TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Eks Dirut Sarana Jaya Kembali Jadi Tersangka Korupsi Tanah

Dalam kasus kali ini, ada lima tersangka

Gedung KPK (ANTARA)

Jakarta, IDN Times - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ketiga kalinya menetapkan mantan Direktur Utama BUMD Jakarta PD Sarana Jaya, Yoory Corneles Pinontoan, sebagai tersangka korupsi pengadaan tanah. Kali ini, ia menjadi salah satu tersangka pengadaan tanah di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara.

Dalam kasus kali ini, ada lima tersangka. Selain Yorry, tersangka dalam kasus ini adalah Donald Sihombing selaku Direktur Utama PT Totalindo Eka Persada; Indra Arharrys selaku Senior Manager Divisi Usaha atau Direktur Pengembangan Perumda Pembangunan Sarana Jaya; Saut Irianto selaku Komisaris PT Totalindo Eka Persada; dan Eko Wardoyo selaku Direktur Keuangan PT Totalindo Eka Persada.

"KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada para Tersangka untuk 20 hari pertama, terhitung sejak tanggal 18 September 2024 sampai dengan 7 Oktober 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang Gedung KPK Merah Putih," ujar Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers, Rabu (18/9/2024).

Kasus bermula ketika Perumda Pembangunan Sarana Jaya ingin berinvestasi lahan pada 2019. Saat itu, PT Totalindo Eka Persada menawarkan lahan.

Kemudian, PT Totalindo Eka Persada pada 18 Februari 2019, mengirimkan surat tentang Kerjasama Pengelolaan Lahan seluas 11,7 Hekatre di Jalan Rorotan Marunda, Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Harga penawarannya mencapai Rp3,2 Juta/m2 menggunakan skema KSO (Kerja Sama Operasional) pengelolaan tanah bersama antara PT Totalindo Eka Persada dengan PD Sarana Jaya.

"Hal ini kemudian direspon oleh Sdr. YCP dengan mengirimkan Surat Kepeminatan atas penawaran tanah tersebut," ujar Asep.

Setelah itu, Totalindo dan Sarana Jaya bernegosiasi dan sepakat menetapkan harga tanah sebesar Rp3 juta/m2. Padahal saat itu belum ada penunjukkan Kantor Jasa Penilai Publik untuk menilai harga tanah dan Sarana Jaya juga belum melakukan kajian internal.

"YCP dan ISA mengetahui bahwa harga wajar tanah Rorotan ditawarkan oleh PT TEP sebetulnya jauh dibawah harga penawaran PT TEP yakni di bawah Rp2juta/m2. Informasi harga wajar sesuai analisis internal dan informasi dari KJPP Wisnu Junaidi telah disampaikan oleh Farouk M Arzby kepada YCP, namun YCP mengabaikan hal tersebut," ujarnya.

Asep mengatakan, Yorry bahkan mengarahkan agar tak perlu menunjuk KJPP independen untuk menilai harga wajar tanah, tapi cukup memakai laporan penilaian KJPP yang ditunjuk Totalindo. Padahal hal ini bertentangan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta nomor 50 dan 51 Tahun 2019.

Sarana Jaya sempat membayar uang muka Rp30 miliar pada Maret 2019 kepada Totalindo. Namun, perjanjiannya batal karena tak disetujui Dewan Pengawas Sarana Jaya.

"YCP kemudian memerintahkan agar transaksi tersebut diubah dari skema KSO menjadi skema beli putus tanah tanpa melakukan proses beli putus tanah dari awal sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PPSJ.  Pembayaran uang muka Tahap 1 Kerja Sama Operasi (KSO) sebesar Rp20.000.000.000 pada tanggal 6 Maret 2019 dan pelunasan tahap I sebesar Rp10.000.000.000,00 pada tanggal 8 Maret 2019 tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku," jelasnya.

Asep mengungkapkan, Sarana Jaya melunasi pembayaran penambahan luas tanah Rorotan senilai Rp14 miliar pada Totalindo. Dengan begitu, total uang yang telah dibyar untuk pembelian tanah 12,3 Hektare kepada Totalindo adalah Rp370 miliar.

Asep menilai penyimpangan proses investasi dan pengadaan lahan yang dilakukan Yorry itu diduga terjadi karena adanya sejumlah fasilitas yang diterima dari Totalindo. Yorry diduga menerima valuta asing senilai Rp3 miliar yang didominasi dolar Singapura dari Totalindo.

"Selain itu, saudara YCP juga diketahui mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam penjualan aset milik pribadi yang segera dibeli oleh pegawai PT Totalindo Eka Persada. Pembelian aset saudara YCP berupa 1 rumah dan 1 unit apartemen oleh pegawai PT TEP tersebut atas instruksi saudara EKW dan sumber dananya berasal dari kas perusahaan dalam bentuk pinjaman lunak kepada pegawai yang membeli aset tersebut," ujarnya.

Perbuatan para tersangka diduga telah merugikan negara Rp223 miliar. Nilai kerugian itu didapat dari nilai pembayaran bersih yang diterima Totalindo dari Sarana Jaya.

"Terdapat kerugian Negara/daerah setidaknya sebesar Rp223 miliar (Rp223.852.761.192) yang diakibatkan penyimpangan dalam proses investasi dan pengadaan tanah oleh Perumda Pembangunan Sarana Jaya pada Tahun 2019-2021," ujarnya.

Baca Juga: KPK: Kaesang Sampaikan Rombongannya di Jet Pribadi Ada 4 Orang

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya