TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

ILUNI FHUI: DPR dan Pemerintah Membangkang Konstitusi

DPR dan pemerintah tidak patuhi Putusan MK

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Intinya Sih...

  • ILUNI FHUI menentang praktik pembegalan demokrasi oleh DPR dan pemerintah dalam revisi UU Pilkada.
  • Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang diabaikan oleh DPR dan pemerintah menyebabkan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
  • Pengabaian Putusan MK dapat merusak tatanan bernegara, reputasi internasional, ekosistem hukum, stabilitas ekonomi, ketertiban umum, dan keresahan di kalangan masyarakat.

Jakarta, IDN Times - Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) menentang keras adanya praktik pembegalan demokrasi yang dipertontonkan secara luas saat ini.

Proses revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang disepakati hanya dalam hitungan jam setelah diputuskannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 merupakan fenomena nyata bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah mencederai sistem hukum nasional.

Dalam Putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Putusan MK.

Putusan ini menetapkan terkait persyaratan suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mendaftarkan calon kepala daerah berdasarkan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Putusan ini bertujuan memberikan kejelasan mengenai ambang batas suara sah dalam proses pencalonan.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan, Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan MK ini juga mempertimbangkan, syarat ambang batas perolehan suara sah untuk partai politik atau gabungan partai politik seharusnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan syarat untuk calon perseorangan. Maka, MK berpendapat bahwa persyaratan yang lebih tinggi untuk partai politik dapat dianggap tidak rasional dan tidak adil, mengingat calon perseorangan memiliki syarat yang lebih ringan.

1. Ancaman serius supremasi hukum

Suasana pembahasan revisi UU Pilkada di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Rabu (21/8/2024). (IDN Times/Amir Faisol).

Alih-alih mematuhi Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, DPR dan pemerintah langsung membahas revisi UU Pilkada yang justru malah mengesampingkan isi dari Putusan MK dimaksud.

“Praktik ini merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum bagi Indonesia. Tindakan DPR dan pemerintah yang mengesampingkan Putusan MK ini merupakan tindakan pembangkangan konstitusi. Hal ini tentu saja merupakan preseden buruk yang merusak tatanan bernegara, seakan keberadaan Putusan MK yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), hanyalah secarik tulisan tanpa makna,” tutur Ketua Umum ILUNI FHUI, Rapin Mudiardjo dalam keterangan resminya, Rabu (21/8/2024).

Rapin menambahkan, pengabaian Putusan MK ini secara gamblamng menunjukkan cerminan buruknya supremasi hukum di Indonesia. Tentunya, hal ini akan memiliki dampak yang sangat luas. Negara dengan supremasi hukum yang buruk tentunya akan mendapat stigma negatif secara global.

Baca Juga: Gerindra: Pembahasan RUU Pilkada di Baleg Bagian dari Putusan MK

2. Nama baik Indonesia bisa tercoreng

Presiden Jokowi (YouTube Sekretariat Presiden)

Rapin mengungkapkan, Indonesia berpotensi kehilangan reputasi baik di mata komunitas internasional. Hal itu bisa membuat negara-negara lain enggan menjalin kerja sama di berbagai bidang. Termasuk di bidang ekonomi yang dibutuhkan untuk mendanai berbagai mega proyek yang dikejar oleh pemerintah di bawah kendali Presiden Joko “Jokowi” Widodo

“Jika Pemerintah sering mendengungkan keseriusannya mendatangkan calon investor dari dalam dan luar negeri, bagaimana bisa Indonesia mencapai target tersebut jika ekosistem hukum yang ditunjukkan Indonesia jauh dari nilai-nilai demokratis? Calon investor tentunya berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di negara yang tidak memiliki ketidakpastian hukum, yang tentunya dapat berimbas pada terhambatnya aliran investasi dan menyebabkan instabilitas ekonomi,” papar Rapin.

Rapin menambahkan, dampak dari lemahnya supremasi hukum juga akan dirasakan di berbagai lini. Ketidakpercayaan terhadap institusi hukum dapat menyebabkan disintegrasi sosial, meningkatnya kejahatan, dan keresahan di kalangan masyarakat.

“Selain itu, ketidakadilan yang berkelanjutan dapat memicu protes massal dan kerusuhan, yang mengancam ketertiban umum dan stabilitas nasional. Artinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan dengan adanya proses pembegalan demokrasi ini. Hanya untuk melanggengkan kepentingan segelintir elite-elite politik di negara ini,” kata dia.

Baca Juga: PDIP: Tak Ada Lembaga Politik di Negara Lain yang Utak-atik Putusan MK

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya