TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ini Konsep Pemindahan Ibu Kota dari Era Soekarno Hingga Jokowi

Skenario pemindahan mana yang akan dieksekusi kini?

(Ilustrasi Monas) ANTARA FOTO/Aprilio Akbar

Jakarta, IDN Times - Wacana pemindahan ibu kota kembali muncul pada masa pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Tak ingin sekadar disebut wacana, Jokowi menegaskan bahwa pemerintah serius untuk menggarap pemindahan ibu kota.

Keseriusan itu ditunjukkan dengan konsep yang telah dirancang oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tentang ibu kota baru. Tidak hanya itu, lokasi-lokasi yang menjadi kandidat ibu kota baru juga tengah menjadi kajian di pemerintah.

Rencana pemindahan ibu kota baru ini memang sudah dicetuskan sejak awal masa pemerintahan Presiden Soekarno. Namun, rencana tersebut muncul dan tenggelam. Era pemerintahan presiden berganti, rencana itu belum juga terwujud. Hingga kini pada masa pemerintahan Jokowi, rencana tersebut kembali muncul.

Bagaimana runutan berbagai konsep rencana pemindahan ibu kota dari masa ke masa sejak era Soekarno hingga Jokowi?

Baca Juga: Anggaran dan Skenario Pemindahan Ibu Kota Sudah Matang

1. Presiden Soekarno menyatakan Palangkaraya cocok menjadi lokasi ibu kota baru

Dok.IDN Times

Wacana pemindahan ibu kota memang sudah ada sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno. Rencana tersebut berawal saat perang kemerdekaan pada 1946. Pada 2 Januari 1946, Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Pakualam VIII mengusulkan Yogyakarta sebagai ibu kota negara.

Usulan tersebut didasari lantaran situasi keamanan di Jakarta yang dianggap sangat buruk, karena banyaknya pasukan Belanda (NICA) maupun Jepang saat itu. Namun, kala itu status Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia tidak bertahan lama.

Belanda yang sadar pusat pemerintahan yang sudah berpindah ke Yogyakarta, langsung melakukan agresi pada 19 Desember 1948. Soekarno-Hatta pun ditangkap pasukan Belanda.

Berada dalam situasi genting, status kekuasaan diserahkan kepada Syafroedin Prawiranegara, yang saat itu berada di Sumatera Barat. Daerah itu pun jadi ibu kota negara, menggantikan Yogyakarta.

Setelah melewati masa genting, pada 6 Juli 1949, status ibu kota dikembalikan lagi ke Yogyakarta, sebab Soekarno-Hatta sudah kembali ke Yogyakarta. Hingga pada hari ulang tahun (HUT) 17 Agustus 1950, status ibu kota negara dikembalikan ke Jakarta.

Sejak saat itu, Jakarta masih terus menjadi ibu kota. Namun, pada 17 Agustus 1947, Presiden Soekarno memiliki wacana untuk memindahkan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Saat itu, ia menyampaikan bahwa Palangkaraya sangat tepat untuk menjadi modal dan model ibu kota negara yang baru.

Setelah dinyatakan Soekarno cocok sebagai lokasi ibu kota baru, pembangunan pun dilakukan di Palangkaraya. Sayangnya, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada 1960-an, membuat pembangunan di Palangkaraya terhenti. Hingga akhirnya, wacana pemindahan itu tak kunjung terwujud hingga Soekarno turun dari jabatannya sebagai presiden pada 1965.

2. Usai era Bung Karno, wacana pemindahan ibu kota terus berlangsung hingga era SBY

Twitter/@SBYudhoyono

Usai era Soekarno, wacana pemindahan ibu kota kembali muncul pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Pada 1977, Presiden Soeharto mengeluarkan keputusan presiden terkait pengembangan kawasan Jonggol di Jawa Barat sebagai ibu kota baru.

Presiden Soeharto pun menilai Jonggol merupakan daerah yang cukup strategis, apalagi jarak Jonggol tak terlalu jauh dari Jakarta. Namun, rencana pemindahan ibu
kota sirna seiring dengan runtuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pasa Mei 1988.

Setelah wacana pemindahan ibu kota di era Soeharto pupus, rencana tersebut kemudian kembali muncul ke permukaan pada masa pemerintahan Presiden Susilp Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, SBY menilai bahwa Jakarta sudah tidak layak dijadikan ibu kota karena sudah terlalu padat.

Meski SBY tak menyebutkan secara spesifik dimana lokasi ibu kota akan dipindahkan, pada masa pemerintahan, ia memiliki 3 skenario pemindahan ibu kota. Di antaranya tetap menjadikan Jakarta sebagai ibu kota, namun memisahkan pusat pemerintahan yang berada di daerah lainnya, seperti yang dilakukan Malaysia dan Australia. Pilihan lainnya, membangun ibu kota yang benar-benar baru.

Namun, wacana tersebut belum bisa terwujud pada masa pemerintahan Presiden SBY. Kini, wacana pemindahan ibu kota kembali muncul saat masa pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Baca Juga: Jokowi Kembali Bahas Pemindahan Ibu Kota Saat Bukber

3. Rencana pemindahan ibu kota mulai digarap serius saat pemerintahan Presiden Jokowi

Dok.IDN Times/Biro Pers Kepresidenan

Setelah rencana pemindahan ibu kota tak pernah terwujud hingga masa pemerintahan Presiden SBY, akhirnya di pemerintahan Presiden Jokowi menyatakan akan serius untuk memindahkan ibu kota.

Usai melakukan rapat terbatas bersama jajaran Kabinet Kerja pada 29 April 2019, Presiden Jokowi akhirnya memutuskan untuk memindahkan ibu kota di luar Pulau Jawa. Hal itu disampaikan oleh Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro.

"Dalam rapat tadi diputuskan, presiden memilih alternatif ketiga, yaitu memindahkan ibukota ke luar Jawa. Ini barangkali salah satu putusan penting yang dilahirkan hari ini," kata Bambang di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (29/4).

Saat rapat berlangsung, Bambang menjelaskan pemerintah memiliki tiga alternatif. Alternatif pertama, ibu kota tetap berada di Jakarta. Namun pusat pemerintahan hanya akan difokuskan di seputaran Istana dan Monas saja.

"Ini dibuat khusus untuk kantor-kantor pemerintahan kementerian lembaga yang sehingga seluruh kawasan pemerintahan berada di satu tempat dan itu menciptakan efisiensi di dalam tugas koordinasi pemerintah," jelas Bambang.

Sementara, alternatif kedua, yaitu pusat pemerintahannya pindah ke luar Jakarta. Tetapi masih dalam radius sekitar 50-70 km dari Jakarta alias di sekitar Jabodetabek.

"Ini mencontoh seperti Putra Jaya yang ada di Malaysia. Opsi ini tentunya menarik, ada beberapa wilayah yang barangkali cocok. Tapi Masalahnya adalah kita bicara tidak hanya Jakarta," terang Bambang.

Opsi terakhir adalah memindahkan ibu kota ke luar Jawa. Jokowi menilai Pulau Jawa sudah terlalu padat penduduk. Jika ibu kota masih berada di Pulau Jawa, tetap tidak akan mengurangi beban Pulau Jawa.

"Jadi intinya, kalau kita hanya memindahkan masih di Pulau Jawa, apalagi hanya di seputaran Jakarta, ini juga tidak mengurangi beban dari Pulau Jawa dan tidak membuat pembangunan kita lebih Indonesia-sentris, tapi lebih memperkuat Pulau Jawanya," tuturnya.

4. Konsep pemindahan ibu kota yang telah disiapkan oleh Bappenas

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Presiden Jokowi menegaskan bahwa pemerintah kali ini benar-benar serius untuk menggarap pemindahan ibu kota. Keseriusan pemerintah tersebut terlihat dari konsep yang telah disiapkan oleh Bappenas.

Bambang menyebutkan Bappenas telah menyiapkan beberapa konsep pemindahan ibu kota. Antara lain, nantinya ibu kota baru hanya akan difokuskan untuk pusat pemerintahan, sementara Jakarta sebagai pusat bisnis.

Bambang memaparkan fungsi ibu kota hanya untuk eksekutif, kementerian lembaga, legislatif, parlemen, MPR, DPR, DPD. Juga akan difungsikan untuk yudikatif, kehakiman, kejaksaan, Mahkamah Konstitusi. TNI, Polri, dan kedutaan besar serta perwakilan organisasi internasional juga akan ada di ibu kota.

"Kemudian fungsi jasa keuangan, perdagangan, dan industri tetap di Jakarta, misalkan BI, OJK, BKPM tetap di Jakarta. Ini konsep yang coba kita tiru dari beberapa best practice yang sudah dilakukan negara lain," terang Bambang.

Ia juga mengungkapkan ibu kota baru nantinya harus berkonsep smart, green, dan beautiful. Bambang menegaskan bahwa pemindahan ibu kota juga tidak akan merusak lingkungan.

"Kota ini harus green. Pertama, tidak akan menganggu hutan lindung, yang kedua energinya harus terbarukan semua, dan ketiga seluruh operasional kota ini, misalnya angkutan masalnya juga harus pakai yang tidak menimbulkan polusi. Kita ingin kotanya rendah polusi," kata Bambang di Gedung KSP, Jakarta Pusat, Senin (13/5).

Terkait dengan lahan juga, Bambang mengatakan pemerintah akan menggunakan wilayah berstatus hak guna usaha (HGU). Sehingga, lahan tersebut bisa langsung diambil oleh pemerintah.

"Wilayah lain yang akan dipakai adalah wilayah yang sudah statusnya HGU. Bisa habis HGU nya atau setelah sekian tahun tidak di apa-apakan. Itu pemerintah bisa ambil langsung. Itu yang mau kita manfaatkan," terang dia.

Oleh karena itu, lanjut Bambang, lahan yang akan dipakai adalah lahan yang dikuasai oleh pemerintah. Sehingga, pemerintah tidak akan melakukan akuisisi lahann.

"Kalau land acquisition ya pasti harga lahan akan berlomba-lomba naik kalau sudah penetapan. Jadi satu hal, kita tidak berdasarkan land acquisition. Kita akan menggunakan lahan yang langsung dikuasai oleh pemerintah," ucap Bambang.

Baca Juga: Pemindahan Ibu Kota Diminta Pertimbangkan Faktor Lingkungan

5. Kenapa Presiden Jokowi memutuskan untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta?

ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Setelah Jokowi menyampaikan keseriusan memindahkan ibu kota, muncul pertanyaan 'kenapa ibu kota harus dipindahkan dari Jakarta?'. Tentu pemerintah memiliki alasannya tersendiri, salah satunya karena penduduk di Jakarta sudah terlalu padat.

Selain padatnya penduduk ibu kota, kemacetan yang terjadi di Jakarta juga telah membuat kerugian perekonomian dengan angka yang fantastis. Pada awal tahun pemerintah menyebut kerugiannya mencapai Rp65 triliun. Kini, kata Bambang, angkanya mencapai Rp100 triliun.

Selain itu, masalah banjir juga menjadi pertimbangan pemindahan ibu kota. Jakarta ialah wilayah yang rawan banjir dan terus turun permukaan tanahnya dari tahun ke tahun. "Di mana 50 persen wilayah Jakarta itu kategorinya rawan banjir atau memiliki tingkat siklus banjir di bawah 10 tahunan, idealnya kota besar keamanan banjirnya minimum 50 tahunan," ucapnya.

Dengan adanya keputusan untuk memindahkan ibu kota itu, pemerintah kini mencari lokasi yang bebas dari bencana alam seperti gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi, maupun kebakaran hutan dan lahan gambut. "Selain itu harus tersedia sumber daya air yang cukup dan bebas pencemaran lingkungan."

Alasan lainnya kenapa pemindahan ibu kota harus dilakukan di luar Pulau Jawa adalah karena pemerintah menginginkan perekonomian tidak hanya terpusat di luar Pulau Jawa meningkat, khususnya bagian timur. Sehingga, perekonomian tidak hanya untuk Jawa sentris, tetapi Indonesia sentris.

6. Lantas, berapa kira-kira biaya yang dibutuhkan untuk memindahkan ibu kota?

IDN Times/Irfan Fathurohman

Sudah memikirkan konsep, tentunya pemerintah juga sudah menyiapkan estimasi biaya untuk pemindahan ibu kota. Bambang menyampaikan, adapun estimasi biaya yang diperlukan untuk pemindahan ibu kota mencapai Rp466 triliun.

Kira-kira bagaimana perhitungannya?

Bambang menjelaskan untuk pemindahan ibu kota memang membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Ia menambahkan, sumber biaya bisa berasal dari 4 sumber, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBN), BUMN, Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan juga swasta murni.

"Dari APBN sendiri khususnya untuk initial infrastruktur. Dan juga fasilitas kantor pemerintahan dan parlemen. Kemudian dari BUMN untuk infrastruktur utama dan fasilitas sosial," jelas Bambang, di Kantor Kepresidenan, Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (29/4).

"Kemudian KPBU, untuk beberapa infrastruktur utama dan fasilitas sosial. Dan swasta murni khususnya terkait dengan properti perumahan dan fasilitas komersial," ujarnya lagi.

Bambang mengatakan bahwa pemerintah memiliki dua skenario. Untuk skenario pertama seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ada di pemerintahan pusat dipindahkan ke ibu kota baru.

"Estimasi kami dengan data 2017 akan dibutuhkan kota baru dengan penduduk perkiraan 1,5 juta (penduduk). Terdiri dari anggota eksekutif, legislatif, yudikatif. Pemerintah parlemen dan yudikatif. Polri, TNI, anggota keluarga," kata Bambang.

Kemudian, pemerintah telah mengestimasi setiap pegawai memiliki 4 anggota keluarga. Estimasi lahan untuk tempat tinggal ialah, "Dengan 1,5 juta penduduk, pemerintahan akan butuh 5 persen lahan, ekonomi 15 persen, sirkulasi infrastruktur 20 persen, pemukiman 40 persen, dan ruang terbuka hijau 20 persen. Diperkirakan dibutuhkan lahan minim 40 ribu hektare untuk skenario pertama. Diperkirakan dibutuhkan lahan sampai atau minimal 40.000 ha untuk skenario yang pertama," paparnya.

Untuk skenario kedua, tidak semua ASN dipindahkan. Misalnya, jumlah ASN yang dipindahkan hanya 110.000 orang, ditambah dengan Polri dan TNI, serta anggota keluarga mereka. Dengan asumsi satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka setidaknya ada 184.000 pelaku ekonomi dengan jumlah penduduk di lokasi baru mencapa 87 ribu. Maka, dengan jumlah penduduk sebesar itu, dibutuhkan lahan mencapai 30 ribu hektare.

"Dibutuhkan kira-kira lahan dengan peruntukan persentase pemakaian yang sama dibutuhkan lebih sedikit yaitu 30 ribu hektare, dan dari situ kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan tadi," terangnya.

Bambang pun mengungkapkan estimasi yang sudah dihitung oleh pemerintah untuk kedua skenario tersebut. Skenario pertama tentu menghabiskan anggaran yang lebih besar dibanding skenario kedua.

"Estimasi besarnya pembiayaan dimana skenario satu diperkirakan akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun atau US$33 miliar. Skenario dua lebih kecil karena kotanya lebih kecil, yaitu Rp 323 triliun atau US$23 miliar," kata Bambang.

"Di mana porsi pemerintah misalkan skenario satu itu Rp 250-an lebih triliun dan swasta hampir sama yaitu sekitar Rp215 triliun. Demikian juga untuk skenario dua pemerintah sedikit lebih besar dari pada swasta," ucapnya.

Baca Juga: Pemindahan Ibu Kota Indonesia Harus Menerapkan Pemerintahan 4.0

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya