Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Kian Ancam Kebebasan Sipil

Amnesty soroti pembungkaman aksi hingga RUU Penyiaran

Intinya Sih...

  • Amnesty International menyatakan kekhawatiran terhadap penurunan kebebasan sipil di Indonesia, dalam catatan 26 tahun Reformasi. RUU Penyiaran salah satunya, yang dianggap berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi, termasuk larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Jakarta, IDN Times - Hari ini tepat 26 tahun era Reformasi meruntuhkan benteng Orde Baru, dan membuka jalan bagi demokrasi di Tanah Air. Namun cita-cita bangsa Indonesia untuk menciptakan demokrasi yang adil dan beradab dinilai semakin jauh.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menganggap kebebasan sipil di Indonesia semakin mengkhawatirkan.

“Kebebasan sipil yang diperjuangkan para mahasiswa dan masyarakat 26 tahun lalu, kini kian terancam,” kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Selasa (21/5/2024).

Baca Juga: Reformasi Mei 1998, Begini Kronologi  Terjungkalnya Kekuasaan Soeharto

1. Represifitas masih terjadi hingga kini

Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Kian Ancam Kebebasan Sipilmassa aksi membentangkan poster-poster protes (Saddam Husein for IDN Times)

Amnesty menilai hal-hal yang diperjuangkan reformasi, seperti penegakan supremasi hukum, kebebasan berpendapat, kemerdekaan pers, dan penghormatan HAM, termasuk pengusutan kasus-kasus pelanggaran berat, kini terasa kian jauh dari jangkauan.

“Reformasi putar balik. Alih-alih menjamin hak untuk mengkritik, dan mengontrol kebijakan, negara malah menyempitkan ruang sipil, mengabaikan cita-cita reformasi,” ujar Usman.

Usman mengatakan, refresifitas yang lazim terjadi pada Orde Baru, seperti intimidasi dan serangan atas hak berpendapat, berekspresi dan berkumpul masih terjadi hingga kini.

Dia mencontohkan pada Senin, 20 Mei 2024, sekelompok massa bernama Patriot Garuda Nusantara (PGN) menyerang dan membubarkan diskusi publik Forum Air Rakyat (PWF) yang digelar di Denpasar, Bali.

“Dalam video yang diperoleh Amnesty, massa memaksa masuk dan membubarkan diskusi yang dituding sebagai forum tandingan World Water Forum yang digelar di Nusa Dua,” kata Usman.

Massa yang menuding panitia diskusi melanggar imbauan Penjabat Gubernur Bali lalu merobek dan merampas atribut acara, serta melakukan kekerasan kepada peserta forum.

“Sumber kredibel Amnesty juga menyebutkan, massa PGN sebelumnya telah beberapa kali datang dan meminta pembatalan PWF 2024. Padahal PWF 2024 adalah forum masyarakat yang ditujukan sebagai ruang untuk mengawasi privatisasi air dan mendorong pengelolaan air untuk kesejahteraan rakyat,” kata Usman.

2. Intimidasi dan kekerasan sering terjadi saat forum internasional digelar

Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Kian Ancam Kebebasan SipilAksi demonstrasi penolakan RUU Penyiaran di depan Kantor DPRD NTB, Selasa (21/5/2024). (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sebelumnya, aparat negara juga meminta pembatalan agenda PWF kepada panitia dan pengelola beberapa tempat yang sayangnya dengan cara-cara intimidasi.

“Intimidasi dan kekerasan sering terjadi saat forum internasional digelar. Ini bukti negara tidak serius menjamin kebebasan. Kesan meminjam tangan-tangan massa non-negara yang membenturkan demi mengamankan acara internasional juga kuat,” ujar Usman.

“Kami mendesak pemerintah menghentikan intimidasi dan kekerasan selama PWF 2024. Negara harus menjamin hak warga untuk berkumpul tanpa tekanan,” imbuhnya.

Baca Juga: 21 Mei Hari Peringatan Reformasi: Begini Sejarahnya

3. Upaya membungkam pers lewat RUU Penyiaran

Amnesty Internasional: 26 Tahun Reformasi Kian Ancam Kebebasan SipilAksi teatrikal wartawan solo saat tolak RUU Penyiaran di Plaza Manahan. (IDN Times/Larasati Rey)

Selain itu, Amnesty juga mencontohkan fenomena lain, yakni upaya pembungkaman kebebasan pers seperti pada Orde Baru yang masih terjadi sekarang ini. Yakni upaya mengkebiri kebebasan pers melalui Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Beberapa bagian draf RUU Penyiaran justru berpotensi melanggar kebebasan pers dan hak publik atas informasi. Contohnya, Pasal 50B ayat (2) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, konten terkait LGBT+, konten terkait berita bohong (hoax), fitnah, hingga penghinaan dan pencemaran nama baik.

“Ini semuanya bisa melanggar kebebasan pers dan melanggar HAM. Negara seharusnya menjamin pers yang independen, bukan dengan melarang informasi dari pers dan publik,” kata Usman.

Saat membiarkan kebebasan sipil kian tergerus, menurut Amnesty, negara tampaknya juga masih tidak serius mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada bulan-bulan akhir masa pemerintahannya, gagal memenuhi janji-janjinya untuk mengusut pelanggaran-pelanggaran HAM berat, termasuk 12 kasus yang diakuinya pada 2023.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya