TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Satu Dekade Jadi Presiden RI, Jokowi Klaim Tetap Perhatikan Isu HAM

Jokowi banggakan penyelesaian kasus HAM di luar jalur hukum

Ilustrasi Hak Asasi Manusia (HAM). (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Salah satu capaian yang dibanggakan oleh Presiden Joko "Jokowi" Widodo di penghujung satu dekade kepemimpinannya yakni di bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Tim dari Kantor Staf Presiden (KSP) menyebut mengenai Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2023 mengenai pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM yang berat.

Salah satu rekomendasi yang dibentuk oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di era Jokowi yaitu pemerintah bersedia mengakui sudah terjadi 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu. Namun, pemerintah tidak bersedia meminta maaf kepada para korban. 

"Pemerintah tidak pernah abai terhadap perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) di setiap sektor. Salah satunya melalui proses pemulihan hak-hak keluarga korban," demikian isi laporan Capaian 10 Tahun Pemerintahan Joko Widodo dan dikutip pada Senin (23/9/2024). 

KSP membantah bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu di luar jalur hukum akan menjadi tanda Jokowi enggan mengusut kasusnya di lewat mekanisme pengadilan. "Presiden Jokowi berulang kali menyatakan bahwa proses investigasi terus dilakukan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung," kata mereka. 

Mantan Wali Kota Solo itu, kata KSP, berharap langkah non yudisial dapat menjadi langkah berarti dalam pemulihan luka sesama antar warga. 

Baca Juga: Dirjen HAM: Wartawan Berhak Bentuk Serikat Pekerja

1. Daftar 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui pemerintahan Jokowi

Ilustrasi aksi Kamisan yang desak pemerintah proses hukum pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Berikut daftar 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang akhirnya diakui oleh pemerintahan Jokowi:

  1.  Peristiwa 1965-1966
  2. Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
  3.  Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
  4.  Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
  5. Peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998
  6. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
  7.  Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999
  8. Peristiwa pembunuhan dukun santet 1998-1999
  9. Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
  10. Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
  11. Peristiwa Wamena, Papua 2003
  12. Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003

Proses pemulihan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi korban dimulai pada 27 Juni 2023 lalu di Rumoh Gedong, Aceh. Kick off itu dibuka secara langsung oleh Jokowi. Ia memberikan kompensasi kepada perwakilan dari delapan keluarga korban. 

Kompensasi diajukan oleh korban, keluarga atau kuasanya kepada Pengadilan HAM melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Selanjutnya, LPSK membayarkan kompensasi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut survei dari LPSK, mayoritas korban pelanggaran HAM berat menginginkan rehabilitasi.

Baca Juga: Jokowi Naikkan Tunjangan Pegawai Komnas HAM, Ini Rinciannya

2. Tim PPHAM berat masa lalu dianggap hanya pencitraan Jokowi belaka

Pegiat HAM menggelar aksi Kamisan, 27 Agustus 2024. Dalam aksi kali ini, massa menyuarakan tentang kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap wartawan Tribrata TV dan tiga anggota keluarganya pada 27 Juni 2024. (IDN Times/Prayugo Utomo)

Pembentukan tim PPHAM berat masa lalu tidak mendapat respons positif dari para pegiat HAM. Sebab, langkah tersebut dianggap sekedar memenuhi janji politik Jokowi di penghujung kepemimpinannya. Hal tersebut, kata YLBHI, juga terus memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM berat. 

YLBHI juga mencatat tidak ada terobosan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat lewat pengadilan (yudisial). Hanya satu, yakni kasus Paniai, yang akhirnya dibawa ke pengadilan. Namun, isi putusannya pun tidak memuaskan YLBHI dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). 

"Keraguan YLBHI terhadap pernyataan Presiden tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak Pemerintah dalam menyikapi berbagai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi," ujar YLBHI di dalam keterangan tertulis. 

Selain itu, YLBHI juga menyoroti dasar hukum pembentukan Tim PPHAM. Seharusnya, Tim PPHAM di luar jalur hukum dibentuk melalui undang-undang bukan keputusan presiden. Sebab, masa kerja Tim PPHAM itu bisa disetop bila presidennya berganti. 

Hal lain yang membuat YLBHI dan LBH ragu terhadap komitmen Jokowi antara lain soal ketidakseriusan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus pelanggaran HAM. Jaksa Agung sempat menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat. Di sisi lain, Jokowi malah mengangkat sejumlah nama yang tersangkut dengan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu. 

3. Jokowi terbitkan Perpres soal strategi bisnis yang menjunjung tinggi HAM

Presiden Jokowi Resmikan Smelter Tembaga dan Pemurnian Logam Mulia PT Amman Mineral Internasional Tbk (YouTube.com/Sekretariat Presiden)

Selain itu, sepanjang menjadi RI-1, Jokowi pernah membuat Undang-Undang nomor 68 tahun 2020 tentang pembentukan Komisi Nasional Disabilitas. Mantan Gubernur Jakarta itu juga menerbitkan Perpres nomor 18 tahun 2023 tentang Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini menjadi dasar pembentukan direktorat jenderal baru yang membidang isu HAM. 

Jokowi juga menerbitkan Perpres nomor 60 tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM). "Melalui Perpres itu, negara berkewajiban untuk memberikan panduan yang efektif kepada pelaku usaha tentang bagaimana menghormati HAM dalam menjalankan bisnis mereka," kata KSP. 

Melalui aturan itu, perusahaan didorong untuk mampu mempertimbangkan secara efektif persoalan gender, kerentanan dan atau marginalisasi, hingga tantangan khusus yang dihadapi oleh masyarakat asli. 

Sementara, dalam pandangan mantan komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif asal China diragukan mematuhi penegakan HAM yang ada di Indonesia. Namun, di sisi lain, pemerintah berkewajiban memastikan semua perusahaan itu mematuhi Perpres Nomor 60 Tahun 2023 mengenai standar nasional bisnis dan HAM.

"Perpres itu hanya akan jadi formalitas belaka saja bila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Upaya sungguh-sungguh artinya punya kemampuan memaksa perusahaan mematuhi standar nasional bisnis dan HAM," ujar Beka ketika dihubungi IDN Times pada 12 September 2024 lalu. 

Di sisi lain, Beka mengatakan konsekuensi bagi perusahaan yang tidak menjunjung tinggi HAM tak hanya datang dari pemerintah. Persepsi publik terhadap perusahaan yang belum mematuhi standar HAM, dinilai juga bisa menghancurkan reputasi bisnisnya. 

"Apalagi konsumen semakin cerdas dan memiliki standar yang tinggi. Artinya, perpres itu tidak hanya dipandang memiliki relasi antara pemerintah dan pelaku usaha, tetapi itu bisa dijadikan alat oleh publik dan masyarakat sipil agar perusahaan comply standar bisnis dan HAM," katanya. 

Baca Juga: Menkumham Berganti, Proses Pemulihan Korban HAM Berat Masih Jalan

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya