TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Yusril: Revisi RUU Wantimpres Tempatkan DPA Sejajar dengan Presiden

Bila dikaitkan dengan perubahan nomenklatur tak substansial

Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra. (ANTARA FOTO/Nadia Putri Rahmani)

Intinya Sih...

  • Revisi UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) dinilai tidak substansial oleh pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra.
  • Perubahan nomenklatur Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) akan menempatkan DPA sejajar dengan presiden.
  • Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menduga revisi UU Wantimpres di penghujung masa kerja parlemen demi kepentingan Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang segera dibahas oleh parlemen, tidak substansial. Sebab, di dalam revisi itu hanya mengaitkan dengan perubahan nomenklatur dan penghapusan batasan jumlah anggota yang bisa duduk di institusi tersebut. 

Di dalam revisi UU Wantimpres, lembaga itu disebut sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Meski begitu, isu yang krusial di dalam perubahan nama institusi itu terletak pada kedudukan DPA tersebut. 

"Wantimpres di dalam undang-undang lama berada di bawah presiden. Sedangkan, di dalam undang-undang yang bakal direvisi, Wantimpres dijadikan lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Artinya, kedudukan DPA sejajar dengan presiden," ujar Yusril di dalam keterangan tertulis, dikutip pada Sabtu (20/7/2024). 

Di dalam UUD 1945 yang belum diamandemen, lanjut dia, DPA bertindak sebagai 'council of state' yang wajib memberikan pertimbangan kepada pemerintah. Karena itu, di dalam pelajaran hukum tata negara, DPA digolongkan sebagai 'lembaga tinggi negara'. 

1. Posisi Wantimpres ada di bawah presiden di dalam undang-undang lama

Ilustrasi Istana Merdeka. (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Lebih lanjut, Yusril sepakat dengan pandangan sejumlah pakar hukum tata negara bahwa di dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen, bab IV yang khusus membahas Dewan Pertimbangan Agung (DPA) sudah dihapus. Tetapi, pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah bab itu tetap ada. Namun, isinya diubah sehingga berbunyi 'presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden yang selanjutnya diatur dengan undang-undang.'

Dewan pertimbangan yang dibentuk oleh presiden kala itu tidak tercantum nomenklaturnya di dalam UUD 1945 yang sudah diamandemen. Itu sebabnya, di dalam UU nomor 19 tahun 2006, institusi itu diberi nama Dewan Pertimbangan Presiden. 

"Lembaga itu di dalam undang-undang ditempatkan di bawah presiden. Itu tafsir yang berkembang saat itu. Pemikirannya didorong oleh fakta bahwa DPA sebagai lembaga negara dihapus. Maka, kedudukan Wantimpres ditempatkan berada di bawah presiden sebagai lembaga pemerintah," ujar mantan Ketua Umum Partai Bulan dan Bintang (PBB) itu. 

Sementara, DPA yang akan dibahas di dalam revisi UU Wantimpres nanti akan ditempatkan sejajar dengan lembaga negara. Artinya, DPA bakal sejajar kedudukannya dengan presiden. 

"Sehingga, menurut hemat saya tidak ada persoalan mendasar yang kita hadapi dari perspektif hukum tata negara mengenai kedudukan Wantimpres yang semula adalah lembaga yang kedudukannya berada di bawah presiden kemudian menjadi sejajar dengan lembaga-lembaga negara yang lain," katanya. 

Baca Juga: Jusuf Kalla: Perubahan Wantimpres Jadi DPA Harus Ubah Konstitusi

2. Revisi UU Wantimpres dinilai memiliki muatan politis yang kental

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari. (Dokumentasi Watchdoc)

Namun, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari tidak sepakat dengan pandangan Yusril Ihza Mahendra. Bahkan, ia menduga revisi UU Wantimpres di penghujung masa kerja parlemen periode 2019-2024 demi kepentingan Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Sebab, revisi undang-undang itu tidak pernah dimasukan ke dalam daftar program legislasi nasional 2020-2024.

"Revisi UU Wantimpres itu mengandung muatan politis yang kental. Sebab, ngapain juga pemerintahan mau berakhir pada Oktober 2024, tiba-tiba dibahas sebuah undang-undang yang urgensinya tidak berkaitan dengan kepentingan publik luas?" ujar Feri ketika dihubungi pada 16 Juli 2024 lalu.

"Sehingga, wajar saja pembahasan undang-undang ini hendak dijadikan jembatan transisi pemerintahan Presiden Jokowi menuju ke pemerintahan Prabowo. Sayangnya, karena ini melanggar konstitusi keberadaan DPA ke depan tentu inkonstitusional dan lebih ke arah akomodasi ruang politik," katanya.

Ia menggarisbawahi, apabila Jokowi dijadikan Ketua Wantimpres usai lengser, maka situasinya berbeda. Di dalam UU Nomor 19 Tahun 2006, posisi Wantimpres berada di bawah presiden.

"Artinya, wantimpres akan menjadi bawahan presiden. Sementara, bila dibentuk lembaga baru, maka mungkin marwah politiknya bisa lebih tinggi karena posisinya DPA mau tidak mau disejajarkan dengan Presiden," ujarnya. 

Baca Juga: Pakar Hukum: Revisi UU Wantimpres Diduga untuk Keperluan Jokowi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya