WANSUS: Membaca Peran Agama Menjaga Persatuan Indonesia
Wawancara khusus dengan Siti Ruhaini Dzuhayatin
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Bagaimana peran agama dalam menjaga persatuan di tengah kondisi Indonesia sedang menyiapkan Indonesia Emas 2045? Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Siti Ruhaini Dzuhayatin menyampaikan pandangannya mengenai hal ini.
Siti Ruhaini merupakan Guru Besar Bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Gender, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga. Ia juga sempat menjadi Staf Khusus Presiden RI Bidang Keagamaan Internasional Masa Tugas 2018 sampai 2019.
Lantas bagaimana idealnya peran agama menjaga persatuan jelang menyambut Indonesia Emas 2045? Berikut wawancara khusus (wansus) IDN Times bersama Siti Ruhaini saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Senin (10/6/2024).
Di mana peran agama dalam upaya saling menghormati keberagaman dan bagaimana organisasi keagamaan menjamin itu?
Pertama, ini sudah konsensus, kita punya Pancasila ya, ketuhanan yang maha esa. Artinya ini ada jaminan keberadaan agama-agama itu di indonesia, itu sudah by design. Oleh sebab itu, dan kita memang beruntung ya, kita memang juga harus menjaga agar umat ini tidak terlalu memberikan otoritas agama ke negara. Karena negara ketika dikasih otoritas, negara akan menggunakan cara-cara yang sifatnya struktural dan itu tidak usah. Jadi, biarkan agama ini dikelola oleh masyarakat dan yang kemudian menjadi vokal poinnya itu adalah organisasi-organisasi keagamaan yang tadi saya sebut semuanya.
Alhamdulillah ini kan relasinya bagus ya, NU, Muhamadiyah, PGI, KWI, dan sebagainya di antarumat. Yang sekarang penting itu adalah harmonisasi yang ada di tingkat elite mesti ke bawah, karena ketegangan itu akan ada di bawah. Inilah program-program yang juga dilakukan oleh Lemena, NU, Muhamadiyah, untuk ke arah itu, bagaimana kompetensi individual itu harus kuat. Kita harus yakin, setiap individu di Indonesia harus percaya diri bahwa agamanya itu kuat. Tidak akan runtuh hanya karena bilang assalamualaikum, atau tidak akan runtuh kalau misal kita katakan syalom.
Agama kita sendiri itu harus kuat dulu sebelum kita melakukan komparasi, makanya di LKLB itu kuatkan dulu pemahaman agama dengan baik. Agamamu sendiri, baru kemudian bertanya. Karena kita itu seringkali tidak tahu loh tentang agama kita sendiri. Misalnya nih ya, saya tanya ke teman-teman apa sih yang menbuat kristen itu beda, ini persepsi orang Islam secara umum bahwa sekarang Kristen itu berubah ketika nabi, sudah berubah deh sekarang. 'Ok' saya katakan, ya sudah saya tanya, berubahnya apa? 'Sekarang ada trinitas'. Saya cek kan, saya tanya anda pernah membaca Alquran? Pernah tahu tidak di dalam Alquran ada trinitas? 'enggak'. Coba buka Almaidah ayat 73 sampai 76, dibukalah itu, ternyata ada. Artinya dia tidak belajar dengan baik, agamanya sendiri.
Terus saya tanya sama teman yang Katolik, 'trinitas itu tahun berapa ya muncul di dalam tradisi Katolik?'. Ternyata dia gak tahu. Artinya kadang-kadang kita tidak dengan baik memahami agama kita sendiri. Terus kemarin baca Alquran apa dong yang dibaca? Padahal itu ada di dalam tradisi kita, trinitas itu muncul di abad ketiga. Nabi Muhammad lahir itu abad keenam, di mana justifikasi, landasannya mengatakan bahwa Kristen itu berubah karena ada trinitas, wong trinitas itu lebih tua daripada Nabi Muhammad. Jadi asumsi itu lebih banyak muncul daripada orang belajar tentang agamanya sendiri.
Nah LKLB menekankan bahwa kamu harus belajar dari agamamu sendiri, kuatkan agamu sendiri bagaimana agamamu memilihat agama yang lain. Yang punya agama saja tidak tahu, kapan trinitasnya, artinya dia tidak belajar sungguh-sungguh dari agama itu. Kalau semua orang belajar agamanya masing-masing dengan dalam, maka sebetulnya tidak ada inferiorifas di situ. Orang akan sangat percaya bahwa saya kuat agama saya, jadi kalau hanya mengatakan shalom saja tidak akan melunturkan akidah saya kan begitu.
Baca Juga: Wansus TKN: PDIP Mending Oposisi dari pada Menggunting Dalam Lipatan