Ormas Perempuan Dorong Komitmen Pemerintah Wujudkan Pemilu yang Setara
Mulai dari kuota 30 persen hingga kerentanan perempuan
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Suara perempuan jadi bagian penting untuk menunjukan jalannya demokrasi. Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah, menyoroti komitmen negara agar pemilu setara, berkeadilan, dan inklusif bisa diterapkan pada pesta politik 2024 mendatang.
“Partisipasi perempuan dan kelompok minoritas secara bermakna merupakan indikator penting untuk menegaskan, bahwa demokrasi sejati telah benar-benar dijalankan dengan menunjukkan tidak ada seorang pun tertinggal dalam Pemilu,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (29/8/2023).
Ruby mengatakan, Pemilu 2024 jadi kesempatan bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasinya dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Ini juga jadi momen perempuan punya dampak yang signifikan terhadap kualitas dan representasi dalam pembentukan kebijakan publik.
“Perempuan dapat memilih pemimpin yang akan mewakili kepentingan mereka dan memperjuangkan hak-hak mereka,” ujarnya.
Baca Juga: Komnas Perempuan: PKPU No 10 2023 Persempit Ruang Politik Perempuan
1. Perhatian soal kuota 30 persen perempuan dalam proses Pemilu
Sementara, Direktur Eksekutif Kalyanamitra Lilis Listyowati mengatakan, keterlibatan setiap pihak yang setara dalam segala hal sudah termaktub dalam Undang-Undang Dasar RI 1945. Dalam UU Pemilu, UU Penyelenggaraan Pemilu, dan UU Partai Politik yang secara jelas mengatur soal memperhatikan kuota 30 persen perempuan dalam proses pemilu. Kemudian Peraturan KPU tentang kewajiban memenuhi kuota 30 persen perempuan untuk menjadi peserta pemilu.
“Meskipun dalam tataran implementasi pemenuhan kuota 30 persen ini belum efektif dan mendapatkan banyak evaluasi, dikarenakan pemenuhan masih sangat bersifat teknis administratif saja, sehingga keterwakilan perempuan dihadapkan pada persoalan, apakah berkualitas? Apakah mampu bekerja? Apakah mampu melakukan perubahan? Dan sejumlah tantangan perempuan dalam partisipasi politik yang tidak mudah, sebab partai politik sebagai wadah perempuan berpolitik masih memiliki budaya patriarki yang kuat,” katanya.