Kasus PPDS, DPR Desak Kemenkes Cabut STR dan Izin Pelaku Perundungan 

Pintu masuk perbaiki sistem pendidikan spesialis

Intinya Sih...

  • Edy Wuryanto mendorong Kemenkes ungkap kasus perundungan dokter PPDS Anestesi Undip
  • Kasus ini bisa jadi pintu masuk perbaikan sistem pendidikan spesialis di Indonesia
  • Edy usulkan sertifikasi bagi pendidik klinis, peran kolegium, dan aturan turunan UU Kesehatan untuk mengubah sistem

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, mendorong Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mengungkap bukti-bukti kasus perundungan yang menimpa seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) program studi Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), Aulia Risma Lestari.

Terlebih menurut Edy, ada pendapat berbeda antara Kemenkes dan Fakultas Kedokteran Undip atas penyebab dr. Aulia Risma mengakhiri hidupnya.

Edy mendesak Kemenkes menjatuhkan sanksi berupa pencabutan Surat Tanda Registrasi (STR) dan izin, kalau benar ada pelanggaran yang dilakukan oleh para senior dr. Aulia Risma.

"Kalau benar ada pelanggaran dari senior dokter, sanksi paling berat harus dilakukan. Yakni cabut STR dan izinnya. Kalau sampai pelanggaran hukum, maka silakan APH (aparat penegak hukum) memproses,” tutur Edy Wuryanto, di Jakarta, Jumat (30/8/2024).

Baca Juga: FK Undip Pecat 3 Mahasiswa PPDS yang Melakukan Pelanggaran Berat

1. Pintu masuk perbaikan sistem pendidikan spesialis

Kasus PPDS, DPR Desak Kemenkes Cabut STR dan Izin Pelaku Perundungan Gedung Kemenkes (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Menurut Edy, kasus ini bisa menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan spesialis di Indonesia.

Edy mengungkapkankan, ada sosok "monster" yang selalu dihadapi oleh mahasiswa di program spesialis. Monster itu cukup menakutkan. Artinya, aksi pungli sampai intimidasi hingga menimbulkan ketakutan ini memang masalah nyata di dunia pendidikan spesialis pada profesi kesehatan. 

Sebagai seorang yang pernah menempuh pendidikan doktoral di bidang medical education, Edy memahami bagaimana pendidikan di bidang kesehatan ini berjalan. Pendidik pada program spesialis dari klinis yang tidak memiliki keterampilan pendidikan akan mengajar sesuai pengalamannya. 

“Dulu diajari sama seniornya dengan dibentak-bentak, maka ketika jadi pendidik maka cara itu yang dilakukan,” kata Edy.  

2. Pendidik klinis harus punya sertifikasi

Edy kemudian mengusulkan agar pendidik klinis harus memiliki sertifikasi. Artinya, mereka harus belajar lagi teori pendidikan. Sebab, kemampuan klinis saja belum cukup untuk melakukan transfer ilmu pengetahuan ke juniornya.

“Bagi pendidik klinis itu harus punya metode bagaimana membimbing dan mentoring mahasiswanya,” tuturnya. 

Menurut Edy, peran kolegium yang sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Kesehatan juga sangat diperlukan. Kolegium memiliki tugas pokok dan tanggung jawab untuk menyusun standar pendidikan profesi, standar kompetensi profesi, lalu proses pembelajaran pendidikan profesi dan spesialis. Selain itu, juga penilaian atau uji kompetensi nasional pendidikan profesi dan spesialis. 

“Kolegium juga yang mengeluarkan sertifikat untuk calon pendidik klinis,” ucap Edy. 

3. Menkes didesak terbitkan aturan turunan UU Kesehatan

Kasus PPDS, DPR Desak Kemenkes Cabut STR dan Izin Pelaku Perundungan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (IDN Times/Amir faisol)

Terakhir, Edy mendorong agar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menerbitkan aturan turunan UU Kesehatan. Sehingga aksi Kemenkes untuk memberantas perundungan di pendidikan spesialis pun dapat dibarengi dengan perubahan sistem sesuai dengan yang disusun oleh kolegium.

“Kolegium itu isinya adalah para guru besar. Kolegium ini dapat menjadi instrument negara yang diharapkan dapat mengubah sistem pendidikan spesialis profesi kesehatan di Indonesia,” ujar dia.

Dengan keseriusan transformasi pendidikan spesialis profesi kesehatan ini, Edy berharap adanya pendidikan yang mengerti bagaimana menciptakan lingkungan pendidikan profesi yang menyenangkan tapi tetap trampil sebagai klinis.

"Diharapkan ada perubahan berlaku di lingkungan pembelajaran klinis yaitu lebih nyaman, lebih menyenangkan, mahasiswa lebih enjoy. Bisa belajar dari seniornya tapi dengan sukacita, lalu dia memperoleh peningkatan kompetensi klinik sesuai dengan target pembelajaran,” kata Edy. 

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya