TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Aliansi Perempuan Indonesia: Pelanggaran HAM Berat Sulit Diselesaikan

Keterwakilan perempuan masih nihil dalam politik

Konferensi pers Aksi Perempuan Indonesia, Selasa, (5/3/2024). (IDN Times/Maulana Ridhwan Riziq)

Jakarta, IDN Times - Memperingati Hari Perempuan Internasional (IWD), Aliansi Perempuan Indonesia menyebut, penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat era Presiden Joko "Jokowi" Widodo akan semakin sulit diselesaikan.

Aliansi Perempuan Indonesia yang diikuti 34 organisasi perempuan, lembaga badan hukum, hingga pers mahasiswa tersebut, menilai perempuan korban pelanggaran HAM berat hanya memiliki sedikit harapan.

"Harapan itu purna kala Jokowi melantik Wiranto menjadi Menko Polhukam. Pernah mereka bertemu langsung dengan Presiden Jokowi pada 31 Mei 2018, menyerahkan draf penyelidikan dan hanya kembali menerima janji," ujar Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, di Gedung Yayasan Lembaga Badan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Selasa (5/3/2024).

Menurut mereka, unggulnya suara Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024, menandakan semakin terjalnya keadilan bagi korban HAM.

"Ini menandakan jika Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan HAM berat di Indonesia," kata Mike.

Baca Juga: Lindungi Pekerja Perempuan, Kemen PPPA dan Serikat Pekerja Dorong RP3

1. Aliansi Perempuan Indonesia sebut keterwakilan perempuan di dunia politik masih jauh dari harapan

Konferensi pers Aksi Perempuan Indonesia, Selasa, (5/3/2024). (IDN Times/Maulana Ridhwan Riziq)

Dalam keterangannya, Perempuan Indonesia menyampaikan komitmen pemenuhan keterwakilan perempuan dalam politik masih jauh dari apa yang diharapkan, walau sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 77 Tahun 2017, dan dipertegas dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Selain itu, menurut mereka, partai politik biasanya cenderung hanya memenuhi syarat minimum 30 persen keterwakilan perempuan untuk mengikuti pemilu.

Pada Pemilu 2024 saja, mayoritas partai politik tidak memenuhi persyaratan tersebut sebagaimana yang diatur dalam undang-undang dan peraturan KPU (PKPU), yang mengakibatkan pelanggaran Pasal 460 ayat (1) UU Pemilu.

"Bahkan, sejak afirmasi aturan mengenai keterwakilan perempuan disepakati, belum ada kejadian separah ini, di mana mayoritas partai politik tidak mematuhi aturan yang ada, dan KPU sebagai penyelenggara pemilu pun membiarkan pelanggaran itu terjadi begitu saja. Hal ini menunjukkan bahwa sampai saat ini komitmen pemenuhan hak perempuan dalam politik dari hulu hingga hilir, masih hanya menjadi sekadar jargon belaka," ucap Mike.

2. Sulitnya advokasi hak perempuan dan melanggengnya pemiskinan perempuan

Ilustrasi kekerasan pada perempuan (unsplash.com/Sydney Sims)

Lebih lanjut, Perempuan Indonesia menyebut, penyerapan tenaga kerja perempuan yang tinggi tidak selalu mencerminkan peningkatan partisipasi mereka dalam ekonomi, karena sistem kerja fleksibel cenderung mengutamakan kepentingan pasar bebas dan investasi.

Akibatnya, banyak perempuan terjebak dalam kondisi kemiskinan akibat upah rendah, kerja informal tanpa perlindungan, serta diskriminasi terhadap identitas gender dan orientasi seksual.

"Selama 10 tahun terakhir, angka kekerasan seksual semakin meningkat, baik di ranah privat maupun ranah publik. Perempuan korban kekerasan kerap mengalami diskriminasi dan reviktimisasi dalam proses peradilan, sehingga sulit mendapat kepastian dan keadilan," ujar Mike.

"Selama 20 tahun RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) tak kunjung disahkan, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang menjadi harapan korban kekerasan seksual, masih terganjal dengan peraturan pelaksanaan yang tak kunjung jadi prioritas pembahasan," lanjutnya.

Baca Juga: Sejarah Hari Perempuan Internasional yang Diperingati Setiap 8 Maret

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya