TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Baca Dissenting Opinion Hak Asuh Anak, Hakim MK Tahan Tangis

Merasa nelangsa tatkala membaca permohonan para ibu ini

Rekaman Sidang Pengucapan Putusan, di Youtube MK, dikutip Senin (30/9/2024).

Intinya Sih...

  • Lima ibu ajukan uji materi Pasal 330 KUHP yang menimbulkan ketidakpastian hukum
  • Hakim MK, M. Guntur Hamzah, menyatakan perbedaan pendapat dan menahan tangis
  • MK menolak permohonan para pemohon, meski hakim MK berpendapat seharusnya mengabulkan

Jakarta, IDN Times - Lima orang ibu mengajukan uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani mempersoalkan frasa "barang siapa" dalam Pasal tersebut. Namun, pada Kamis (26/9/2024), MK menolak permohonan para pemohon.

Saat menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion, salah satu hakim MK yakni M. Guntur Hamzah punya pendapat yang berbeda soal. Dia bahkan menahan tangis dan mengeluskan dada.  Dia berpendapat bahwa MK seharusnya mengabulkan permohonan para ibu ini.

"Saya hakim konstitusi M Guntur Hamzah berpendapat seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian (partally grated). Adapun argumentasi hukum untuk mengabulkan sebagian permohonan a quo adalah sebagai berikut," kata dia dalam rekaman Sidang Pengucapan Putusan, di YouTube MK, dikutip Senin (30/9/2024).

1. Merasa nelangsa tatkala membaca permohonan para ibu ini

Kader Posyandu Miroto, Atik Waluyo (50) (kanan) melakukan skrining kesehatan ibu hamil, Zulfiadinda Dewi Restu (27) di Semarang, Jumat (21/7/2024). (IDN Times/Dhana Kencana)

Dia menjelaskan pengasuhan anak pada dasarnya adalah tanggung jawab kedua orang tua meski sudah bercerai dan sejatinya anak di bawah umur hak asuhnya ada pada ibu, kecuali pengadilan memutuskan sebaliknya.

Dia mengaku merasa sedih melihat para ibu yang harus berpisah dengan anak-anaknya. Dia terlihat beberapa kali tersendat membacakan argumen itu.

"Terus terang, saya merasa nelangsa tatkala membaca permohonan Pemohon dan mendengar kesaksian ibu-ibu yang 'terpaksa' harus berpisah dengan 'buah hatinya' yang masih di bawah umur karena rebutan hak mengasuh anak yang berujung pada pengambilan paksa seorang anak dari ibu kandungnya,” kata Guntur.

Baca Juga: Komnas Perempuan: Polisi Jangan Ragu Proses Perampasan Hak Asuh Anak

2. Menaruh harapan agar MK bisa berpihak pada para ibu kandung

Dia mengatakan, mahkamah tidak seperti biasanya melakukan terobosan hukum padahal dalam beberapa perkara lainnya MK, kata dia, seperti melangkah maju mengambil sikap.

Dia juga mengatakan MK terkesan membatasi diri sehingga kegamangan aparat penegak hukum menyikapi duka para ibu yang terlepas dari anak kandungnya masih di bawah umur.

"Saya menaruh harapan agar kiranya Mahkamah dalam putusan a que berkenan men-deliver semangat keberpihakan kepada pra ibu kandung untuk mengasuh anaknya yang masih di bawah umur," kata dia.

Baca Juga: Komnas: Perampasan Hak Asuh Anak Termasuk Kekerasan Terhadap Perempuan

3. Salah satu orang tua yang dapatkan hak asuh anak, bukan berarti memonopoli anak

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam kesempatan itu juga dia menjelaskan perbedaan pendapat soal kata “Barang Siapa” dalam norma Pasal a quo yang dinilai dari dua aspek, yakni:

1. Bahwa norma a quo dalam konteks praksis lebih merupakan persoalan implementasi norma yang dapat dimaknai terhadap ayah kandung tanpa dikecualikan dari frasa "barang siapa", sehingga ayah kandung dapat dikenai tindakan polisionil atau tuduhan tindak pidana.

2. Bahwa norma a quo dalam konteks "Sense of Justice" tindakan ayah kandung menarik anak di bawah umur dari penguasaan atau pengawasan ibu kandung merupakan langkah yang melanggar rasa keadilan terhadap fitrah anak di bawah umur yang seharusnya masih tetap di bawah penguasaan atau pengasuhan ibu kandung kecuali karena dua alasan pengecualian. Terlebih, jika ayah kandung menarik secara paksa anak di bawah umur dari penguasaan ibu kandungnya sebelum adanya  putusan pengadilan, maka langkah tersebut tidak hanya melanggar prinsip keadilan melainkan juga melanggar nilai-nilai Pancasila, Konstitusi, prinsip keadilan, dan HAM.

Dia menjelaksan kata "Barang siapa" dalam norma pasal a quo harus diihat dalam konteks anak di bawah umur, sehingga terhadap anak di bawah umur belum bisa menentukan pillihan pengasuhan yang seusai dengan kebutuhan dan kepentingan anak.

“Meskipun status perkawinan orang tua telah berakhir (bercerai), kedua orang tua harus tetap saling memberi akses kepada anak untuk dapat berkomunikasi satu sama lain baik dengan ayah maupun ibu kandungnya. Meskipun salah satu orang tua mendapatkan hak asuh anak, bukan berarti dia memonopoli anak dan melarang anak untuk bertemu orang tua bahkan keluarga orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh,” katanya.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya