TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Mahfud Jelaskan Duduk Perkara Bentrokan Warga-Polri di Pulau Rempang

"Tanah di Rempang sudah dikasih haknya ke perusahaan"

Menkopolhukam Mahfud MD di Halal Bi Halal MUI pada Kamis (17/5/2023) (IDN Times/Aryodamar)

Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD menjelaskan duduk perkara antara warga sipil dengan aparat penegak hukum (APH) di Pulau Rempang, Batam. Menurut Mahfud, kisruh antara warga sipil dengan aparat bermula dari upaya pengosongan tanah pada Kamis (7/9/2023). APH datang untuk mendampingi petugas pematok lahan. 

Ia menambahkan bahwa tanah di Pulau Rempang sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah entitas perusahaan untuk mengelola lahan di sana.

"Jadi, pada tahun 2001 atau 2002, sebelum investor resmi masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan gak pernah ditengok. Sehingga, pada 2004 menyusul dengan beberapa keputusan, hak tanah itu diberikan kepada orang lain. Akhirnya ditempati. Padahal, SK (Surat Keputusan) haknya sudah dikeluarkan pada 2001 secara sah," ungkap Mahfud di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan pada Jumat (8/9/2023). 

Investor akhirnya berhasil digaet masuk ke Pulau Rempang pada 2022. Pemegang hak tanah yang diberikan kewenangan sejak 2001 oleh pemerintah lalu datang. Mereka kemudian menemukan tanahnya sudah ditempati oleh orang lain. 

"Kemudian diurut-urut ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Lalu, diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak (entitas perusahaan) karena investor akan masuk," kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu. 

Namun, menurut keterangan dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), masyarakat adat yang ada di sana justru sudah menghuni tanah tersebut sejak 1834.

Meski begitu, warga hanya memiliki hak guna bangunan (HGB) tanah di pulau tersebut. Sertifikat tanah hanya diberikan kepada warga asli di Pulau Batam. Dokumen itu diberikan usai melalui proses verifikasi yang panjang. 

Baca Juga: Bentrok Aparat dan Warga Pulau Rempang Pecah, Imbas Proyek Eco-City

1. Mahfud sebut warga setempat tak punya hak tinggal di Pulau Rempang

Warga Pulau Rempang, Batam yang bentrok dengan aparat karena menolak relokasi pada 7 September 2023. (Dokumentasi Istimewa)

Mahfud juga menegaskan bahwa yang menjadi pemicu bentrokan adalah keharusan tanah di Pulau Rempang untuk dikosongkan. Bukan, hak kepemilikan atas tanahnya. 

"Jadi, yang diributkan bukan pula hak guna usahanya. Karena itu kan sudah lama di situ kan? Sudah belasan tahun orang (bermukim) di situ. Tiba-tiba harus pergi. Meskipun menurut hukum kan tidak boleh (menempati tanah yang bukan miliknya). Karena di situ ada haknya orang kecuali sudah melewati waktu tertentu lebih dari 20 tahun," kata dia. 

Di sisi lain, mantan anggota DPR itu juga menyebut, ada kekeliruan yang turut dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Hal itu menyangkut surat izin penggunaan tanah oleh pihak lain. Padahal, kata Mahfud, pihak lain itu tak berhak bermukim di sana. 

"Itu kalau tidak salah sampai enam keputusan yang dibatalkan semua karena setelah dilihat kembali salah dasar hukumnya. Tapi, itu lebih tepat dilakukan daripada misalnya membiarkan berlarut-larut," tutur dia lagi. 

2. Mahfud dorong agar pemerintah berikan uang kerohiman bagi warga

Warga Pulau Rempang, Batam yang bentrok dengan aparat karena menolak relokasi pada 7 September 2023. (Dokumentasi Istimewa)

Mahfud juga menyebut, pemerintah kini tinggal membahas mengenai uang kerohiman, cara pemindahan warga dan ke mana mereka akan dipindahkan.

"Itu mungkin yang perlu didiskusikan antara pemegang hak, bersama investor dan rakyat setempat," kata dia. 

Meski begitu, menurut Mahfud, sikap warga yang mendiami di tanah yang bukan miliknya juga tidak bisa dibenarkan. Sebab, apapun yang masuk dari pulau itu seperti pajak justru bisa dianggap temuan korupsi. 

"Kan haknya orang, kamu ambil pajaknya dan dibiarkan. Bisa dianggap korupsi atau kriminal biasa," tutur dia. 

Ia juga mendukung agar dalam mengatasi kerumunan orang, APH menanganinya secara baik dan penuh kemanusiaan. Sebab, hal itu sudah ada di standar prosedurnya (SOP), termasuk dalam penggunaan gas air mata. 

"Kecuali sudah dalam keadaan tertentu yang gawat," ujarnya. 

Baca Juga: Amnesty International Desak Polri Bebaskan Warga Pulau Rempang

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya