Polusi Udara Merenggut Senyum Anak Indonesia
IDAI menyebut polusi udara sebagai "pembunuh senyap"
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Jakarta, IDN Times - Seorang anak lelaki berusia empat tahun tertidur di sebuah ranjang rumah sakit di Jakarta Timur dengan sebuah alat bantu pernapasan. Selang infus dengan plester motif dinosaurus membelenggu tangan kanannya. Meski lelap, napas Athallah masih terdengar beradu dan berat.
Siapa pun yang melihat kondisi Athallah akan iba. Sudah tiga hari ia harus dirawat di rumah sakit karena Pneumonia. Sang Ibu, Arum, beberapa kali mengusap kening dan mencium anaknya, tidak terasa air mata menetes melihat putra kecilnya terbaring di rumah sakit.
Arum tidak pernah menduga putra keduanya harus dirawat karena Pneumonia, apalagi penyakit putranya tersebut salah satunya disebabkan oleh polusi udara di Ibu Kota yang buruk.
"Jujur saya kaget saat tiba-tiba dokter meminta rawat inap, karena saya memeriksakan Athallah karena sudah demam dan batuk, pilek dua hari. Saya kira ya sakit biasa," ujar wanita berhijab ini pada IDN Times, Senin, 4 September 2023.
Namun, saat dokter memeriksa keadaan Athallah terungkap napas anak tersebut berat dan dokter mendiagnosis Athallah terkena Pneumonia.
"Dokter langsung bilang kalau anak saya harus dirawat karena napasnya 'ramai', selain itu juga harus jalani terapi uap secara rutin dan minum antibiotik," imbuh Arum menirukan ucapan dokter.
Arum mengatakan, dokter yang memeriksa tidak menampik polusi udara jadi salah satu penyebab anaknya terserang Pneumonia. Beruntung kondisi kesehatan putranya bisa langsung terdeteksi sehingga bisa menjalani perawatan dan pembersihan paru-paru dengan terapi uap.
Arum tidak sendiri, raut muka orang tua yang gelisah juga tampak hilir mudik di rumah sakit. Bunyi batuk disertai pilek saling bersahutan di ruang tunggu pemeriksaan.
Pantauan IDN Times, antrean panjang untuk pasien balita terjadi di rumah sakit Primaya di Bekasi baru-baru ini. Empat dokter yang bertugas hari itu kebanjiran pasien anak yang mempunyai gejala hampir sama yakni batuk dan pilek.
Baca Juga: Usir Polusi Udara, Jokowi dan Heru Tanam 22.800 Pohon di Jabodetabek
Pembunuh senyap itu bernama polusi udara
Penggunaan masker pascapandemik COVID-19 tidak lagi menjadi sebuah kewajiban. Meski demikian, kesehatan masyarakat tetap terancam karena polusi udara yang mengungkung langit Jakarta pada pertengahan 2023.
Dampak polusi udara terhadap kesehatan dikaitkan dengan melonjaknya kasus Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di rumah sakit. Bahkan, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut polusi udara sebagai "pembunuh senyap".
Setiap hari, data IQAir menunjukkan betapa buruknya kualitas udara Jakarta. Konsentrasi PM2.5 di Jakarta selalu berkali-kali lipat dari nilai panduan kualitas udara tahunan WHO.
Contohnya pada 17 Oktober 2023, konsentrasi PM.25 di Jakarta 15.6 kali dari panduan kualitas udara tahunan WHO sebesar 15 mikrogram per meter kubik. Sementara pada 21 November 2023, PM2.5 di Jakarta adalah 12.5 kali.
Lonjakan kasus layanan kesehatan untuk ISPA diakui Chief Growth Officer (CGO) Nafas Indonesia, Piotr Jakubowski. Dia mengatakan, hasil studi yang dilakukan Nafas dan platform telemedicine Halodoc pada periode Juni sampai Agustus, mencatat kasus ISPA mengalami kenaikan.
"Peningkatan konsultasi kasus ISPA di Jabodetabek sebesar 33 persen pada setiap kenaikan 10 ug/m3 dari baseline PM2.5 31ug/m3 di Jabodetabek sepanjang Juni sampai Agustus 2023," ujar Piotr dalam webinar yang digelar daring, Kamis, 7 September 2023.
Sementara untuk konsultasi kepada dokter anak, lanjut Piotr, mengalami kenaikan sampai 20 persen untuk kasus ISPA via telemedicine m ulai minggu pertama Agustus 2023.
"Kita lihat konsultasi dokter anak juga meningkat 20 persen, paling banyak (konsultasi) batuk, dan waktu yang itu secara konsisten meningkat dalam 2 minggu pertama di bulan Agustus," katanya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang disebabkan polusi udara di Jakarta meningkat hingga 40 persen dibandingkan sebelum COVID-19.
"Pasien ISPA sebelum COVID-19 mencapai 50 ribu pasien, tapi saat ini jumlahnya naik hingga 200 ribu pasien. Itu akibat dari polusi udara," ujar Budi usai menghadiri ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting and Related Meetings di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Kamis, 24 Agustus 2023.
Anak-anak pun tidak luput menjadi korban buruknya kualitas udara. Hak mendapat udara bersih yang seharusnya mereka genggam harus dibayar pilu dengan penyakit pernapasan.
Di sisi lain, Menkes mengatakan, BPJS Kesehatan harus merogoh kocek dengan angka yang fantastis, yakni sebesar Rp10 triliun untuk mengobati penyakit pernapasan akibat kualitas udara buruk di sejumlah daerah.
Budi menjelaskan, ada enam penyakit gangguan pernapasan yang umumnya dialami pasien BPJS Kesehatan. Di antaranya, pneumonia atau infeksi paru, infeksi saluran pernapasan Akut (ISPA), asma, kanker paru, tuberkulosis, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
"Kita laporkan bahwa keenam penyakit yang disebabkan gangguan pernapasan ini beban BPJS-nya Rp10 triliun," kata Budi usai ratas Rapat Terbatas Peningkatan Kualitas Udara Jabodetabek di Istana Merdeka, Senin, 28 Agustus 2023.
Budi mengatakan enam penyakit pernapasan tersebut disebabkan berbagai faktor. Namun, berdasarkan temuan Kemenkes, polusi udara menjadi biang kerok penyakit itu.
"Penyebabnya banyak, yang paling dominan adalah polusi udara itu antara 24-34 persen dari 3 penyakit utama tadi, pneumonia, ISPA dan asma," katanya.
Sementara itu, ditemui di lokasi yang sama, Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono, mengakui, penyakit infeksi pernapasan di DKI Jakarta naik 24 sampai 31 persen karena polusi udara.
"Bahwa memang benar (penyakit) ISPA ada kenaikan sedikit 24 sampai 31 persen khususnya balita," ujar Heru.
Heru pun mengimbau agar anak-anak di Jakarta menggunakan masker saat beraktivitas di luar rumah seiring tingginya polusi udara.
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga menunjukkan ada sebanyak 41 ribu anak di Ibu Kota yang terkena ISPA dari 157 kasus pada Juni dan Juli 2023.
Editor’s picks
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Ani Ruspitawati, mengatakan, bayi dan balita merupakan kelompok yang rentan terkena penyakit pernapasan akibat kualitas udara yang buruk.
"Anak-anak balita, lansia itu kelompok rentan, jadi memang harus siap apabila kualitas udara kurang baik, apakah dengan mengurangi aktivitas luar yang tidak perlu atau memakai masker, yang paling penting menjaga daya tubuh kita tetap baik, jadi kalau bayi balita pastikan imunisasi lengkap, gizi seimbang dan itu sangat membantu," ujar Ani di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2023.
"Balita kenaikan itu Juni, Juli masih sama 41 ribu. Jadi kalau bulan Juni misalnya 156 ribu itu 41 ribunya balita," lanjut dia.
Berdasarkan Data laporan ISPA DKI Jakarta tahun 2023, ada 638.291 kasus di Ibu Kota periode Januari hingga Juni 2023.
Kasus ISPA pada Januari capai 102.609 kasus, kemudian Februari menurun sebanyak 104.638 kasus. Pada Maret, kasus ISPA meroket dengan 119.734 kasus, kemudian menurun pada April sebanyak 109.705, Mei ada 99.130 kasus, kemudian Juni naik di angka 102.475 kasus.
Baca Juga: Kasus ISPA Melonjak Imbas Polusi, Pasien Anak sampai Waiting List di IGD