TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Elite Politik Dinilai Tidak Siap dengan Mekanisme Demokrasi Indonesia 

Elite ingin kembali ke sistem masa lalu

IDEAFEST 2024 bertajuk Are We Ready for Democracy?: Reclaiming Our Responsibilities, Jumat (27/9/2024) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Intinya Sih...

  • Elite politik menggunakan narasi ketidaksiapan demokrasi untuk melemahkan prinsip-prinsip demokratis.
  • MPR kembali memainkan wacana terkait peraturan ketetapan (TAP) MPR, menandakan upaya elit untuk mengubah sistem pemerintahan.
  • Demokrasi tetap merupakan sistem terbaik untuk memastikan akuntabilitas pemerintahan, dan media dihadapkan pada tantangan besar dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang independen.

Jakarta, IDN Times - Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan isu kesiapan Indonesia dalam menjalankan demokrasi seringkali digunakan sebagai dalih oleh elite politik untuk mengembalikan sistem pemerintahan ke masa lalu. Bivitri menegaskan, sebenarnya bukan rakyat yang tidak siap dengan mekanisme demokrasi saat ini, melainkan elite yang tidak nyaman.

Pernyataan itu merujuk pada protes para politikus terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas undang-undang yang mengatur pilkada.

“Menurut saya yang tidak siap mereka (elite). Karena mereka yang diganggu-ganggu dengan mekanisme demokrasi. Contoh konkretnya kan waktu kita kemarin iniya, undang-undang pilkada yang demonstrasi 22 Agustus. Kan mereka marah tuh, makanya 7 jam bisa bikin undang-undang,” kata dia dalam agenda Ideafest 2024 bertajuk Are We Ready for Democracy?: Reclaiming Our Responsibilities, Jumat (27/9/2024).

Baca Juga: Anies: Kita Ingin Demokrasi Ini Bermanfaat buat Rakyat, Bukan Elite

1. MPR dinilai ingin menjadi super seperti dulu

DEAFEST 2024 bertajuk Are We Ready for Democracy?: Reclaiming Our Responsibilities, Jumat (27/9/2024) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Dia mencontohkan kondisi saat ini, di mana elite politik sering memanfaatkan narasi ketidaksiapan demokrasi untuk melemahkan prinsip-prinsip demokratis. Salah satunya terlihat dari upaya elit di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang kembali memainkan wacana terkait peraturan ketetapan (TAP) MPR.

“Menurut saya MPR itu lagi mau main jadi super buddy kayak dulu. Jadi sebenarnya teman-teman sejak 2003, udah lama banget ya, 21 tahun yang lalu, TAP MPR itu gak ada lagi. Karena kita gak menganut lagi yang namanya lembaga tertinggi. Makanya kita sekarang lebih demokratis,” katanya.

Bivitri juga menegaskan, demokrasi tetap merupakan sistem terbaik untuk memastikan akuntabilitas pemerintahan.

“Demokrasi adalah salah satu-satunya yang sudah terbukti untuk bisa menjalankan pemerintahan di negara modern yang pertanggungjawabannya akuntabilitasnya ke rakyat,” kata dia.

2. Minimnya independensi media

Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam beberapa organisasi pers menggelar unjuk rasa di depan Kantor KPU Maluku Utara, Kamis (26/9/2024). IDN Times/Muhammad S Haliun

Sementara dari sisi demokrasi media Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis memandang media di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang independen. Uni juga menyoroti kondisi media yang tidak lagi mampu bersikap netral karena faktor bisnis dan kepemilikan. 

“Jadi media sedang tidak baik-baik saja, sudah lama, simply karena business model. Dan ketika media itu tidak baik-baik saja, rugi, maka di situ tidak ada independensi, karena semuanya bergantung kepada pemilik,” ujarnya.

Selain itu, Uni juga menyinggung peran anak muda dalam demokrasi. Dia mengungkapkan tingginya antusiasme anak muda yang menggunakan platform seperti IDN Times untuk mengajukan pertanyaan seputar pemilu dan politik. Menurut data IDN Times, terdapat lebih dari 1.700 pertanyaan dari audiens mengenai pemilu dan sistem politik pada 2024.

3. Free to air mempengaruhi penyajian berita

IDEAFEST 2024 bertajuk Are We Ready for Democracy?: Reclaiming Our Responsibilities, Jumat (27/9/2024) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Uni juga mencatat masih banyak tantangan dalam menyebarkan informasi yang berkualitas ke seluruh lapisan masyarakat. Televisi free-to-air, yang memiliki penetrasi 90 persen, didominasi oleh konglomerasi yang mempengaruhi penyajian berita.

Di sisi lain, anak muda di perkotaan lebih banyak mengakses informasi lewat internet dan media sosial seperti TikTok.

“Jadi media sedang tidak baik-baik saja karena beberapa hal, termasuk disrupsi, kemudian pandemik, model bisnis, konglomerasi kepemilikannya juga sehingga tidak bisa optimal untuk menjalankan public literasi sampai ke pelosok-pelosok Kalau media online itu urban Yang punya smartphone Tapi banyak yang Belum punya,” katanya.

Baca Juga: Darurat Demokrasi, Bijak Pilkada Gelar Lepas Lelah Kelas Menengah

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya