TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Gibran Disebut Jadi Anomali Stabilitas Pilpres 2024

Berpotensi sebabkan konflik vertikal

Executive Director of Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya dalam OCBC EXPERIENCE Political Outlook Leading Through Change di The Ritz-Carlton Jakarta, Selasa (14/11/2023). (IDN Times/Trio Hamdani)

Jakarta, IDN Times - Executive Director of Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, menilai majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024, memunculkan anomali dalam stabilitas Pemilu 2024.

Anomali sendiri dapat diartikan sebagai peristiwa atau kondisi yang tidak biasa di dalam perpolitikan yang umumnya terjadi, di tengah terjaganya stabilitas saat ini karena kepuasan publik tinggi.

"Tapi jujur ada anomali. Kita harus ngomong apa adanya ya, ada anomali, kita gak bisa ukur. Yang tadinya kita pikir sudah pasti soft landing karena kepuasan publiknya tinggi. Tapi ketika ada salah satu cawapres maju dan kemudian menimbulkan kontroversi, dalam konteks ini Mas Gibran ya," kata dia dalam OCBC EXPERIENCE Political Outlook Leading Through Change di The Ritz-Carlton Jakarta, Selasa (14/11/2023).

Baca Juga: Nomor Urut Pilpres: AMIN 1, Prabowo-Gibran 2, Ganjar-Mahfud 3

1. Bisa menyebabkan konflik vertikal

Gibran Rakabuming (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Majunya Gibran ke kontestasi politik Tanah Air di 2024, menurutnya bisa memicu konflik vertikal. Sedangkan dari sisi konflik horizontal, menurutnya akan aman-aman saja.

"Konflik horizontalnya pasti aman secara formula. Tapi potensi pertentangan vertikalnya yang akan jadi pertanyaan. Bukan antarelite. Kalau vertikal ini, orang akan bertanya aparat netral gak? Birokrat netral atau gak, dan itu yang sekarang ramai di sosial media," tuturnya.

2. Kepuasan publik ke Jokowi jadi tolok ukur stabilitas dalam pemilu

Presiden RI, Joko (Jokowi) Widodo dan Ibu Iriana tiba di Sidang Tahunan MPR 2023. (IDN Times/Fauzan)

Dia menjelaskan, untuk mengetahui indikator politik akan stabil atau tidak terlihat dari angka kepuasan publik. Kepuasan publik menjadi representasi dari psikologi publik. Apabila angkanya di atas 60 persen, artinya publik cukup puas.

"Kabar baik yang pertama ya, modal psikologi publik untuk kemudian kita menghadapi pemilu sebenarnya jauh lebih baik dibanding zaman SBY, karena kepuasan publik Pak Jokowi masih above 70 persen," jelasnya.

"Artinya, tendensi untuk kemudian orang punya problem mendasar terutama urusan perut itu tidak terjadi, dan harusnya konflik horizontal bisa kita lewati. Jadi harusnya lebih tenang," sambung Yunarto.

Baca Juga: Momen Prabowo dan Gibran Bersalaman dengan Megawati di KPU

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya