TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kasus Dokter Q, Menteri PPPA Minta Korban Waspadai Fase-Fase KDRT

Korban KDRT perlu simpan bukti

Korban KDRT dr Qory Ulfiyah Ramayanti di Mapolres, Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (17/11/2023). (ANTARA/HO-Humas Polres Bogor)

Jakarta, IDN Times - Seorang dokter perempuan di Bogor, Jawa Barat, menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Korban, yakni dokter Q (31), meninggalkan rumah selama beberapa hari dalam keadaan hamil. Kisahnya viral usai sang suami Willy Sulistio (39) mencari keberadaannya melalui media sosial. Belakangan diketahui, dokter Q kabur karena mengalami KDRT berulang dari suaminya. 

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, perempuan perlu mewaspadai hal-hal dalam ruang lingkup KDRT. Pasalnya, perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam ranah domestik. Salah satunya adalah kekerasan yang terjadi berulang dan membentuk sebuah siklus.

“Hal ini perlu disadari oleh korban bahwa itu adalah KDRT, sehingga tidak terjebak pada fase KDRT selanjutnya,” kata Bintang dalam keterangannya, Senin (20/11/2023).

Baca Juga: Viral Kasus KDRT Dokter Q: Sedang Hamil hingga Suami Jadi Tersangka

1. Fase ketegangan hingga rekonsiliasi yang berulang

Pameran perlengkapan pernikahan dan pesta Ikapesta Wedding Expo 2022 di New PRPP Convention Centre Semarang, 26--28 Agustus 2022. (IDN Times/Anggun Puspitoningrum)

Fase yang dimaksud adalah fase ketegangan, di mana komunikasi mulai memburuk, kemudian berlanjut pada terjadinya kekerasan, setelah itu fase rekonsiliasi atau permintaan maaf dari pelaku.

Kemudian ada fase tenang, yakni saat korban sudah memaafkan dan berbaikan dengan pelaku. Namun selanjutnya kekerasan berulang lagi.

2. Jangan salahkan diri dan hubungi keluarga

Ilustrasi Telepon. (IDN Times/Aditya Pratama)

Hal lain yang harus diwaspadai, jangan sampai korban menyalahkan diri sendiri karena KDRT bukan merupakan kesalahan diri sendiri.

“Menghubungi keluarga atau kerabat yang dapat dipercaya atau mencari bantuan pada tempat yang tepat,” katanya.

3. Korban KDRT harus kumpulkan bukti

ilustrasi penganiayaan perempuan (IDN Times/Sukma Shakti)

Korban KDRT juga harus bisa mengumpulkan bukti yang dapat mendukung adanya peristiwa KDRT, ini merupakan langkah penting jika terjadi kondisi yang semakin memburuk. 

“Bukti-bukti yang dapat mendukung jika terjadi kekerasan fisik dapat berupa hasil pemeriksaan kesehatan (rekam medis), dan dokumentasi luka atau memar akibat KDRT yang dialami,” ujar Bintang.

Baca Juga: Tiap Jam Tiga Perempuan Jadi Korban KDRT di Rumahnya Sendiri

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya