TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Komnas: Perampasan Hak Asuh Anak Termasuk Kekerasan Terhadap Perempuan

Banyak kasus mantan suami merebut hak asuh anak dari ibu

Ilustrasi (IDN Times /Aditya Pratama)

Intinya Sih...

  • Komnas Perempuan: Mantan suami merebut hak asuh anak adalah kekerasan gender terhadap perempuan
  • Mahkamah Konstitusi menolak uji materi Pasal 330 KUHP yang dimohonkan lima ibu
  • 222 kasus kekerasan terhadap istri terkait perebutan anak dalam rentang 2019-2023

Jakarta, IDN Times - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan peristiwa perampasan hak asuh anak oleh mantan suami dikenali sebagai tindak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.

Komnas Perempuan menilai hal tersebut merupakan cara yang digunakan pelaku untuk menyatakan kuasa kendali suami/laki-laki pada pihak istri/perempuan ataupun sebagai balas dendam atas kondisi yang tidak dapat ia kendalikan ketika istri bersikeras untuk bercerai.

“Tindak perampasan hak asuh anak ini menyebabkan penderitaan psikis yang berkepanjangan dan dapat berdampak pada kesehatan rohani dan jasmani pada perempuan,” kata Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Alimatul Qibtiyah, dan Theresia Iswarini dalam pernyataan bersama yang dikutip dari ANTARA, Sabtu (28/9/2024).

 

 

 

 

 

 

1. Lima orang ibu mengajukan uji materi Pasal 330 ayat 1

Ilustrasi KDRT (IDN Times /Aditya Pratama)

Diberitakan sebelumnya, lima orang ibu mengajukan uji materi Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum. Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani mempersoalkan frasa "barang siapa" dalam pasal tersebut.

Pada Kamis (26/9/2024), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan para pemohon. Akan tetapi, dalam pertimbangan putusan, MK menegaskan orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dipidana, sebab tindakan tersebut termasuk dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP.

Baca Juga: Komnas Perempuan: KDRT Berkelanjutan Bisa Berujung pada Femisida

2. 93 dari total 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami terkait pengasuhan anak

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam agenda Konferensi Pengetahuan dari Perempuan IV, Selasa (17/9/2024) (Youtube/Komnas Perempuan)

Komnas Perempuan mencatat, pengalaman pemohon judicial review yang diajukan lima perempuan yang menghadapi situasi perampasan hak asuh anak oleh mantan suami pascaperceraian mereka merupakan situasi yang juga dialami oleh banyak perempuan.

Berdasarkan data pelaporan langsung kepada Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2019 hingga 2023, tercatat sebanyak sepertiga atau 93 dari total 309 kasus kekerasan yang dilakukan oleh mantan suami (KMS) adalah terkait pengasuhan anak.

Sebanyak 44 di antara 93 kasus tersebut terjadi meskipun para ibu itu telah mendapatkan hak pengasuhan anak berdasarkan keputusan pengadilan.

Baca Juga: Jadi Korban KDRT, Ibu 2 Anak di Jaksel Ditendang dan Diludahi Suami

3. Sejumlah suami dengan sengaja menyembunyikan atau memutus hubungan anak dengan ibunya

Ilustrasi wanita teguh pada pendiriannya (pexels.com/RDNE Stock project)

Perebutan hak asuh anak juga ditemukan dalam kasus ketika proses perceraian masih berlangsung. Sejumlah suami dengan sengaja menyembunyikan atau memutus hubungan anak dengan ibunya.

Tindakan tersebut, menurut catatan Komnas Perempuan, dilakukan untuk menyandera pihak istri agar tidak jadi menggugat cerai, atau dimaksudkan untuk memberikan penderitaan kepada pihak istri yang berkepanjangan.

Dalam rentang 2019-2023, Komnas Perempuan mencatat 222 kasus kekerasan terhadap istri (KTI) yang juga terkait dengan perebutan anak dari 3.079 total kasus KTI.

Oleh sebab itu, Komnas Perempuan mengapresiasi putusan MK No. 140/PUU-XXI/2023 terkait kepatuhan pada putusan pengadilan atas hak pengasuhan anak pada pasangan yang bercerai. Putusan ini merupakan langkah penting dalam memperkuat akses perempuan pada hak keadilan dan hak perempuan terkait perkawinan serta memberikan kepastian hukum karena menghapus celah multitafsir pada Pasal 330 Ayat (1) KUHP.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya