Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berpandangan pemenuhan hak perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual untuk aborsi harus memadai. Ini jadi kebutuhan nyata korban perkosaan dan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) lainnya serta jadi upaya mengurangi gangguan mental karena kehamilan tidak diinginkan.
Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, mengatakan, ketika layanan ini tidak tersedia, korban berisiko menempuh praktik aborsi tidak aman yang berakibat fatal pada dirinya. Hal itu juga menempatkan korban menjadi pihak berkonflik dengan hukum atas tuntutan aborsi menghilangkan nyawa janin yang baru dilahirkan.
"Kondisi ini menjadikan korban TPKS semakin terpuruk,” kata dia, dikutip dari keterangannya, Senin (30/9/2024).
Baca Juga: Komnas HAM Buka Suara soal Pembubaran Diskusi Forum Tanah Air di Kemang
1. Terjadinya kriminalisasi korban pemerkosaan
Kader Posyandu Miroto, Atik Waluyo (50) melakukan skrining kesehatan ibu hamil, Zulfiadinda Dewi Restu (27) di Semarang, Jumat (21/7/2024). (IDN Times/Dhana Kencana) Komnas Perempuan mencatat, terdapat 103 korban perkosaan berakibat kehamilan yang melaporkan kasusnya langsung ke Komnas Perempuan sejak 2018 hingga 2023. Hampir seluruhnya tidak mendapatkan akses aborsi aman.
Contohnya, kriminalisasi pada korban perkosaan terjadi di Jambi pada tahun 2018 terhadap seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri.
Korban dijatuhi hukuman 6 bulan oleh Pengadilan Negeri setempat. Di tingkat Pengadilan Tinggi, anak ini dibebaskan karena hakim berpendapat bahwa korban dalam kondisi terpaksa.
Baca Juga: Benny Susetyo Kecam Tindak Kekerasan di Acara Diskusi Forum Tanah Air
2. Aborsi masih dipandang menakutkan, dikecam dan dilarang
Tiga pasien keracunan makanan menjalani perawatan di IGD RSUD Panembahan Senopati Bantul.(IDN Times/Daruwaskita) Sementara itu Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati, mengatakan, kasus kriminalisasi korban perkosaan menunjukkan aborsi masih dipandang menakutkan, dikecam, dan dilarang dengan mengacuhkan fakta bahwa aborsi adalah salah satu prosedur medis.
Kedudukan perempuan sebagai korban perkosaan dan TPKS lainnya, kata dia, seharusnya jadi salah satu pertimbangan untuk tidak diberlakukannya pemidanaan. Belum lagi, jika korban perkosaan adalah anak yang seharusnya dilindungi, tetapi berpotensi kehilangan hak seperti pendidikan.
“Mempidanakan korban tersebut berarti menempatkan perempuan dalam posisi kekerasan yang berlapis, yakni sebagai korban perkosaan, serta perempuan dan anak perempuan yang dikriminalisasi,” ujar Retty.
Baca Juga: KPAI dan KPPA Investigasi di Ponpes Gus Karim Sukoharjo
3. Jaminan hak layanan aborsi aman
Hak atas layanan aborsi aman bagi korban perkosaan dijamin melalui UU Kesehatan, diperkuat oleh UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024. Aturan ini sejalan dengan UU TPKS dan KUHP, memastikan pemulihan korban perkosaan. UU TPKS Pasal 79 mengatur hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan.
“Proses pemulihan terus berlanjut apabila layanan aborsi aman diberikan karena dampaknya juga bisa jadi berpengaruh pada kondisi psikologis korban ke depan. Oleh karena itu, keterlibatan semua pihak untuk membantu korban dalam seluruh proses pemulihan menjadi krusial,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini.
Ajakan keterlibatan semua pihak sejalan dengan peringatan Hari Aborsi Aman Internasional 2024 yang bertema solidarity in our community. Tema ini mendorong berbagai pihak untuk memperkuat solidaritas dalam pemenuhan hak layanan aborsi aman dan keadilan reproduksi.
Integrasi layanan pemulihan korban dalam SPPT PKKTP dapat menjadi terobosan penting. SPPT PKKTP membutuhkan kerja sinergis antara aparat penegak hukum dan lembaga pemulihan.
Baca Juga: Kemen PPPA: Perlindungan Anak di Internet Sudah Sangat Mendesak