TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

WALHI: Pembangunan IKN Mengorbankan Lingkungan

Kerusakan lingkungan berdampak pada ekosistem lokal

Desain Istana Kepresidenan di IKN dan Ikoniknya Garuda (Dok. Laman Kemenparekraf RI)

Jakarta, IDN Times - Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur, yang diumumkan Presiden Jokowi pada 26 Agustus 2019, menjadi sorotan tajam karena dianggap mengorbankan lingkungan dan kehidupan rakyat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai proyek ini tidak menyelesaikan krisis ekologis di Jakarta, tetapi justru menciptakan kerusakan yang lebih luas di wilayah lain, termasuk Kalimantan dan Sulawesi.

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) menunjukkan area IKN meliputi 77 ribu hektare habitat satwa liar dan 14 daerah aliran sungai (DAS) yang rawan banjir akibat perubahan bentang hutan. Selain itu, percepatan pembangunan IKN menciptakan efek domino yang memperburuk kerusakan lingkungan di provinsi-provinsi lain.

"Pembentukan kawasan aglomerasi dalam UU DKJ adalah bentuk pembangunan invasif, rakus, dan sentralistik. Tidak ada ruang untuk pemulihan bagi Jakarta yang telah mengalami krisis multidimensi dan ancaman bencana akibat pembangunan kota yang serampangan. Yang ada justru memperluas kerusakan yang pada gilirannya merugikan masyarakat dan merusak lingkungan hidup,” kata Direktur eksekutif WALHI DKI Jakarta, Suci dalam keterangannya, Kamis (15/8/2024).

1. Hilangnya daya tampung sepanjang pesisir Palu-Donggala Sulawesi Tengah

Suasana pembangunan di kawasan IKN terkini. (IDN Times/Umi Kalsum)

Manager Program WALHI Sulteng, Umang, menjelaskan hilangnya daya tampung dan dukung lingkungan di sepanjang pesisir Palu-Donggala Sulawesi Tengah, akibat aktivitas Tambang Galian C, adalah beban untuk pembangunan IKN.

“Pemerintah hanya melihat nilai keuntungannya saja, tetapi abai terhadap dampak yang terjadi. Pembangunan IKN yang bertemakan hijau itu, ibarat melukis di atas canva. Di belakangnya ada penderitaan masyarakat terkena ISPA, kehilangan sumber air bersih, dan mata pencaharian (nelayan dan petani),” kata dia.

Baca Juga: IKN Dinilai Bisa Jadi Kota Masa Depan bagi Gen Z dan Milenial

2. IKN tak mampu mempertahankan kawasan hutan

Suasana pembangunan di kawasan IKN terkini. (IDN Times/Umi Kalsum)

Pembangunan IKN yang diklaim sebagai kota berkelanjutan ini dinilai WALHI ternyata tidak mampu mempertahankan kawasan hutan. Fakta yang terjadi, syndrom pembangunan IKN ini memperluas daya rusaknya di daerah lain dengan mengubah fungsi kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur penunjang IKN. 

Disiapkannya Kalimantan Selatan sebagai gerbang logistik juga belum tentu menyerap tenaga kerja lokal dan untuk kesejahteraan masyarakat marjinal. Bahkan dikhawatirkan hanya untuk kepentingan ekonomi kapital yang hanya memperkaya segelintir orang saja dan memperparah ketimpangan sosial ekonomi masyarakat lokal seperti pola perusahaan industri ekstraktif yang sudah ada.

3. Kerusakan lingkungan akibat IKN berdampak pada ekosistem lokal

Sejumlah pekerja menyelesaikan pembangunan proyek Memorial Park di IKN, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Rabu (7/8/2024). (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

WALHI Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat juga mengatakan kerusakan lingkungan akibat IKN berdampak pada ekosistem lokal dan mengancam keberlanjutan hidup masyarakat setempat.

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur tidak hanya merusak lingkungan di wilayah tersebut, tetapi juga menyebabkan kerusakan yang meluas ke daerah-daerah lain, seperti Kalimantan Selatan dan Sulawesi Barat. 

Ada tambang galian dilakukan di beberapa daerah di Sulawesi Barat mulai dari Majene hingga Pasangkayu selain itu ada dua kabupaten Mamuju dan Mamuju Tengah untuk food estate. Di Pasangkayu, komunitas nelayan juga mengalami dampak dari pembangunan IKN. Selain itu ekspansi tambang dan sawit juga terus meningkat. Dan kita tahu bahwa Sulawesi Barat masuk dalam sesar aktif, sementara IKN dijadikan sebagai penyangga IKN.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya