TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Soal Permintaan Maaf Jokowi, JK: Biar Masyarakat yang Nilai

Pujian dan kritikan dinilai sesuatu yang biasa

Mantan Wakil Presiden, Jusuf "JK" Kalla. (www.instagram.com/@jusufkalla)

Intinya Sih...

  • JK menilai masyarakat yang lebih tepat menilai permintaan maaf Jokowi karena merasakan dampak langsung dari kebijakan presiden.
  • Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menolak memberikan maaf kepada Jokowi karena merasa permintaan maaf tidak tulus dan Jokowi sudah merusak sistem demokrasi.
  • Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, menganggap permintaan maaf ayahnya sebagai hal yang biasa dilakukan seorang pemimpin.

Jakarta, IDN Times - Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf "JK" Kalla mengatakan masyarakat lah yang lebih tepat untuk menilai permintaan maaf yang disampaikan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Sebab, masyarakat merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari kebijakan Jokowi selama hampir 10 tahun memimpin Indonesia. Sehingga, ia enggan memberikan penilaian atas permintaan maaf Jokowi. 

"Yang harus menilai ya masyarakat. Apa pandangan masyarakat? Karena mereka yang merasakan," ujar JK di Jakarta Selatan pada Senin (5/8/2024). 

JK pernah mendampingi Jokowi di periode pertama pemerintahannya. Menurutnya, sebagai kepala pemerintahan, Jokowi pasti ingin menjalankan kerjanya secara maksimal. Tetapi, ada kendala anggaran dan situasi. 

"Tapi, tentu kan sudah berusaha dengan baik. Kalau ada pujian dan kritikan, biasa itu," katanya. 

Permintaan maaf itu disampaikan oleh Jokowi di penghujung masa jabatannya sebagai RI-1. Momen itu terjadi dalam acara zikir dan doa kebangsaan menjelang HUT ke-79 Indonesia di halaman Istana Merdeka pada 1 Agustus 2024 lalu. 

1. Pakar hukum tata negara nilai publik tak boleh berikan maaf bagi Jokowi

Potret Presiden Jokowi berkantor di Istana Presiden IKN (dok. Sekretariat Presiden)

Sementara, menurut pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan publik tak boleh memberikan maaf kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Sebab, selain ia telah mengacak-acak konstitusi selama hampir satu dekade memimpin Indonesia, permintaan maaf Jokowi juga terasa tidak tulus. 

"Dia kan melakukan itu karena merespons liputan (Majalah) Tempo yang terakhir, karena itu viral dan jadi pembicaraan orang. Dia itu kan tipe pemimpin yang populis, sehingga peduli pada citra. Saya merasa itu bagian dari pencitraan dia aja," ujar Bivitri ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, pada 3 Agustus 2024 lalu. 

Majalah Tempo yang diedarkan pada pekan ini mengangkat liputan investigasi khusus mengenai evaluasi kepemimpinan satu dekade Jokowi. Sampulnya diberi judul 'Nawadosa Jokowi'. Isinya memaparkan apa saja dosa yang telah diperbuat oleh mantan Wali Kota Solo itu selama hampir 10 tahun terakhir. 

Di sisi lain, Jokowi tidak bisa meminta maaf dalam kapasitas pribadi, karena ia seorang kepala negara. "Perbuatannya bukan sesuatu yang bisa dimintakan maaf, karena konteksnya menyangkut kewenangan yang dimiliki. Jabatan dan wewenang yang dimiliki kan bukan kewenangan manusia biasa," katanya.

Alih-alih meminta maaf, Jokowi seharusnya mempertanggungjawabkan wewenang yang diperoleh dari jabatannya sebagai seorang presiden. 

Baca Juga: Jokowi Minta Maaf Sebelum Pensiun, Ahok: Saya Juga Begitu di Jakarta

2. Bivitri nilai seharusnya Jokowi sudah bisa dimakzulkan sejak lama

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti (IDN Times/Rochmanudin)

Bivitri bahkan menilai sudah sejak lama seharusnya Jokowi dimakzulkan. Karena ia sudah cawe-cawe mengubah aturan di Mahkamah Konstitusi (MK). Belum lagi, ia juga cawe-cawe menggunakan kewenangannya sebagai presiden untuk memenangkan putra sulungnya sebagai wakil presiden. 

"Sebenarnya dia sudah layak untuk di-impeach. Saya sudah bilang sejak tahun lalu bahwa dia bisa dimakzulkan menurut hukum tata negara," kata Bivitri. 

Namun, sayangnya lantaran pemakzulan harus melewati proses politik, maka hal tersebut sulit terwujud. Sebab, Jokowi diduga kuat sudah mempengaruhi semua ketua umum partai politik. 

"Tapi kalau dilihat kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dia sudah layak untuk diturunkan (dari jabatan presiden)," ujarnya. 

Bivitri juga menyebut selama hampir 10 tahun, Jokowi sudah merusak sistem demokrasi dan negara hukum di Indonesia. Sehingga, Jokowi dinilai tidak layak mendapatkan pemaafan dengan mudah. 

"Dia harus pertanggung jawabkan jabatan dan wewenangnya itu menurut hukum tata negara," imbuhnya. 

Baca Juga: Rocky Gerung: Jokowi Tidak Boleh Diberi Maaf

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya