Presiden-DPR Diminta Hentikan Pembahasan RUU Penyiaran yang Bermasalah

RUU Penyiaran perlu ditolak karena dinilai bermasalah

Intinya Sih...

  • Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti RUU Penyiaran yang dianggap mengancam kebebasan pers dan demokrasi. Pasal multitafsir terkait larangan liputan investigasi jurnalistik dinilai merugikan masyarakat dan pemberantasan korupsi. Ketentuan RUU Penyiaran dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi, kemerdekaan pers, dan pemberantasan korupsi.

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti Rancangan Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran), yang tengah disusun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Koalisi menilai RUU Penyiaran benar-benar mengancam iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia. Sejumlah pasal multitafsir sangat berpotensi digunakan sebagai alat kekuasaan untuk membatasi kebebasan sipil dan partisipasi publik.

“Salah satu yang menjadi sorotan adalah substansi Pasal 50 B ayat (2) huruf c, terkait larangan liputan investigasi jurnalistik,” demikian keterangan tertulis, dikutip Jumat (17/5/2024).

Koalisi menilai keberadaan pasal tersebut jelas merugikan masyarakat, sebab dalam lingkup pemberantasan korupsi, produk jurnalistik kerap menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan tindakan pejabat publik. 

Baca Juga: PDIP Tolak RUU Penyiaran Larang Jurnalisme Investigasi

1. RUU Penyiaran bermasalah dan patut ditolak

Presiden-DPR Diminta Hentikan Pembahasan RUU Penyiaran yang BermasalahIlustrasi kebebasan pers (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Koalisi menegaskan, media sebagai pilar keempat demokrasi mempunyai peran strategis dan taktis dalam membangun demokrasi, khususnya yang melibatkan masyarakat sebagai fungsi watchdog.

Hal ini jelas merugikan masyarakat, sebab dalam lingkup pemberantasan korupsi, produk jurnalistik kerap menjadi kanal alternatif untuk membongkar praktik kejahatan atau penyimpangan tindakan pejabat publik. 

Draf naskah RUU Pernyairan per 24 Maret 2024 yang sedang berproses di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, terkait Standar Isi Siaran (SIS) yang memuat batasan, larangan dan kewajiban bagi penyelenggara penyiaran serta kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), secara tersurat memuat ketentuan larangan liputan eksklusif investigasi jurnalistik.

“Rancangan tersebut tentu bermasalah dan patut ditolak, karena bukan hanya mengancam kebebasan pers, tapi juga kabar buruk bagi masa depan gerakan antikorupsi di Indonesia,” kata koalisi.

2. Delapan catatan Koalisi Masyarakat Sipil terkait RUU Penyiaran

Presiden-DPR Diminta Hentikan Pembahasan RUU Penyiaran yang BermasalahIlustrasi kebebasan pers dibatasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Setidaknya ada delapan catatan dari Koalisi Masyarakat Sipil terkait draf RUU Penyiaran yang dinilai kontroversial dan harus ditolak. 

Pertama, RUU Penyiaran menambah daftar panjang regulasi yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi. Dalam beberapa waktu belakang, tidak sedikit regulasi yang diubah justru tidak sejalan dengan prinsip gerakan demokrasi, HAM, antikorupsi, hingga penyelamatan sumber daya alam. Seperti revisi UU KPK, UU Pemasyarakatan, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Adanya norma yang membatasi konten investigatif tersebut justru berpotensi semakin menghambat kerja-kerja masyarakat sipil.

Kedua, bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Pelarangan konten liputan investigasi jurnalistik dalam RUU Penyiaran tidak sejalan dengan nilai transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai prinsip good governance. Karena karya liputan investigasi merupakan salah satu bentuk paling efektif yang dihasilkan dari partisipasi publik dalam memberikan informasi dugaan pelanggaran kejahatan atau kebijakan publik kepada jurnalis. Produk jurnalisme investigasi juga bagian dari upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih demokratis. 

Ketiga, konten jurnalistik investigatif jadi kanal yang paling efektif dan aman bagi peniup pluit (whistleblower). Dalam konteks pemberantasan korupsi maupun gerakan masyarakat sipil, tidak sedikit kasus yang terungkap berasal dari informasi publik yang diinvestigasi oleh jurnalis. Meski ada beberapa kanal whistleblower, namun masyarakat cenderung lebih percaya pada para jurnalis maupun inisiatif kolaborasi investigasi jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis, seperti Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan IndonesiaLeaks yang juga jadi bentuk pengawasan terhadap kebijakan maupun pejabat publik.

Keempat, pembatasan liputan eksklusif investigasi jurnalistik akan berdampak negatif pada penindakan kasus korupsi. Hasil liputan investigasi seringkali membantu aparat penegak hukum dałam proses penyelidikan atau penanganan perkara korupsi. Data dan Informasi mendalam yang dihasilkan para jurnalis juga ikut memberikan informasi kepada penegak hukum untuk mengambil tindakan atas peristiwa dugaan kasus korupsi maupun pelanggaran lainnya. Selain itu, dalam konteks penuntasan kasus korupsi, liputan investigatif kerap kali bisa membongkar aspek yang tidak terpantau, sehingga jadi trigger  bagi penegak hukum menuntaskan perkara.

Kelima, SIS dalam RUU Penyiaran soal liputan investigasi dapat menghambat pencegahan korupsi. Karya liputan investigasi jurnalistik yang ditayangkan di media tidak hanya sekadar pemberitaan. Tapi lebih dari itu, karya tersebut juga bentuk pencegahan korupsi khususnya di sektor publik. Sebab, hasil liputan yang dipublikasikan di media massa akan menggerakkan masyarakat untuk terlibat dalam upaya  pencegahan korupsi. Tak hanya itu, para koruptor yang berniat melakukan kejahatan bisa jadi akan semakin takut karena khawatir tindakannya terbongkar.

Keenam, ketentuan RUU Penyiaran tumpang tindih dengan regulasi lain, khususnya yang menyangkut UU Pers dan kewenangan Dewan Pers. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) telah mengatur kode etik jurnalistik dan kewenangan Dewan Pers. Ketentuan dalam RUU Penyiaran bertentangan Pasal 4 ayat (2) UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran. 

Ketujuh, RUU Penyiaran membungkam kemerdekaan pers dan mengancam independensi media. Dengan larangan penyajian eksklusif laporan jurnalistik investigatif maka pers menjadi tidak profesional dan tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai pengontrol kekuasaan (watchdog).

Kedelapan, ketentuan dalam RUU Penyiaran merupakan bentuk ancaman kemunduran demokrasi di Indonesia. Ini karena  jurnalisme investigasi adalah salah satu alat bagi media independen–sebagai pilar keempat demokrasi–untuk melakukan kontrol terhadap tiga pilar demokrasi lainnya (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi sama dengan menjerumuskan Indonesia sebagai negara yang tidak demokratis. 

Baca Juga: Menkominfo Harap RUU Penyiaran Bukan Jadi Wajah Baru Bungkam Pers

3. Kolaisi Masyarakat Sipil desak DPR hentikan pembahasan RUU Penyiaran

Presiden-DPR Diminta Hentikan Pembahasan RUU Penyiaran yang BermasalahIlustrasi pers ketika bekerja. (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan sejumlah catatan di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR RI dan Presiden untuk melakukan beberapa hal:

  1. Menghentikan pembahasan RUU Penyiaran yang substansinya bertentangan dengan nilai demokrasi dan upaya pemberantasan korupsi;
  2. Menghapus pasal-pasal yang berpotensi multitafsir, membatasi kebebasan sipil, dan tumpang tindih dengan UU lain;
  3. Membuka ruang ruang partisipasi bermakna dalam proses penyusunan RUU Penyiaran dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil dan kelompok masyarakat terdampak lainnya;
  4. Menggunakan UU Pers sebagai pertimbangan dalam pembuatan regulasi yang mengatur soal pers. 

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya