TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

7 Sikap Toxic Positivity yang Membuat Hidup Tidak Bisa Bahagia

Sikap positif yang malah bikin tidak bahagia

ilustrasi murung (pexels.com/cottonbro studio)

Toxic positivity adalah sikap yang selalu memaksa seseorang untuk berpikir positif dalam segala situasi, tanpa memberikan ruang bagi emosi negatif. Meskipun tampaknya baik, ternyata sikap ini justru dapat berdampak buruk bagi kebahagiaan seseorang.

Jika dibiarkan, toxic positivity bisa menghalangi perkembangan pribadi seseorang dan membuat mereka merasa tidak autentik dalam menjalani hidup. Dalam artikel ini, kita akan membahas tujuh sikap toxic positivity yang justru membuat hidup tidak bisa bahagia.

1. Menolak mengakui perasaan negatif

ilustrasi merenung (pexels.com/Anete Lusina)

Salah satu ciri utama dari toxic positivity adalah penolakan terhadap perasaan negatif. Misalnya, ketika seseorang merasa sedih, orang lain atau bahkan dirinya sendiri langsung berkata, "Jangan sedih, semua akan baik-baik saja". Perkataan seperti ini mungkin dimaksudkan untuk menghibur, tetapi justru bisa membuat orang tersebut merasa tidak didengar atau dihargai.

Penolakan terhadap perasaan negatif ini bisa membuat seseorang merasa tidak valid dan tertekan untuk selalu tampil bahagia. Akibatnya, perasaan-perasaan tersebut terpendam dan bisa muncul dalam bentuk stres yang lebih besar di kemudian hari. Padahal, perasaan negatif seperti sedih, marah, atau takut adalah bagian alami dari kehidupan dan harus diakui agar kita bisa memprosesnya.

2. Berpura-pura bahagia

ilustrasi tersenyum (pexels.com/Rahul Shah)

Toxic positivity juga sering kali memaksa seseorang untuk selalu tampil bahagia, meskipun sebenarnya mereka sedang tidak merasa demikian. Sikap ini bisa muncul dalam bentuk senyum palsu atau kata-kata penghiburan yang terdengar klise seperti, "Tetap semangat, ya!" Meskipun terlihat sepele, namun berpura-pura bahagia dalam jangka panjang bisa menimbulkan kelelahan emosional.

Sementara itu, emosi negatif yang terpendam justru bisa menumpuk dan akhirnya meledak dalam bentuk stres, kecemasan, atau depresi. Kelelahan emosional ini bisa mengganggu keseimbangan hidup seseorang dan menyebabkan ketidakbahagiaan yang mendalam. Berpura-pura bahagia bukanlah solusi; sebaliknya, kita perlu jujur pada diri sendiri dan orang lain tentang apa yang sebenarnya kita rasakan.

Baca Juga: 5 Pola Pikir Toxic yang Memengaruhi Kondisi Finansialmu

3. Mengabaikan masalah dengan optimisme berlebihan

ilustrasi bahagia (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Optimisme memang penting, tetapi jika berlebihan, itu bisa menjadi salah satu bentuk toxic positivity. Misalnya, ketika menghadapi masalah besar, seseorang yang terlalu optimis mungkin akan berkata, "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik saja!" Optimisme berlebihan ini bisa membuat seseorang mengabaikan tanda-tanda peringatan yang seharusnya diwaspadai.

Mengabaikan masalah dengan berpura-pura semuanya akan baik-baik saja bukanlah cara yang sehat untuk mengatasi tantangan hidup. Dalam jangka panjang, ini bisa membuat masalah semakin besar dan sulit diatasi. Sebaliknya, kita perlu menghadapi masalah tersebut secara realistis dan mencari cara untuk menyelesaikannya.

4. Membandingkan diri dengan orang lain

ilustrasi bercermin (pexels.com/Min An)

Sikap toxic positivity sering kali membuat seseorang merasa harus selalu lebih baik dari orang lain. Misalnya, ketika melihat orang lain yang tampaknya selalu bahagia di media sosial, kita mungkin merasa tertekan untuk menunjukkan hal sama. Perbandingan ini bisa menjadi sumber stres yang signifikan, terutama jika kita merasa tidak mampu memenuhi standar kebahagiaan yang tidak realistis.

Padahal, membandingkan diri dengan orang lain hanya akan membuat kita merasa tidak puas dengan diri sendiri dan kehidupan kita. Lebih buruk lagi, ini bisa mengikis rasa percaya diri dan membuat kita merasa tidak pernah cukup baik. Setiap orang memiliki perjalanan hidupnya masing-masing, dan penting untuk menerima diri kita tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain.

5. Menghakimi orang yang sedang mengalami kesulitan

ilustrasi berbicara (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Toxic positivity juga bisa muncul dalam bentuk menghakimi orang lain yang sedang mengalami kesulitan. Misalnya, ketika seseorang mengungkapkan perasaan sedih, orang lain mungkin akan berkata, "Kamu terlalu banyak mengeluh, coba berpikir positif saja". Pernyataan ini mungkin dimaksudkan untuk memberikan semangat, tetapi bisa terasa seperti penghakiman yang tidak adil.

Sikap seperti ini tidak hanya tidak membantu, tetapi juga bisa membuat orang tersebut merasa tidak didukung dan semakin terisolasi. Akibatnya, mereka mungkin merasa enggan untuk berbagi perasaan atau mencari bantuan di masa mendatang. Alih-alih menghakimi, kita seharusnya memberikan dukungan dan empati kepada mereka yang sedang menghadapi masa sulit.

6. Menghindari emosi yang tidak nyaman

ilustrasi kecewa (pexels.com/Budgeron Bach)

Toxic positivity sering kali mendorong seseorang untuk menghindari emosi yang tidak nyaman, seperti marah, cemas, atau takut. Misalnya, ketika seseorang merasa cemas, mereka mungkin berusaha menekan perasaan tersebut dan berpura-pura tidak ada masalah. Penghindaran ini dapat menyebabkan masalah emosional yang lebih dalam, karena emosi yang ditekan cenderung muncul kembali dengan intensitas lebih besar.

Namun, menghindari emosi ini justru bisa membuat kita semakin terjebak dalam siklus emosi negatif yang tidak pernah terselesaikan. Dalam jangka panjang, ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan membuat kita merasa semakin jauh dari keseimbangan emosional yang sehat. Sebaliknya, penting untuk menghadapi emosi tersebut, mengenali penyebabnya, dan mencari cara untuk mengatasinya.

Verified Writer

Rendy Firmansyah

Seorang penulis yang ingin membagikan tips-tips dunia percintaan.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya