tebet.

“Saya sebagai korban datang lebih dulu untuk membuat laporan. Namun lagi-lagi, pihak Polsek Menteng menyatakan kasus ini tidak bisa ditangani karena memang lokasi kasus, jadi harus ke Polsek Tebet," kata S.

“Sesampaianya di Polsek Tebet, saya dimintai keterangan terlebih dahulu oleh petugas piket. Saat dimintai keterangan, saya hanya sendirian, tidak diperkenankan mendapat pendampingan dari keluarga," imbuhnya.

Baca Juga: Penumpang KRL Jabodetabek Tembus 1,15 Juta per Hari

3. Polisi sebut korban direkam diduga karena cantik

Unit PPA Polres Jaksel Tangani Kasus Pelecehan Seksual Jurnalis di KRLilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Petugas di Polsek Tebet menyarankan S membawa kasus ini ke Polres Jakarta Selatan. Di sana, seorang polwan menyatakan bahwa kasus ini tidak bisa ditindak pidana karena tidak ada bukti pelecehan fisik yang terlihat.

Di Polsek Tebet, S berhadapan dengan petugas yang diduga menanggapi laporan yang justru ada kesan ditolak dengan berbagai alasan.

"Mbanya divideoin karena cantik lagi. Mungkin bapaknya fetish, terinspirasi dari video Jepang. Bapanya ngefans sama mbanya, mba idol," ujar dia menirukan perkataan polisi.

Dia mengatakan, Polsek Tebet akhirnya mengungkapkan tidak ada yang bisa dilakukan dan menyarankan agar kasus ini dibawa ke Polres Jakarta Selatan. Bersama dengan keluarga, petugas KAI, dan korban mengaku mendapat penolakan di Polres Jakarta Selatan.

“Saya bahkan sampai terhenyak ketika seorang oknum polwan dengan tenangnya menjelaskan bahwa, ‘Mbak, kasus ini tidak bisa ditindak pidana karena memang harus sesuai dengan ketentuan harus kelihatan alat vital atau sensitif, dan mbaknya divideoin secara paksa’,” kata dia.

Seorang polwan juga mengatakan bukti video di HP pelaku tidak menemukan adanya tindakan pelecehan, dan tindakan tidak menyenangkan itu sudah tidak ada di Pasal 335.

“Adanya tindakan tidak menyenangkan itu karena ada paksaan dari pelaku," kata dia menirukan perkataan seorang polwan.

Baca Juga: Sri Mulyani Izin DPR Cairkan Rp6,1 Triliun Beli KRL hingga Bangun Tol

4. Pelaku tak bisa lagi naik KRL

Unit PPA Polres Jaksel Tangani Kasus Pelecehan Seksual Jurnalis di KRLIlustrasi penumpang KRL (IDN Times/Larasati Rey)

Pelaku akhirnya hanya diminta menulis surat pernyataan dan video permintaan maaf. S mengapresiasi tindakan cepat pihak KAI yang mengawal kasus ini dari satu polsek ke polsek lain hingga ke polres.

KAI memastikan pelaku tidak akan bisa naik kereta dengan mem-blacklist wajahnya dalam sistem face recognition.

Melalui kronologi ini, S berharap agar perempuan pengguna transportasi publik lebih berhati-hati dan menjaga diri sendiri dari intaian predator seksual.

KAI memberikan jaminan, pelaku selamanya tidak akan bisa naik kereta lagi, khususnya KRL karena wajahnya sudah masuk dalam blacklist sistem face recognition.

“Biarlah kali ini saya kalah dengan penolakan tiga Mapolsek dan satu Mapolres untuk memproses kasus saya. Tetapi ke depan saya berharap agar para perempuan pengguna transportasi publik di Jabodetabek lebih berhati-hati menjaga dirinya sendiri dari intaian para predator seksual yang berkeliaran bebas di transportasi publik," katanya.

Baca Juga: Pelecehan Verbal: Dasar Hukum dan Dampaknya!

5. Kekerasan Berbasis Gender Online diatur dalam UU TPSK

Unit PPA Polres Jaksel Tangani Kasus Pelecehan Seksual Jurnalis di KRLKepala Unit Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Bareskrim Polri, AKBP Ema Rahmawati menjadi narasumber pada workshop FJPI di Jakarta, Kamis (20/6/2024). (IDN Times/Linggauni)

Merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022, tren kasus pelecehan dan kekerasan seksual saat ini mengarah ke Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), dengan modus melalui media sosial.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam acara workshop Urgensi Pedoman Pemberitaan Kekerasan Seksual Bagi Jurnalis, yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Australia, di kantor IDN Times, Jakarta, Kamis (20/Juni/2024) lalu, yang juga dihadiri oleh Kepala Unit (Kanit) Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri, AKBP Ema Rahmawati, menyebutkan bahwa soal KBGO diatur dalam UU TPSK.

Dikutip dari data Komnas Perempuan yang dirilis di komnasperempuan.go.id, Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang sebelumnya bernama Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) Terhadap Perempuan, yakni setiap tindakan kekerasan berbasis gender, yang dilakukan, didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menyasar terhadap seorang perempuan sebagai korban, karena ia seorang perempuan atau mempengaruhi secara tidak proporsional terhadap perempuan, yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat terhadap kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk atas ancaman tindakan berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik atau dalam kehidupan pribadi.” (Komnas Perempuan, 2021).

Bentuk-bentuk KBGO bermacam-macam antara lain cyber harassment (pelecehan online), malicious distribution (ancaman distribusi foto atau video pribadi), impersonation (penipuan profil), cyber hacking (peretasan), cyber grooming (pendekatan untuk memperdaya), online defamation (pencemaran nama baik), cyber stalking (penguntitan online), illegal content (konten ilegal), cyber recruitment (rekrutmen online), dan doxing yakni menggali dan menyebarkan informasi pribadi seseorang di internet dengan maksud untuk menyebarluaskan atau intimidasi atau pelecehan.

Topik:

  • Dheri Agriesta

Berita Terkini Lainnya