TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Anies Sentil Kebijakan Luar Negeri Era Jokowi Sifatnya Transaksional

Indonesia baru bergerak bila ada keuntungan investasi

Bakal capres Anies Baswedan. (www.instagram.com/@aniesbaswedan)

Jakarta, IDN Times - Bakal capres dari Koalisi Perubahan, Anies Baswedan menyentil kebijakan luar negeri Indonesia yang sifatnya transaksional. Artinya, Indonesia baru bergerak bila ada keuntungan investasi dan perdagangan yang diperoleh.

Indonesia, menurut Anies, bukan bergerak karena merasa memiliki tanggung jawab sebagai warga dunia. Ia menilai cara Indonesia membangun relasi berdasarkan sikap pragmatisme adalah masalah yang besar. 

Anies kemudian menunjukkan dua artikel berbahasa Inggris yang dinukil dari The Economist dan The Jakarta Post sebagai rujukan. Dalam pandangan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, Indonesia kini dipersepsikan sebagai negara yang mengejar keuntungan sempit di dalam membangun relasi hubungan internasional. 

"Bahkan, ketika kita melihat invasi ke Ukraina dan kita hadir ke sana, maka kita berbicara mengamankan mata rantai pasokan pangan kita. Lha, ini kan lebih besar isunya dari pasokan pangan," ujar Anies seperti dikutip dari YouTube CSIS pada Kamis (9/11/2023). 

Ia juga menyentil Indonesia yang sering kali absen dalam pertemuan para pemimpin global tahunan. Anies pun mendorong agar Indonesia kembali rutin hadir dalam pertemuan global tahunan itu dan membawa pesan bahwa Indonesia adalah warga dunia. 

"Kita harus kembali hadir di sana dan membawa pesan kami (negara) dengan penduduk nomor empat terbesar di dunia punya sejumlah agenda dunia untuk dijadikan perhatian," tutur dia lagi.  

Baca Juga: Ini Nasib Kartu Prakerja Bila Anies Menang Pemilu 2024, Bakal Lanjut?

Baca Juga: MKMK Copot Anwar Usman, Anies: Semoga Bisa Menjaga Marwah Konstitusi

1. Kebijakan luar negeri dibangun tanpa ditopang kebijakan domestik yang lebih baik

Slide dari Anies Baswedan yang menggambarkan konsekuensi paradigma transaksional di relasi internasional. (Tangkapan layar YouTube)

Lebih lanjut, Anies memaparkan sejumlah konsekuensi dari paradigma transaksional yang dijadikan dasar oleh pemerintahan era Jokowi membina hubungan internasional. Mulai dari penurunan indeks kekuatan di Asia hingga Indeks Persepsi Korupsi. Mengacu ke data yang dipaparkan, Anies menyebut indeks kekuatan Indonesia di Asia hanya di angka 19,4 per tahun 2022. 

"Kalau melihat negara sebesar Indonesia seharusnya skor bisa lebih baik. Bahkan, skor kita lebih rendah dibandingkan Singapura. Singapura ada di angka 25," kata dia. 

Anies juga menyebut seharusnya Indonesia berada di posisi kelompok negara besar lainnya. Hal lain yang disoroti Anies yakni ketika pemerintah berbicara di forum-forum internasional tanpa berkaca kepada kebijakan di dalam negeri. 

"Misalnya kita berbicara soal kemanusiaan tapi di sini terjadi abuse of human rights, ya gak bisa! Kita bicara tentang kesetaraan kesempatan, tapi di sini non demokrasi ya gak bisa! Konsekuensinya domestiknya kita ikut menurun. Misal Indeks Demokrasi kita menurun, Indeks Persepsi Korupsi turun hingga Indeks Kebebasan ikut turun," tutur dia lagi. 

Di sisi lain, Anies mengkritik situasi kontras yang terjadi di Indonesia. Di mana Indonesia saat ini masuk ke dalam klub-klub negara besar, tetapi agenda-agenda mereka tidak ikut dijadikan agenda domestik. 

"Karena kita gak ngobrol di situ. Ini harus dikoreksi. Nanti yang mengoreksi adalah pakar-pakarnya," ujarnya. 

2. Anies akan ganti kebijakan luar negeri transaksional menjadi value based policy

Tangkapan layar siaran langsung Bakal Calon Presiden RI, Anies Baswedan, saat berbicara di kampus Unhas Makassar, Minggu (24/9/2023). Dok. IDN Times/YouTube Unhas TV

Di forum itu, salah satu hal yang akan ia koreksi seandainya terpilih menjadi presiden yakni mengganti kebijakan luar negeri Indonesia yang sifatnya transaksional menjadi kebijakan berbasis nilai. Strategi yang bakal digunakan yakni dari diplomasi pragmatis menjadi diplomasi cerdas. 

"Ke mana pun Indonesia membuat kebijakan dan terlibat, maka harus menunjukkan nilai-nilai yang menjadi kompas kebijakan. Kalau kita punya nilai maka dijadikan pegangan. Seseorang yang tidak memegang nilai tidak punya kompas. Kalau tidak ada kompas, maka dia tidak bisa menilai mana benar dan salah, mana sesuatu yang bisa dan jangan," kata Anies. 

Ia menambahkan dengan dipegangnya kompas, mungkin situasi yang dihadapi tidak akan ideal 100 persen. Namun, Indonesia bisa tetap berpegang kepada nilai-nilai yang dianut supaya tidak ada kompromi. 

Baca Juga: Anies Kritisi Lonjakan Anggaran Infrastruktur Era Jokowi

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya