Hari Tani Nasional, KNPA Singgung Food Estate Tak Dikelola Petani
KNPA catat mayoritas aset tanah dikelola korporasi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times — Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menyinggung program agraria yang dijalankan pemerintah masih belum mengedepankan kepentingan publik. Hal itu juga yang membuat banyak petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan masyarakat miskin di perkotaan memperingati Hari Tani Nasional (HTN) turun ke jalan.
“Patut diingat, pembebasan dari segala bentuk penjajahan manusia atas manusia merupakan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Karena itu, UUD 1945 menjamin hak-hak konstitusional rakyat Indonesia atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir kelompok,” kata Juru Bicara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika dalam keterangan tertulis, Selasa (27/9/2022).
Baca Juga: Diterima Istana, Serikat Petani dan Buruh Kritik Reforma Agraria
1. Aset tanah mayoritas dikelola elite
Dewi menyebut hingga hari ini, ada ketimpangan penguasaan agraria yang menunjukkan 68 persen tanah atau aset tanah hanya kelola oleh kelompok elite. Kelompok elite itu berupa konsesi perkebunan sawit, tambang dan bisnis kehutanan yang bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan.
“Sementara ada 16 juta rumah tangga petani berada dalam situasi gurem dan landless (tak bertanah),” kata Dewi.
Dia juga menyebut kondisi tersebut juga terjadi di wilayah perkotaan. Menurut catatan KNPA, di wilayah perkotaan, penguasaan tanah oleh pemodal mengakibatkan konflik agraria struktural mencapai 4.009 konflik seluas 11,4 juta hektare dan berdampak pada 2,4 juta orang.
Sementara data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memperlihatkan bahwa Wilayah Adat seluas 3,1 juta hektare dirampas oleh Pemerintah dan Perusahaan melalui bermacam perizinan, baik izin Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Adat (HA), Tambang dan Perkebunan.
“Masyarakat miskin perkotaan hanya dapat hidup di ruang-ruang sisa dan tidak layak huni seperti tepi sungai, kolong jembatan, atau menjadi korban penggusuran. Tumpang-tindih dan akumulasi aset kekayaan para pemodal bersama elite politik berdiri di atas perampasan tanah-tanah rakyat dan penghancuran lingkungan,” tuturnya.
Baca Juga: Krisis Pangan Dunia, Luhut Minta BMKG Bantu Bangun Food Estate Modern