TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Deretan UU yang Mengatur soal Kekerasan Seksual Sebelum Ada UU TPKS 

Mulai dari UU Pornografi hingga Perlindungan Anak

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Rapat Paripurna DPR RI saat pengesahan RUU TPKS pada Selasa (12/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Jakarta, IDN Times - Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual resmi diteken Presiden Joko "Jokowi" Widodo, dengan nama UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.

Jauh sebelum adanya UU TPKS, aturan terkait kekerasan seksual sudah ada namun terbilang terbatas.

Berikut adalah sejumlah peraturan mengenai kekerasan seksual sebelum adanya UU TPKS, yang dirangkum oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dalam “Booklet Data dan Fakta Kekerasan Seksual di Indonesia 2021”.

Baca Juga: Korban Kekerasan Seksual Dapat Perlindungan Saat Melapor

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1946

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

KUHP masih mengatur bentuk-bentuk tindak kekerasan seksual secara terbatas. Contohnya definisi tindak pidana perkosaan yang belum diatur terkait kekerasan gender berbasis online, juga belum diatur bentuk-bentuk lainnya seperti pemaksaan perkawinan hingga pemaksaan kontrasepsi.

“Pengaturan seperti ini kerap menjustifikasi kehidupan seksual yang dianggap “sesuai” dengan pendapat masyarakat pada umumnya, misalnya istri tidak boleh menolak suami dalam hal berhubungan seksual sehingga dalam KUHP pemerkosaan dalam perkawinan atau marital rape tidak ada pengaturannya,” tulis IJRS dalam bukletnya dikutip Rabu (1/6/2022).

Bukan hanya itu, KUHP juga tidak mengatur soal gender neutral yang mana pemerkosaan juga bisa terjadi pada laki-laki.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 1981

Tangkapan layar webinar bertopik "Sexual Harassment During Pandemic: Bentuk Kasus dan Respons Kebijakan Negara" yang diselenggarakan Komite Anti Kekerasan Seksual (KAKS) Universitas Hasanuddin pada Sabtu 28 Agustus 2021. (IDN Times/Achmad Hidayat Alsair)

Dalam bukletnya, IJRS mengungkapkan jika KUHAP masih sangat berorientasi pada jaminan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka dan terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana. 

Kendati demikian, fokus KUHAP yang sangat berat pada tersangka dan terdakwa menimbulkan minimnya hak-hak maupun akomodasi kebutuhan dari saksi atau korban.

3. UU Nomor 23 Tahun 2003 dan UU Nomor 23 Tahun 2004

15 Bentuk Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan (IDN Times/Aditya Pratama)

Kemudian ada Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak dan Perubahannya. Undang-Undang ini mengatur tindak pidana bernuansa kekerasan seksual pada anak secara komprehensif, serta memperkenalkan konsep restitusi.

Selain itu ada juga Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dan Rumah Tangga, yang mengatur kekerasan seksual di lingkup rumah tangga serta memperkenalkan konsep perintah perlindungan dan perlindungan sementara bagi korban KDRT.

4. UU No. 21 Tahun 2007 dan UU No 13 Tahun 2006

ilustrasi pelecehan seksual di tempat kerja (theleaflet.in)

Ada juga Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mencakup pengaturan eksploitasi seksual dengan tujuan komersil, serta ada aturan soal restitusi korban perdagangan orang.

Kemudian, Undang-Undang UU Nomor 13 Tahun 2006 tanggal 11 Agustus 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, membuat ketentuan umum dan dianggap rinci untuk perlindungan saksi dan korban.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya