TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar: Jokowi Tak Bisa Dimaafkan, Dia Seharusnya Dimakzulkan!

Permintaan maaf Jokowi dianggap tidak tulus

Presiden Joko "Jokowi" Widodo dalam Pembukaan Festival Ekonomi Keuangan Digital dan Karya Kreatif Indonesia 2024 di JCC, Kamis (1/8/2024). (YouTube/Sekretariat Presiden)

Jakarta, IDN Times - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan publik tak boleh memberikan maaf kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo. Sebab, selain ia telah mengacak-acak konstitusi selama hampir satu dekade memimpin Indonesia, permintaan maaf Jokowi juga terasa tidak tulus. 

"Dia kan melakukan itu karena merespons liputan (Majalah) Tempo yang terakhir, karena itu viral dan jadi pembicaraan orang. Dia itu kan tipe pemimpin yang populis, sehingga peduli pada citra. Saya merasa itu bagian dari pencitraan dia aja," ujar Bivitri ketika dihubungi IDN Times melalui telepon, Sabtu (3/8/2024). 

Majalah Tempo yang diedarkan pada pekan ini mengangkat liputan investigasi khusus mengenai evaluasi kepemimpinan satu dekade Jokowi. Sampulnya diberi judul 'Nawadosa Jokowi'. Isinya memaparkan apa saja dosa yang telah diperbuat oleh mantan Wali Kota Solo itu selama hampir 10 tahun terakhir. 

Di sisi lain, Jokowi tidak bisa meminta maaf dalam kapasitas pribadi, karena ia seorang kepala negara. "Perbuatannya bukan sesuatu yang bisa dimintakan maaf, karena konteksnya menyangkut kewenangan yang dimiliki. Jabatan dan wewenang yang dimiliki kan bukan kewenangan manusia biasa," katanya. 

Alih-alih meminta maaf, Jokowi seharusnya mempertanggungjawabkan wewenang yang diperoleh dari jabatannya sebagai seorang presiden. 

1. Alih-alih meminta maaf, Jokowi seharusnya hadir di Mahkamah Rakyat

Suasana Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa (Youtube.com/Jakartanicus)

Lebih lanjut, Bivitri mengatakan, alih-alih meminta maaf, Jokowi seharusnya ikut hadir di Mahkamah Rakyat. Forum itu, kata Bivitri, bisa dimanfaatkan untuk mempertanggungjawabkan keputusan dan perbuatannya selama hampir satu dekade memimpin Indonesia. 

"Di sana Pak Jokowi bisa jelaskan secara gagah berani wewenang yang harusnya dia pertanggung jawabkan," ujar pemeran film dokumenter Dirty Vote itu. 

Permintaan maaf tersebut semakin terasa tidak tulus, karena ia tetap melanjutkan kebijakan yang dinilai keliru. Salah satunya, ia tetap memaksakan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). 

"Dia kan tidak menjelaskan ke publik mengapa hingga saat ini belum ada satu pun investor asing yang masuk ke IKN. Dia malah bawa influencer. Jadi, di satu sisi dia bilang maaf, maaf, maaf, tapi itu tidak berbanding lurus dengan yang dia lakukan," katanya. 

Hingga kini, kata Bivitri, Jokowi tetap menyangkal telah melanggengkan praktik nepotisme hingga tak mau mengakui bahwa proyek mercusuar IKN berpotensi mangkrak. 

2. Jokowi telah berbuat kesalahan fatal dengan mengacak-acak konstitusi

Gedung Mahkamah Konstitusi (IDN Times/Rachma Syifa Faiza Rachel)

Bivitri menyebut salah satu kesalahan Jokowi yang paling fatal yakni mengacak-acak konstitusi, dengan memaksakan putra sulungnya menjadi wakil presiden. Sebab, mantan Wali Kota Solo itu ikut cawe-cawe mengubah aturan main menjadi capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK).

Perubahan aturan itu diputuskan mantan Ketua MK, Anwar Usman. Anwar notabene adalah adik iparnya. 

"Di situ kan jelas ada benturan kepentingan dengan Anwar Usman. Itu yang paling menjijikan ya menurut saya. Sesungguhnya praktik nepotisme itu bisa kena ancaman pidana, karena diatur di dalam undang-undang kita," ujarnya.

Namun, dengan sistem penegakan hukum yang semakin tidak jelas menguntungkan Jokowi, sehingga ia bisa melenggang bebas. 

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya