Kasus PT Timah, Walhi Ungkap Penyebab Maraknya Tambang Ilegal
PT Timah Tbk membeli dari smelter ilegal
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menyelidiki kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yang menjerat belasan nama. Kasus ini terjadi di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS) pada 2015-2022.
Kasus ini bermula pada 2018, saat ALW selaku direktur operasi PT Timah Tbk 2017-2018 dengan Dirut PT Timah Tbk yakni MRPT atau RZ dan tersangka EE selaku direktur keuangan PT Timah Tbk, bekerja sama dengan pihak semelter membeli hasil tambang ilegal dengan harga lebih dari standar tanpa kajian.
Mereka membuat perjanjian seolah-olah ada kerja sama sewa menyewa alat peleburan timah dengan modus kegiatan CSR. Alih-alih menindak kompetitor secara hukum dengan masifnya penambangan liar di wilayah IUP PT Timah Tbk, mereka justru menjalin kerja sama.
Kepala Divisi Kampanye Walhi Fanny Tri Jambore menyoroti perubahan regulasi terkait pertambangan sebagai salah satu faktor utama yang mengakibatkan lemahnya pengawasan terhadap sektor ini.
“Ya sebelumnya kalau mau dilacak lagi yang menyebabkan lemahnya pengawasan pertambangan itu perubahan regulasi kita sendiri gitu. Undang-Undang Minerba itu menarik kewenangan pertambangan itu ada di pemerintah pusat,” kata dia kepada IDN Times, Rabu (3/4/2024).
"Nah, jadi dia membuat keefektifan hukum itu menjadi tidak berantai. Karena keefektifan hukum itu ditunjang satu dari isi hukumnya sendiri atau substansi hukumnya sendiri. Dua dari infrastruktur hukum," sambung Fanny.
Baca Juga: Kejagung Buka Peluang Panggil Sandra Dewi di Kasus Timah
1. Infrastruktur hukum tak memadai
Fanny menjelaskan infrastruktur hukum yang tidak memadai juga menjadi hambatan, karena pemerintah pusat tidak memiliki kemampuan untuk mengelola infrastruktur pengawasan di daerah.
Editor’s picks
Fanny juga menyoroti ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mengawasi aktivitas pertambangan ilegal, setelah kewenangan terpusat di pemerintah pusat.
“Berbeda dengan dulu ketika beberapa isi pertambangan masih dikuasai oleh pemerintah daerah, provinsi, maupun kabupaten, yang lebih dekat secara pengawasan dengan wilayah-wilayah yang dilakukan pertambangan,” kata dia.