Dirjen Dhahana: Korporasi Harus Junjung Tinggi HAM Dalam Berbisnis
Dari 238 perusahaan yang dinilai baru 31 yang lolos
Intinya Sih...
- Ditjen HAM meluncurkan PRISMA, platform untuk asesmen usaha dalam pemenuhan HAM
- Baru 31 dari 238 perusahaan yang dinilai menggunakan PRISMA yang lolos
- Korporasi yang memenuhi standar bisnis dan HAM akan mendapat kredit poin dan rekomendasi kerjasama pemerintah
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM, Dhahana Putra, mengingatkan para pengusaha agar dilakukan penyelarasan antara bisnis dan HAM. Sebab, bila mengabaikan HAM maka dapat berpengaruh besar terhadap keberlanjutan bisnis maupun penerimaan di pasar global.
Apalagi hal tersebut sudah tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2023 mengenai Strategi Nasional Bisnis dan HAM. Di dalam Pasal 2 ayat (2) di dalam Perpres itu tertulis: pengaturan strategi nasional Bisnis HAM meliputi tanggung jawab pelaku usaha untuk menghormati HAM dan akses atas pemulihan bagi korban dugaan pelanggaran HAM di kegiatan usaha.
Maka Ditjen HAM, kata Dhahana, telah meluncurkan PRISMA, sebuah platform untuk melakukan asesmen suatu usaha. Baik itu di level perusahaan maupun UMKM dalam segi pemenuhan HAM.
"PRISMA itu kan suatu tools untuk mengukur apakah pelaku usaha ini tuntas gak (perlindungan) Hak Asasi Manusianya. Itu menjadi suatu instrumen yang digunakan pelaku usaha," ujar Dhahana ketika menjawab pertanyaan IDN Times di gedung Kanwil Kemenkum HAM, Jawa Tengah, Rabu (11/9/2024).
Ia menambahkan, sejauh ini dari 238 perusahaan yang dinilai menggunakan PRISMA, baru 31 perusahaan yang lolos. "Kami sedang berupaya untuk memberikan pendampingan bagi teman-teman (korporasi) yang belum hijau," tutur dia.
Ditjen HAM, kata Dhahana juga melakukan evaluasi terhadap instrumen PRISMA. "Apakah masih diperlukan atau user friendly dalam konteks penilaian tersebut," imbuhnya.
Apa konsekuensi bagi perusahaan yang belum dianggap memberikan perlindungan terhadap HAM dalam berbisnis?