TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perludem: Masih Ada Parpol Tak Penuhi Keterwakilan Perempuan di Dapil

KPU dianggap langgar undang-undang

Ilustrasi keterwakilan perempuan dalam pemilu (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Jakarta, IDN Times - Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menyoroti masih kurangnya keterwakilan perempuan calon anggota legislatif (caleg) DPR RI di sejumlah daerah pemilihan (dapil).

Berdasarkan penelusuran cepat dan acak, Titi menemukan setidaknya masih ada dua dapil yang keterwakilan perempuannya di bawah 30 persen. Dapil itu di antaranya Bengkulu dan Aceh I.

Dapil Bengkulu punya jatah alokasi empat kursi DPR RI. Namun Titi mencatat, PKB, Golkar, Hanura, Demokrat, dan Ummat mengajukan caleg perempuan kurang dari 30 persen. Di mana hanya ada 1 dari 4 caleg yang diusulkan, artinya hanya 25 persen.

Sementara, di Dapil Aceh I yang memperebutkan tujuh kursi, tercatat hanya Partai Buruh, PKS, Hanura, Garuda, PAN, PSI, Perindo, dan PPP yang mencalonkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

"Sisanya (parpol di dapil Aceh I) kurang dari 30 persen. Tentu ini sangat ironis, KPU justru menjadi aktor pelemahan keterwakilan perempuan politik pada Pemilu 2024," kata Titi kepada IDN Times (4/11/2023).

Baca Juga: Wacana Publikasikan CV Caleg, KPU Akan Tanya Parpol Dulu

1. Parpol yang tidak taati aturan keterwakilan perempuan bisa didiskualifikasi

Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU RI, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Aturan mengenai keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen secara tegas diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ketentuan itu juga dikukuhkan Putusan MA Nomor 24 P/HUM/2023 yang mengoreksi Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, di mana MA menyatakan “Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas".

"Ketentuan tersebut, sejatinya sudah diberlakukan sejak Pemilu 2014 dan 2019, di mana ketika itu kalau ada partai yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dalam daftar caleg, maka partai didiskualifikasi dari kepesertaan pemilu di dapil tersebut," ucap Titi.

Oleh sebabnya, Titi menegaskan, keterwakilan perempuan tersebut bukan secara rata-rata nasional, tapi harus dipenuhi di setiap dapil. Jadi kalau ada dapil yang tidak memenuhi syarat itu, maka KPU sudah seharusnya menolak menerima pendaftaran caleg dari partai tersebut.

"Padahal sangat jelas dan terang benderang, Pasal 8 huruf c PKPU 10/2023 mengatur bahwa persyaratan pengajuan bakal calon meliputi wajib memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil," tutur dia.

Baca Juga: Daftar Caleg Tetap, 7 Parpol Tak Penuhi Kuota Maksimal Kursi DPR RI

2. Perludem kritisi KPU karena tak patuhi undang-undang dan putusan MA

Lambang Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Titi menjelaskan, sejatinya KPU tidak bisa berdalih ketentuan tersebut tidak memuat sanksi, sehingga tidak bisa ditegakkan. Mengingat aturan itu sudah menjadi persyaratan saat parpol mengajukan nama caleg.

"Sehingga jika ada partai yang tidak mengajukan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen, maka sudah semestinya pendaftarannya tidak dapat diterima," tegas dia.

Sebaliknya, kata Titi, apabila KPU tetap meloloskan parpol dan caleg yang tak memenuhi syarat keterwakilan perempun itu, maka KPU telah membangkang terhadap perintah undang-undang dan juga putusan MA.

"Terlihat sekali tebang pilihnya KPU antara putusan MK soal syarat usia (capres-cawapres) dengan pelaksanaan putusan MA terkait keterwakilan perempuan ini. Padahal dampak putusan MA menyangkut hak banyak perempuan untuk dicalonkan dalam skema afirmasi keterwakilan perempuan, bukan hanya kepentingan orang per orang seperti pada putusan MK," tuturnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya