Komnas Perempuan: Guru Harusnya Anti Kekerasan
Marak kasus intoleransi dan menolak keragaman tafsir agama
Jakarta, IDN Times - Komnas Perempuan menyoroti maraknya kasus intoleransi dan menolak keragaman tafsir agama di lingkungan pendidikan. Salah satunya melalui sikap para guru.
Kasus pencukuran siswi di SMP di Lamongan karena tak menggunakan ciput, jadi salah satu contoh bagaimana guru seharusnya bisa menumbuhkan nilai anti kekerasan di sekolah.
"Peristiwa ciputisasi, pencukuran rambut 19 siswi gara-gara dianggap tidak mengenakan jilbab dengan baik karena tak menggunakan ciput (dalaman jilbab) beberapa waktu yang lalu di salah satu sekolah negeri, selain berdampak traumatik bagi korban juga memantik keprihatinan tentang peran guru menumbuhkan nilai anti kekerasan di sekolah," kata Ketua Subkomisi Pendidikan Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, dilansir Jumat (6/10/2023).
Baca Juga: Komnas Perempuan Sebut Negara Abai Hak Lansia, UU Perlu Ditinjau Ulang
1. Ada 73 kebijakan kewajiban busana masih berlaku
Komnas Perempuan mengungkapkan, pelembagaan aturan busana erat dengan adanya kebijakan diskriminatif, atas nama agama mayoritas dan otonomi daerah.
Sejak 2009, Komnas Perempuan sudah menyuarakan hal ini. Sebab, ada 73 dari 114 kebijakan daerah yang diterbitkan sejak 1999, tentang kewajiban busana, masih berlaku.
Baca Juga: Komnas Perempuan: Banyak Lansia Alami Kekerasan Fisik hingga Seksual