TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar Hukum: Gaya Politik Presiden Jokowi dan Soeharto Sama

Merangkul mayoritas partai untuk menguasai hal tertentu

Presiden Jokowi pimpin rapat terbatas di Istana pada Senin (16/11/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Jakarta, IDN Times - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai gaya politik Presiden Joko "Jokowi" Widodo saat ini sama seperti Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto sebelum Reformasi. Menurut dia, gaya politik Jokowi yang merangkul mayoritas partai untuk menjadi pendukungnya, bisa menjadi salah satu langkah untuk memuluskan rencana amandemen UUD 1945 soal jabatan presiden tiga periode.

"Bukan tidak mungkin Presiden Jokowi yang punya asal kampung yang sama dengan Presiden Soeharto dan gaya politiknya hampir sama yaitu saat ini sudah berusaha membuat partai mayoritas tunggal yang kemudian menguasai berbagai hal," kata Feri dalam diskusi Political and Public Policy Studies (P3S) secara daring, Kamis (11/3/2021).

"Bukan tidak mungkin kalau kemudian seluruh partai sudah bergabung di tangan presiden, lalu kemudian akan ada perbincangan soal amandemen 1945 dan itu sudah berlanjut," tambahnya lagi.

Baca Juga: Presiden Jokowi Hapus Limbah Batu Bara dari Kategori Bahan Beracun

Baca Juga: Moeldoko Bikin Ribet? Ini 3 Alasan Jokowi Diam di Kisruh Demokrat

1. Jika jabatan presiden tiga periode terlaksana, memungkinkan adanya pembahasan empat periode

Presiden Jokowi pimpin rapat terbatas di Istana Merdeka pada Senin (19/10/2020) (Dok. Biro Pers Kepresidenan)

Feri menjelaskan bahwa presiden adalah orang yang memegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan. Apabila rencana jabatan presiden tiga periode terlaksana, akan memungkinkan adanya pembicaraan tentang jabatan empat periode.

"Mungkin setelah tiga periode, akan ada bicara empat periode. Karena kekuasaan itu selalu menggoda, tidak akan luput dari Presiden Jokowi dan orang-orang di lingkaranya untuk tergoda," ucap Feri.

2. Pemerintah harus pahami makna adanya jabatan presiden yang dibatasi

Presiden Joko Widodo didampingi Wapres Ma'ruf Amin berfoto bersama jajaran menteri Kabinet Indonesia Maju yang baru dilantik di tangga beranda Istana Merdeka, Jakarta, pada 23 Oktober 2019. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Oleh karena itu, Feri menuturkan bahwa pemerintah juga harus memahami kenapa ada batasan jabatan presiden dalam UUD 1945. Hal itu juga belajar dari masa Presiden Soeharto yang memaknai kepemimpinannya terlalu berlebihan.

"Kalau kemudian kehadiran perbaikan Pasal 7 UUD itu kemudian dicoba untuk diubah oleh kekuasaan presiden saat ini, maka kita gagal memahami kenapa masa jabatan presiden dibatasi oleh konstitusi dan dampak apa yang ditimbulkan karena perpanjangan masa jabatan itu," tutur Feri.

3. Kepemimpinan Presiden Soeharto ditambah dengan alasan rakyat yang menginginkan

Ilustrasi Soeharto (IDN Times/Mardya Shakti)

Feri mengungkapkan, saat kepemimpin Presiden Soeharto memasuki periode ketiga, pembahasannya adalah keinginan rakyat. Dalam perjalanannya, jabatannya tidak hanya berhenti tiga periode dan terus berlanjut.

"Presiden Seharto begitu ingin masuk periode ketiga, pembahasannya adalah bahwa rakyat yang menginginkan, bapak sudah melakukan banyak hal, terutama pembangunan. Lalu, untuk tiga periode ini kurang lebih yang terakhir. Nah faktanya, berlanjut terus," kata Feri.

"Saya itu diskusi tentang perubahan UUD dengan berbagai isu sudah dua tahun. Akhirnya selalu ada kaitan dengan masa jabatan. Ini menurut saya akan menjadi keterlaluan, inkonstitusional, sepertinya seolah-olah negara ini kekurangan kader untuk jadi presiden," imbuhnya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya