TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Putusan MK Dinilai Merusak Demokrasi dan Muluskan Dinasti Politik

Jokoisme disebut berubah jadi Jokowigarki

Ilustrasi Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) (IDN Times/Axel Joshua Harianja)

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan mantan atau yang sedang menjabat kepala daerah meski belum berusia 40 tahun, bisa mendaftar sebagai calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres). Sejumlah masyarakat sipil dari kalangan akademisi, aktivis hingga ekonom mengaku prihatin dengan putusan MK tersebut.

Putusan itu juga dinilai memberikan karpet merah untuk putra sulung Presiden Joko "Jokowi" Widodo yang juga Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi cawapres. Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid yang menjadi juru bicara dalam maklumat, menentang putusan MK.

"Kita menentang sebenarnya, dan kami sudah prediksi bahwa meskipun soal usia itu ditolak, sejak tadi malam sudah beredar itu informasi akan ada kekecualian untuk mereka yang pernah menjabat sebagai kepala daerah. Sama saja itu sebenarnya," ujar Usman, dikutip Selasa (17/10/2023).

Baca Juga: Korut Tetapkan Pengembangan Nuklir Jadi Konstitusi Negara

Baca Juga: PDIP Yakin Jokowi Dukung Ganjar di Pilpres 2024

1. Sebut MK sebagai Mahkamah Keluarga

Direktur Eksekutif Internasional Indonesia Usman Hamid datangi Gedung KPK bersama 57 Pegawai Nonaktif KPK pada Rabu (30/9/2021). (IDN Times/Aryodamar)

Usman menyebut, MK adalah Mahkamah Keluarga. Dia menyampaikan, Jokoisme telah menjelma menjadi Jokowigarki.

"Jadi pada akhirnya, dugaan publik, dugaan masyarakat sipil benar bahwa Mahkamah Konstitusi telah menjelma Mahkamah Keluarga. Jokoisme menjelma Jokowigarki," ucap dia.

2. Muluskan dinasti politik

ilustrasi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (IDN Times/Aditya Pratama)

Dalam kesempatan itu, Sekretaris Jenderal Transparency Internasional Indonesia (TII) Danang Widoyoko mengatakan, putusan MK bisa memuluskan dinasti politik. Menurutnya, dengan ditampilkannya praktik dinasti politik, membuat anak muda yang tidak memiliki jejaring, akan sulit bersaing menjadi pemimpin penerus.

"Dengan politik dinasti kita hanya mendapat pilihan yang terbatas, artinya pilihan yang mereka di karbit ini yang saya kira ini menjadi risiko bagi kita semua. Dan ini mengurangi makna demokrasi," kata Danang.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya