Joki Tugas di Perguruan Tinggi, Bentuk Korupsi yang Perlu Dibasmi

Joki adalah perilaku koruptif yang bisa dipidana

Intinya Sih...

  • Video mengenai normalisasi joki skripsi menjadi viral di media sosial. Normalisasi itu membuat jasa joki tugas atau skripsi menjadi banyak di Indonesia. Hal ini dinilai berbahaya
  • Joki dalam dunia pendidikan merupakan tindakan koruptif. Hal tersebut perlu dibasmi
  • KPK melakukan upaya pendidikan antikorupsi di lingkungan pendidikan

Jakarta, IDN Times - Jagat media sosial X atau Twitter sempat diramaikan pembahasan soal penggunaan joki dalam penulisan skripsi. Ada sekelompok pengguna media sosial yang pro dan kontra terhadap hal tersebut.

Semua bermula dari video yang diunggah Co-Founder What Is Up, Indonesia, Abigail Limuria pada 20 Juli 2024. Per Rabu, 7 Agustus 2024, video tersebut sudah disaksikan sebanyak 11 juta kali.

Dalam video itu, ia menyuarakan normalisasi joki di masyarakat. Ia mengaku terkejut dengan hal tersebut.

"Normalisasi itu bukannya banyak yang pakai, tetapi banyak banget yang pakai lebih banyak dari yang gue kira. Dinormalisasi (kayak) orang tuh gak tahu kenapa joki itu salah," ujar Abigail dalam video tersebut.

Menurutnya, normalisasi itu membuat jasa joki tugas atau skripsi menjadi banyak di Indonesia. Hal ini dinilai berbahaya.

"Masak gak sadar bahwa ini nih nipu dan dampaknya ini bisa bahaya banget ke depan dan mungkin sekarang kita gak rasain," katanya.

1. Praktik joki sudah berlangsung lama, uang jadi salah satu faktornya

Joki Tugas di Perguruan Tinggi, Bentuk Korupsi yang Perlu Dibasmiilustrasi uang (IDN Times/Aditya Pratama)

Praktik joki dalam dunia pendidikan diduga sudah berlangsung lama. Salah satu contohnya adalah Viktor (bukan nama sebenarnya) yang pernah memakai jasa joki pada 17 tahun yang lalu.

Viktor mengatakan saat itu ia masih menempuh semester 6 pendidikan strata 1. Ia memakai jasa joki untuk mengerjakan tugas riset.

"Tugas riset soal iklan," ujarnya kepada IDN Times.

Saat itu ia harus merogoh kocek mencapai Rp150 ribu untuk mendapatkan data mentah tugasnya. Berdasarkan kalkulator inflasi, Rp150 ribu saat itu setara dengan Rp313.972 di tahun 2024.

Itu merupakan pengalaman pertama dan terakhirnya memakai joki. Saat itu ia merasa terbantu dan tak bersalah memakai joki.

"Lumayan ngebantu, walau tetap harus disusun ulang narasinya. Waktu itu lumayan ngebantu karena internet gak semudah sekarang," ujarnya.

Salah satu faktor terjadinya praktik joki adalah ekonomi. Hal ini dibenarkan oleh mantan penyedia jasa joki berinisial V.

V menyediakan jasa joki sekitar 10 tahun lalu. Saat itu ia merasa kekurangan uang untuk menunjang kehidupannya berkuliah di kampus swasta.

V mengaku tak banyak diberikan uang saku untuk berkuliah dan tak mau membebani orang tuanya. Bahkan, ia kerap memanfaatkan tempat-tempat publik untuk mengerjakan tugas demi menghemat pengeluaran listrik.

Ide menjadi joki tugas berawal dari seorang teman di kampus yang memintanya mengerjakan tugas dengan imbalan uang Rp200 ribu. Setelah itu, V mulai serius menekuni pekerjaan sebagai joki dan mematok biaya.

"Tarif yang dipatok antara Rp200 ribu sampai Rp500 ribu, tapi tergantung tugasnya juga," ujarnya kepada IDN Times.

Hal terberat yang pernah ia kerjakan sebagai joki adalah tugas akhir dan seminar proposal. Saat itu ia mematok harga sampai Rp2,5 juta.

"Paling besar waktu itu ngerjain seminar proposal. Tapi itu bukan skripsi," jelasnya.

Meski begitu, saat itu ia sudah sadar kalau hal yang dilakukannya tidak benar. Kini, V pun sudah tidak lagi menjadi penjoki tugas.

"Aku tahu itu sebenarnya gak boleh," ujarnya.

Baca Juga: Ini Ancaman Hukuman Pidana Pelaku dan Pengguna Joki Skripsi

2. Penggunaan joki adalah cermin buruk dunia pendidikan

Joki Tugas di Perguruan Tinggi, Bentuk Korupsi yang Perlu Dibasmiilustrasi to do list (pexels.com/Ivan Samkov)

Pemerhati pendidikan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan bahwa joki tugas merupakan cerminan buruk wajah pendidikan di Indonesia. Hal ini merupakan pelanggaran berat di dunia pendidikan.

"Mestinya pendidikan adalah benteng terakhir di mana moralitas dan integritas itu dijunjung tinggi. Nah, fenomena joki tugas ini justru menginjak-injak institusi pendidikan," ujar Ubaid Matraji kepada IDN Times.

Ubaid menilai pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan, paling bertanggung jawab terkait munculnya joki tugas ini. Sebab, mereka yang berwenang dalam pendidikan nasional.

"Kemendikbudristek yang diberikan amanah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia," ujarnya.

Baca Juga: Rasa Malas Melanda Mahasiswa, Jasa Joki Skripsi Laris Manis

3. Penggunaan joki dalam dunia pendidikan perilaku koruptif yang bisa dipidana

Joki Tugas di Perguruan Tinggi, Bentuk Korupsi yang Perlu DibasmiIlustrasi Penangkapan (IDN Times/Aditya Pratama)

Ubaid menyebut joki dalam dunia pendidikan merupakan tindakan koruptif. Hal tersebut perlu dibasmi.

"Ini sangar memalukan dan menambah daftar kebobrokan sistem pendidikan kita," ujarnya.

Terlibat dalam joki tugas di dunia pendidikan pun ada pidananya. Terlebih apabila ditemukan unsur plagiasi bisa dipidana.

Sementara, Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, praktik joki dalam dunia pendidikan termasuk tindak pidana. Pelaku dan penggunanya bisa dijerat pasal pidana.

"Itu jelas tindak pidana melanggar pasal 263 KUHP atau sama dengan membuat surat palsu ancaman hukumannya enam tahun penjara," kata Fickar, kepada IDN Times.

Selain itu, kata dia, tindakan ini juga melanggar pasal 25 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ancamannya dicabut gelar resminya.

"Dan ancaman pidananya pasal 70 UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), dua tahun penjara dan denda Rp200 juta," kata dia.

Baca Juga: Kisah Joki Skripsi Insaf, Sadar Setelah Uang Habis untuk Berobat

4. KPK sebut joki perilaku koruptif yang tak boleh dibiarkan

Joki Tugas di Perguruan Tinggi, Bentuk Korupsi yang Perlu DibasmiDeputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana mengamini bahwa praktik joki dalam dunia pendidikan masuk ke dalam perilaku koruptif. Sebab, joki adalah perilaku curang, tidak jujur, dan tidak mandiri.

"Dalam sembilan nilai-nilai anti korupsi yang digaungkan KPK melalui berbagai media dengan sebutan 'Jumat Bersepeda KK', yakni Jujur, Mandiri, Tanggung jawab, Berani, Sederhana, Peduli, Disiplin, Adil dan Kerja Keras. Maka menjadi joki adalah perilaku curang, tidak jujur, dan tidak mandiri. Dengan demikian joki tugas yang dimaksud tersebut adalah termasuk yang tidak anti korupsi atau disebut juga dengan perilaku koruptif," ujarnya kepada IDN Times.

Wawan menilai fenomena joki tugas dalam dunia pendidikan tak boleh dibiarkan. Sebab, penggunaan joki dikhawatirkan terbawa ke dalam dunia kerja.

"Akibatnya banyak prestasi pekerjaan yang diakuinya walau bukan mereka yang mengerjakan. Lebih jauh lagi perbuatan curang dalam konteks yang lebih luas menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi dalam UU tipikor yang terkait dengan Perbuatan Curang, Suap, dan Gratifikasi," ujarnya.

5. Upaya KPK memberikan pendidikan antikorupsi

Joki Tugas di Perguruan Tinggi, Bentuk Korupsi yang Perlu DibasmiGedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

KPK pun telah melakukan berbagai upaya pendidikan antikorupsi di lingkungan pendidikan. Contohnya, pada 2023 KPK bersama akademisi, pakar pendidikan, dan praktisii pendidikan antikorupsi telah menyusun Strategi Nasional Pendidikan Anti Korupsi dan Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Anti Korupsi pada Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Tinggi.

Wawan menjelaskan, hingga Juli 2024 pemerintah daerah yang sudah membuat aturan untuk mengimplementasikan Pendidikan Antikorupsi pada jenjang dasar menengah telah mencapai 85 persen. Selain itu, 45 persen prodi di perguruan tinggi juga telah mengimplementasikannya.

"Implementasi dapat berbentuk insersi pada pelajaran/mata kuliah atau dalam bentuk pelajaran muatan lokal maupun mata kuliah mandiri," ujarnya.

Wawan menjelaskan, selain peserta didik diberi internalisasi nilai-nilai anti korupsi melalui pelajaran atau mata kuliah pendidikan antikorupsi, KPK juga menginisiasi pembangunan ekosistem pendidikan yang berintegritas.

"Hal ini dilakukan agar guru, dosen, kepala sekolah, rektor, pengawas, tenaga kependidikan dan orang tua juga sama sama berintegritas sehingga terbentuk iklim yang kondusif untuk membentuk karakter peserta didik yang berintegritas sehingga mampu mencegah dirinya dari perilaku koruptif sebagai ultimate goal dari implementasi pendidikan antikorupsi," ujarnya.

Meski demikian, upaya tersebut tidak cukup. Menurut Wawan, pimpinan lembaga pendidikan juga perlu berkomitmen. Komitmen itu dapat ditunjukkan melalui berbagai cara.

"Melalui perbaikan tata kelola sekolah atau perguruan tinggi, peraturan yang jelas dan diikuti dengan sanksi yang tegas, dibuka saluran pengaduan yang ditindaklanjuti, konsisten serta tidak memberlakukan standar ganda atau konflik kepentingan dalam penanganannya. Mengikat kepada siapapun yang melakukan perjokian, baik jokinya maupun penggunanya," ujarnya.

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya