Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi Polisi

Dalam ketakutan, korban bawa pelaku mencari perlindungan

Intinya Sih...

  • Pelecehan seksual terhadap jurnalis magang di KRL
  • Korban menemukan video dirinya di HP pelaku, serta 300 video porno lainnya
  • Korban kesulitan mendapatkan perlindungan hukum dari kepolisian

Jakarta, IDN Times - Pelecehan seksual terhadap perempuan kembali terjadi, kali ini menimpa QH, seorang jurnalis magang di salah satu media online. Peristiwa itu terjadi di commuter line (KRL) saat korban sedang dalam perjalanan pulang dari Stasiun Duren Kalibata menuju Jakarta Kota pukul 20.15 WIB.

Di dalam KRL, korban duduk sendiri sambil bermain gawai dengan memakai earphone. Saat itu korban tak memperhatikan sekeliling.

Saat KRL melaju dari Manggarai ke Cikini, seorang petugas KRL menghampiri korban.

"Mbak, itu divideoin Mbak sama Bapak ini,” kata petugas sambil menunjuk seorang pria yang duduk di seberang korban. Pelaku belakangan diketahui berusia 52 tahun.

Petugas pun langsung menghampiri pelaku dan sempat terjadi perdebatan di antara mereka. Pelaku mengelak telah merekam korban.

"Coba saya lihat galeri Bapak, apa benar Bapak videokan saya?" kata korban ke orang itu.

Setelah dicek, ternyata benar ada video korban di HP pelaku. Bahkan, ada tujuh video dengan durasi tiga sampai tujuh menit. Mendapati bukti tersebut, petugas KAI dan sekuriti menangkap pelaku di Stasiun Jakarta Kota.

“Saat berada di kantor sekuriti dan mengecek HP, kami semua melihat bahwa di HP bapak itu ternyata tidak hanya saya saja yang menjadi korban, tetapi banyak juga video korban lainnya,” kata QH.

“Lebih menjijikan lagi, di memori HP tersebut terdapat 300 lebih video porno,” imbuhnya.

Korban mengalami ketakutan hingga gemetar karena tahu ada video dirinya di HP pelaku. Korban terus berpikir, untuk apa video itu.

“Berarti sangat jelas jika memang di HP-nya terdapat video tidak senonoh, maka secara tidak langsung video saya akan dijadikan dia untuk perbuatan yang tidak baik,” kata QH.

Baca Juga: Jurnalis Magang Kena Pelecehan di Kereta, KAI: Kami Siap Dampingi

1. Korban mencari perlindungan dan keadilan di tengah malam sambil membawa pelaku

Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi PolisiPelaku pelecehan seksual terhadap jurnalis magang di KRL. (x.com/anotherssm)

Korban bersama keluarga didampingi sekuriti Stasiun Jakarta Kota memproses kejadian ini ke Polsek Taman Sari. Pihak Polsek Taman Sari menanggapi dengan baik, tetapi secara yuridiksi kasus ini tidak bisa diproses mengingat lokasi penangkapan pelaku berada di sekitar Stasiun Manggarai. Selanjutnya, Polsek Taman Sari menyarankan korban ke Polsek Menteng.

“Kembali saya dan keluarga bersama petugas KAI membawa pelaku ke Polsek Menteng menggunakan kereta for free,” kata QH.

Namun, Polsek Menteng menyatakan kasus ini tidak bisa ditangani karena lokasi kasus seharusnya di Polsek Tebet.

Setelah dua kali dialihkan, korban yang saat itu masih bersama pelaku menuju Polsek Tebet. Di sana akhirnya korban dimintai keterangan oleh petugas piket.

“Saat dimintai keterangan, saya hanya sendirian, tidak diperkenankan mendapat pendampingan dari keluarga. Di sinilah saya merasa aneh. Sebagai seorang korban yang masih dalam rasa trauma dan ketakutan, harus berhadapan dengan birokrasi pelaporan yang belibet,” kata QH.

Saat itu korban bertemu dengan seorang polisi namun diberi kesan bahwa laporannya ditolak dengan berbagai alasan.

"Mbak-nya divideoin karena cantik kali,” kata si polisi.

"Mungkin bapaknya fetish, terinspirasi dari video Jepang.”

"Bapaknya ngefans sama mbak-nya, mbak idol,” lanjutnya.

“Apa hubungannya? Lalu apa perlindungan dari aparat polisi terhadap saya perempuan yang menjadi korban pelecehan?” kata QH.

Di akhir pembicaraan, polisi itu menyatakan bahwa laporan QH tidak bisa diproses.

“Tidak ada yang bisa kami lakukan,” kata si polisi.

“Whaaat?! Bukti video begitu banyak tapi tidak bisa melakukan apa-apa,” kata QH.

2. Polisi tolak laporan karena tidak menemukan unsur pidana

Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi PolisiIDN Times/Andi Audia Faiza Nazli Irfan

Pihak Polsek Tebet pun menyarankan korban ke Polres Jakarta Selatan dengan alasan video tersebut belum diunggah.

“Karena memang kasus ini katanya belum ke transmisi atau belum disebarluaskan. Jadi Polsek Tebet belum bisa menerima laporan untuk diproses,” kata QH.

Atas jawaban tersebut, korban kemudian berpindah ke PPA Polres Jaksel pada pukul 00.10 WIB. Di sana, korban menjelaskan kronologi kejadian. Namun, Polres Jakarta Selatan tetap tidak bisa berbuat banyak.

“Mbak, kasus ini tidak bisa ditindak pidana karena memang harus sesuai dengan ketentuan, harus kelihatan alat vital atau sensitif, dan mbak-nya divideoin secara paksa,” kata seorang polwan.

“Dari bukti video di HP pelaku, kami tidak menemukan adanya tindakan pelecehan dan untuk tindakan tidak menyenangkan itu sudah tidak ada di Pasal 335. Adanya tindakan tidak menyenangkan itu karena ada paksaan dari pelaku,” imbuhnya.

Alhasil, korban pun tidak mendapatkan perlindungan hukum dari pihak kepolisian. Sementara pelaku hanya diminta menulis surat pernyataan dan video permintaan maaf.

Dalam peristiwa ini, korban mengapresiasi sikap KAI yang terus mengawal dan menemani dari polsek hingga ke polres.

“Meskipun kelelahan terlihat di wajah-wajah petugas keamanan KAI, saya juga melihat raut kecewa mereka terhadap hasil akhir,” kata QH.

KAI pun telah memberikan jaminan bahwa pelaku selamanya tidak bisa menggunakan KRL lagi karena wajahnya sudah masuk dalam blacklist sistem face recognition.

“Biarlah kali ini saya kalah dengan penolakan 3 Mapolsek dan 1 Mapolres untuk memproses kasus saya. Tetapi ke depan saya berharap agar para perempuan pengguna transportasi publik di Jabodetabek lebih berhati-hati menjaga dirinya sendiri dari intaian para predator seksual yang berkeliaran bebas di transportasi publik,” ujarnya.

3. Penjelasan Polsek Tebet

Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi Polisiilustrasi investigasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Polsek Tebet membantah menolak laporan korban pelecehan seksual QH. Kapolsek Tebet, Kompol Murodih, mengatakan, pihaknya saat itu mengarahkan korban ke Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta.

“Bukan ditolak tapi diarahkan ke Polres Jaksel, di sana ada Unit PPA,” kata Murodih kepada IDN Times, Kamis (11/7/2024).

Murodih juga membantah bahwa pihaknya tidak memperkenankan korban untuk didampingi keluarga.

“Korban baru datang kemudian diterima, lalu ditanya, kemudian di arahkan. Kalau proses pendampingan kita gak melarang,” kata Murodih.

Terkait alasan polisi bahwa tidak bisa menerima laporan pelecehan seksual, Murodih menyebut karena video yang direkam pelaku belum ditransmisikan. Pihaknya pun tidak bisa menindak pelaku sehingga menyarankan korban ke Unit PPA Jaksel.

“Kalau video belum dipubikasikan, itu Undang-Undang ITE yang mengatur, apakah bisa dikenakan atau tidak,” kata Murodih.

Baca Juga: Unit PPA Polres Jaksel Tangani Kasus Pelecehan Seksual Jurnalis di KRL

4. Unit PPA hanya ada di tingkat Polres

Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi PolisiKepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Bareskrim Polri, AKBP Ema Rahmawati. (IDN Times/Linggauni)

Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Bareskrim Polri, AKBP Ema Rahmawati, menjelaskan, kasus ini telah ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Jakarta Selatan.

“Pengaduan tersebut sudah diterima dan dikonsultasikan dengan Unit PPA Polres Jaksel dan sudah diberikan penjelasan oleh Petugas Unit PPA kepada pengadu,” kata Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (Kanit PPA) Bareskrim Polri, AKBP Ema Rahmawati kepada IDN Times, Kamis.

Ia pun menyebut, pengalihan kasus dari Polsek ke Polres dilakukan karena ketersediaan unit PPA.

“Pembentukan Unit PPA masih sampai dengan tingkat Polres sesuai dengan Perkap 10 Tahun 2007,” ujarnya.

5. Sikap tegas KAI

Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi PolisiIlustrasi KRL (IDN Times/Dhiya Awlia Azzahra)

VP Corporate Secretary KAI Commuter, Joni Martinus mengatakan, pihaknya tidak menoleransi atas kejadian tersebut. KAI Commuter juga akan memasukan data pelaku tindak pelecehan tersebut kedalam sistem CCTV Analytic.

“Identitas pelaku akan dimasukan ke data base CCTV Analytic untuk memblokir dan mencegah pelaku menggunakan Commuter Line kembali, ini merupakan komitmen KAI Commuter dalam mencegah tindak pelecehan di transportasi publik khususnya KRL dan menindak tegas pelaku,” kata Joni dalam keterangan tertulisnya.

6. Kekerasan Berbasis Gender Online diatur dalam UU TPSK

Nestapa Korban Pelecehan Seksual: Dipersulit Birokrasi Polisiilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022, tren kasus pelecehan dan kekerasan seksual saat ini mengarah ke Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dengan modus melalui media sosial.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam acara workshop 'Urgensi Pedoman Pemberitaan Kekerasan Seksual Bagi Jurnalis' yang digelar Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerja sama dengan Kedutaan Besar Australia, di kantor IDN Times, Jakarta, Kamis (20/6/2024) lalu, yang juga dihadiri oleh Kepala Unit (Kanit) Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri, AKBP Ema Harmawati, menyebutkan bahwa soal KBGO diatur dalam UU TPKS.

Dikutip dari data Komnas Perempuan yang dirilis di komnasperempuan.go.id, KBGO yang sebelumnya bernama Kekerasan Siber Berbasis Gender (KSBG) Terhadap Perempuan merupakan tindakan kekerasan berbasis gender yang dilakukan, didukung atau diperburuk sebagian atau seluruhnya dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yang menyasar terhadap seorang perempuan sebagai korban karena ia seorang perempuan atau mempengaruhi secara tidak proporsional terhadap perempuan, yang mengakibatkan, atau mungkin berakibat terhadap kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk atas ancaman tindakan berupa pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik atau dalam kehidupan pribadi.

Bentuk-bentuk KBGO bermacam-macam antara lain cyber harassment (pelecehan online), malicious distribution (ancaman distribusi foto atau video pribadi), impersonation (penipuan profil), cyber hacking (peretasan), cyber grooming (pendekatan untuk memperdaya), online defamation (pencemaran nama baik), cyber stalking (penguntitan online), illegal content (konten ilegal), cyber recruitment (rekrutmen online), dan doxing, yakni menggali dan menyebarkan informasi pribadi seseorang di internet dengan maksud untuk menyebarluaskan atau intimidasi atau pelecehan.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan Dilecehkan di KRL, Polisi Diduga Tolak Tanggapi

Topik:

  • Deti Mega Purnamasari

Berita Terkini Lainnya