Bicara Kekerasan Seksual pada Perempuan bersama Anindya Restuviani

Terdapat 5 langkah strategis merespons kekerasan seksual

Jakarta, IDN Times - Perempuan rentan mengalami kekerasan seksual, tak memandang status, usia, ataupun atribut yang dikenakan. Angka kasus kekerasan seksual yang berhasil dicatat juga semakin meningkat dan datanya kian mengkhawatirkan. 

Berdasarkan laporan Komnas Perempuan, 1 dari 3 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik maupun seksual. Kekerasan ini terjadi baik oleh pasangan maupun orang di luar hubungannya. 

25 November hingga 10 Desember menjadi momen spesial karena diperingati sebagai 'Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan' (16 Days of Activism Against Gender Violence). Gerakan internasional ini bertujuan mendorong dihapuskannya kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. 

Dalam rangka Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, IDN Times berkesempatan melakukan wawancara dengan Anindya Restuviani atau akrab disapa Vivi, Co Director DEMAND (Di Jalan Aman Tanpa Pelecehan). Interview yang berlangsung pada Jumat, (24/11/23) mendiskusikan lebih lanjut terkait isu kekerasan yang terjadi pada perempuan serta pencegahan yang dapat diimplementasikan oleh masyarakat. 

1. Rawan kekerasan seksual di ruang publik serta rendahnya kesadaran masyarakat menjadi dasar dibentuknya DEMAND

Bicara Kekerasan Seksual pada Perempuan bersama Anindya RestuvianiAnindya Restuviani, Co Director DEMAND. (instagram.com/dijalanaman)

DEMAND merupakan gerakan yang dibentuk tahun 2016 dan kini bergerak di bawah naungan Jakarta Feminist. Pada mulanya, DEMAND adalah organisasi bernama Hollaback Jakarta. Hollaback sendiri merupakan gerakan yang memperjuangkan isu kekerasan di ruang publik, dimulai di New York, Amerika Serikat pada 2014 .

"DEMAND itu singkatan dari Di Jalan Aman Tanpa Pelecehan. Kalau misalkan kita melihat sejarah dibentuknya DEMAND, itu awalnya adalah organisasi yang namanya Hollaback Jakarta," terang Vivi dalam interview online

Terbentuknya gerakan ini bukan tanpa sebab. Saat itu, Vivi dan para inisiator melihat masih minimnya kesadaran masyarakat terkait isu kekerasan di ruang publik, terutama yang terjadi pada perempuan. 

Berangkat dari keresahan tersebut, tahun 2016 dibentuklah Hollaback Jakarta dengan fokus utama menghentikan kekerasan di ruang publik. Lebih spesifik, fokus utamanya adalah kekerasan serta pelecehan seksual pada perempuan.

"Kita tahu lah ya, kalau misalkan kita jadi perempuan di Jakarta dan mengakses transportasi publik, pelecehan seksual itu kayak udah jadi semacam makanan sehari-hari dan kalau misalkan kita cerita sama orang, reaksi masyarakat tuh kayak menormalisasikan," Vivi menjelaskan lebih lanjut keresahannya terhadap kasus pelecehan atau kekerasan di ranah publik.

2. Kekerasan seksual banyak terjadi di ruang publik, bahkan dapat dilakukan secara online

Bicara Kekerasan Seksual pada Perempuan bersama Anindya RestuvianiAnindya Restuviani, Co Director DEMAND. (instagram.com/dijalanaman)

Melalui organisasi Hollaback Jakarta, Vivi dan rekan banyak melakukan edukasi dan sosialisasi terkait pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di ruang publik. Dalam hal ini, Hollaback Jakarta masih memaknai ruang publik sebagai area yang memungkinkan masyarakat bertemu secara langsung secara fisik.

Penjelasan tersebut selaras dengan keterangan Vivi terkait tujuan utama Hollaback Jakarta, "Fokus utamanya adalah memang menghentikan atau menghilangkan kekerasan seksual di ruang publik, yang kalau dulu memang waktu di Hollaback Jakarta itu, kita memang fokusnya ruang publik yang secara konvensional. Definisi ruang publik di mana itu adalah bentuk-bentuknya fisik."

Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, kekerasan seksual semakin meluas, kasus yang dihadapi kian kreatif. Kemajuan teknologi membuka peluang baru untuk melakukan kekerasan secara daring. Misalnya, pelecehan visual lewat media sosial, doxing, kekerasan verbal, dan lain sebagainya. 

Hollaback Jakarta kemudian melakukan rebranding menjadi DEMAND. Pencegahan kekerasan pada perempuan diperluas. Tak hanya terbatas pada ruang publik secara fisik, namun juga berbagai kekerasan atau pelecehan yang terjadi secara online

"Kita juga ingin mulai menyadarkan bahwa ruang-ruang publik itu gak sebatas di jalan, gak sebatas di transportasi umum, tapi saat kita bicara tentang fasilitas kesehatan, kita bicara tentang tempat kerja, terus ruang online itu juga sebetulnya adalah ruang publik di mana perempuan, khususnya, itu memiliki kerentanan lebih untuk mengalami kekerasan seksual," tambah Vivi.

3. Inilah 5 strategi merespons tindak kekerasan, harus berorientasi pada korban!

Bicara Kekerasan Seksual pada Perempuan bersama Anindya RestuvianiAnindya Restuviani, Co Director DEMAND. (instagram.com/anindyavivi)

Kasus kekerasan seksual dapat terjadi kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Sebagai masyarakat umum, kita perlu mengetahui langkah atau intervensi strategis yang bisa dilakukan untuk membantu merespons terjadinya kasus kekerasan.

Penanganan kasus kekerasan seksual tak bisa disamakan dengan penyelesaian isu lain. Intervensi yang dilakukan harus berorientasi kepada korban serta prioritas utama adalah pertolongan dan pemulihan bagi korban. Sehingga, kita perlu memahami setiap langkah yang diambil secara cermat, tidak boleh membuat korban merasa semakin terpuruk ataupun menyudutkan.

DEMAND menginisiasi metode intervensi yang disebut BANTU. BANTU sebagai akronim  langkah untuk menolong orang yang tengah mengalami kekerasan seksual. Tujuannya untuk mengintervensi masyarakat hingga akhirnya mau menjadi bagian dari pihak yang menghentikan kekerasan. Terdapat 5 strategi yang dipaparkan Vivi, yakni:

  1. Berani tegur pelaku. Langkah intervensi ini bisa dilakukan apabila merasa nyaman dan aman, baik bagi kita yang hendak membantu tapi juga bagi korban.
  2. Alihkan perhatian. Langkah mendistraksi ini berfokus untuk menggagalkan kekerasan yang akan dilakukan oleh pelaku dengan mengalihkan perhatian.
  3. Mengajak orang lain untuk membantu. Bentuk intervensi ini biasanya dilakukan dengan cara melaporkan kejadian.
  4. Tanya keinginan korban. Menanyakan apa yang diinginkan korban setelah mengalami peristiwa tak terduga sebagai bentuk penekanan terhadap perspektif korban.
  5. Upayakan merekam kejadian. Langkah ini menjadi usaha untuk mengumpulkan bukti bagi korban, namun perlu digarisbawahi tidak boleh menyebarkan secara bebas ke media sosial untuk menghindari KBGO.

Baca Juga: Berbagi Kisah, Prilly Latuconsina Memulai Karier Sejak Usia 13 Tahun

4. Tantangan dalam penanganan kekerasan seksual adalah penolakan dan mindset negatif dari masyarakat

Bicara Kekerasan Seksual pada Perempuan bersama Anindya Restuvianiilustrasi kekerasan (IDN Times/Nathan Manaloe)

Vivi mengakui kerap kali menemukan hambatan yang dalam mengadvokasi isu-isu kekerasan seksual. Sering kali tantangan justru berupa resistensi serta mindset masyarakat yang masih menganggap isu ini tidaklah penting.

Vivi sampaikan terdapat dua tantangan besar dalam membela permasalahan kekerasan terhadap perempuan, "Jadi, aku rasa resistensi itu besar. Tantangan terbesar adalah sebetulnya resistensi dari masyarakat dan juga tentunya di saat kita mengadvokasikan kebijakan, aku rasa itu juga."

Masalah yang dihadapi pun terus berkembang. Semula advokasi untuk pengesahan undang-undangan TPKS (Tindak Pidana Kasus Kekerasan Seksual) dinilai sebagai tantangan besar. Namun setelah undang-undangan tersebut disahkan, masalah lain muncul, yakni terkait implementasi. 

"Problematikanya sama, yaitu diimplementasi. Masih banyak aparat penegak hukum yang, walaupun misalkan mereka tahu adanya undang-undang TPKS, tapi, mindset-mindset, perspektif-perspektif mereka dalam melihat korban, itu masih sangat 'value-nya gak dapat' gitu kalau kita bilang ya. Masih banyaklah penyalahan-penyalahan korban, bahkan reviktimisasi terhadap korban yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Itu juga masih luar biasa tinggi," jelas Vivi. 

Masalah kedua adalah mindset masyarakat yang masih belum melihat isu ini sebagai problem serius. Hal tersebut menjadi kian berat karena anggapan masyarakat bahwa isu kekerasan seksual hanyalah problematika yang dihadapi oleh perempuan. 

5. Mimpi sederhana Vivi adalah aman berada di ruang publik. Sayangnya, realisasinya perlu usaha keras

Bicara Kekerasan Seksual pada Perempuan bersama Anindya RestuvianiIlustrasi Kekerasan pada Perempuan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Ditanya soal harapan dan mimpi ke depannya, jawaban Vivi terbilang sederhana. Ia ingin bisa berjalan kaki di tempat umum tanpa merasa khawatir menjadi korban kekerasan seksual. Sebagaimana program yang diinisiasinya 'Di Jalan Aman', meski terlihat mudah, nyatanya realisasinya membutuhkan usaha dan upaya keras dari seluruh lapisan masyarakat.

"Mimpiku adalah sesimpel bahwa aku bisa merasa aman untuk berjalan kaki sendirian kapan pun, di mana pun aku mau," sebut Vivi.

Telah banyak edukasi, sosialisasi hingga advokasi yang dilakukan untuk menciptakan ruang aman bagi perempuan. Perkembangannya kian positif karena kesadaran masyarakat mulai tumbuh dan meningkat. Sayangnya, hasil ini belum menyeluruh.

Ke depannya, semoga perempuan terbebas dari berbagai kekerasan dan pelecehan yang mungkin terjadi. Lebih banyak ruang untuk berekspresi, mengembangkan diri, dan beraktivitas tanpa khawatir menjadi korban kekerasan selanjutnya.

"Jadi, kayak misalkan kita ke ruang publik apa pun, kita gak perlu lagi punya rasa was-was untuk kita berada di ruang publik. Karena kita yakin 100 persen bahwa ruang publik harusnya aman dan itu hak buat kita semua, apa pun gendernya, apa pun orientasi seksualnya, apa pun agamanya, apa pun identitas yang kita bawa sebagai diri sendiri, itu aman buat kita semua, gitu sih," tutup Vivi.

Baca Juga: Najwa Shihab Ajak Ciptakan Kampus Aman Bebas Kekerasan Seksual 

Topik:

  • Dina Fadillah Salma
  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya