TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aktivis Prihatin di Bawah Jokowi Reformasi 1998 Balik ke Titik Nol

Aktivis respons putusan MK soal batas usia capres-cawapres

Sejumlah aktivis membacakan Maklumat Keprihatinan sebagai respons putusan MK. (IDN Times/Santi Dewi)

Jakarta, IDN Times - Sejumlah aktivis dan pegiat demokrasi berkumpul di sebuah kafe di kawasan Juanda, Jakarta, Senin (16/10/2023), untuk merespons hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait norma baru untuk menjadi capres dan cawapres. Mereka membacakan Maklumat Keprihatinan sebagai tanda reformasi yang diperjuangkan pada 1998 dianggap kembali ke titik nol. 

Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia (AII), Usman Hamid, mengatakan kemunduran reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi. Selain itu diperburuk oleh fenomena dinasti politik. 

"Reformasi dan demokrasi yang kita tegakan bersama dalam 25 tahun terakhir, dikhianati," ujar Usman ketika berbicara, kemarin. 

Contoh kemunduran reformasi lainnya ditandai dengan kebijakan yang melemahkan lembaga antikorupsi, pengesahan UU Cipta Kerja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga konflik kepentingan yang sangat kuat. 

Menurut Usman, pada era pemerintahan Presiden Joko "Jokowi" Widodo muncul politik dinasti.

"Momen itu terjadi ketika presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya, untuk mengistimewakan keluarga sendiri. Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin bisa didapat, tanpa status anak kepala negara atau presiden yang berkuasa," kata dia. 

Apa tuntutan dari sejumlah aktivis itu terkait putusan MK kepada Presiden Jokowi?

Baca Juga: Kepala Daerah di Bawah 40 Tahun Bisa Maju Capres-Cawapres di 2024

1. Jokowi didesak memberi teladan di penghujung kepemimpinannya

Presiden Jokowi nonton laga Timnas Indonesia vs Thailand di SUGBK, Kamis (29/12/2022) (dok. Sekretariat Presiden)

Lebih lanjut, Usman mengaku miris lantaran Jokowi terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024. Caranya, dengan menggandeng kubu politik yang menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga. 

"Kami memergoki perilaku politik nista dari penguasa dan kalangan atas ini. Perilaku yang nista itu adalah kolusi dan nepotisme yang dirobohkan oleh gerakan reformasi, 25 tahun lalu," kata dia. 

Itu sebabnya, kata Usman, ia dan sejumlah warga negara dari berbagai kalangan memilih bersuara. Ia dan aktivis lainnya mendesak para pemimpin bangsa, terutama kepala negara agar memberi teladan. 

"Jangan memberi contoh buruk dengan memperpanjang kebiasaan membangun kekuasan bagi keluarga," ujarnya. 

2. Jokowi bangun politik dinasti ketika masih berkuasa jadi presiden

Presiden Jokowi dan Ibu Negara, Iriana Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke pondok pesantren Al-Ittifaq, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada Senin (6/3/2023) (dok. Sekretatiat Presiden)

Di sisi lain, Usman mengatakan, sudah sejak lama Jokowi membantah bila dituding melakukan pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Tetapi, pada faktanya kondisi KPK saat ini semakin mundur. Instasi itu memproses hukum sesuai dengan kepentingan politik. 

"Tetapi, fakta sulit untuk disangkal bahwa kemunduran itu terus terjadi tanpa ada pembelaan dari kepresidenan Jokowi. Lihat apa yang terjadi pada KPK hari-hari ini, begitu selektif (mengusut perkara) secara politik. Tidak lagi memiliki independensi dan integritas dalam memberantas korupsi," ujar Usman, menjawab pertanyaan IDN Times

Usman mengatakan tingkat kepercayaan publik kepada komisi antirasuah pernah berada di titik tertinggi. Namun, kini sekarang hancur. 

"Tapi, kalau ditanyakan hal itu kepada keluarga Jokowi, tentu mereka akan membantah bahwa itu karena mereka," tutur dia. 

Lebih lanjut, Usman juga menepis situasi dinasti politik di Indonesia bisa disamakan dengan kondisi di India atau Amerika Serikat. Anak-anak Jokowi membangun kekuasaan politik di saat sang ayah masih berkuasa menjadi presiden. Kekuasaan politik itu bukan dibangun usai sang ayah lengser. 

"Ini berbeda dengan seorang putri proklamtor menjadi presiden bukan karena bapaknya yang sedang berkuasa. Tetapi, karena partainya," kata dia. 

Contoh lain, lanjut Usman, yakni John F. Kennedy dan Robert Kennedy. Mereka disebut membangun dinasti keluarga karena Robert diangkat menjadi Jaksa Agung dan penasihat presiden, ketika John masih berkuasa sebagai presiden. 

"Tetapi, meritokrasinya masih ada. Setelah kejadian itu, AS membuat undang-undang untuk menghapuskan politik dinasti. Yang sebenarnya lebih kental pada nuansa nepotisme," ujarnya. 

Sementara dalam kasus dinasti politik Jokowi, menurut Usman, anggota keluarga turut menikmati keuntungan-keuntungan material dan politik ekonomi, saat mantan Gubernur DKI Jakarta itu berkuasa.

"Sebut saja jabatan Wali Kota Medan, Wali Kota Solo atau misalnya kongsi bisnis Sinar Mas dengan salah satu putra Jokowi itu. Jadi, itu menunjukkan tidak ada jarak antara politik dinasti dengan kepentingan oligarki. Ini yang kami persoalkan," katanya. 

Baca Juga: Mahfud: Masyarakat Protes Putusan MK Boleh, Tapi Tak Akan Ubah Apapun

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya